Alan perlahan membuka resleting tas milik Mentari usai sampai di dalam kamar. Ia tahu mungkin hal itu terbilang kurang sopan karena ia yang membuka privasi orang lain tanpa izin namun saat ini pemuda itu mau tidak mau harus melakukannya untuk memastikan kalau dugaannya melenceng.
Satu per satu isi dari tas Mentari ia keluarkan dan diletakkannya di atas permukaan tempat tidur. Peralatan menulis hingga jaket berwarna merah muda yang bertelinga kucing yang sudah Lala lipat sebelumnya. Alan menatap jaket itu selama beberapa saat sebelum akhirnya ia kembali mengecek ke dalam tas dan menemukan satu botol sunscreen di sana.
Semula ia hanya menemukan benda-benda itu di sana, sebelum akhirnya Alan menemukan adanya kantung berukuran kecil di dalam tas, lalu perlahan membukanya. Kedua mata lelaki itu dibuat berhenti berkedip selama beberapa saat usai menemukan sesuatu di sana.
"I-ini ... "
Selembar obat jenis SSRI bahkan beta blockers ia temukan di sana. Tinggal beberapa butir lagi sisa dari kedua obat itu yang artinya Mentari memang sesekali meminumnya. Kedua bahu lelaki itu seketika merosot dan ia menjatuhkan tangannya yang memegang dua benda terakhir yang ia temukan. Ia tak menyangka kalau Mentari yang ia kenal cerewet, berisik, dan tak bisa diam itu akan membawa obat-obatan seperti itu ke sekolah.
Pandangan Alan mendadak kosong, lalu ia kembali memasukkan kembali benda-benda tadi ke dalam tas dan pergi ke luar dari kamar tanpa mengganti seragamnya.
Di bawah, Dewi yang melihat putranya itu segera bertanya, "mau ke mana lagi, Lan?"
"A-ah, aku mau balikin tas punya Mentari. Tadi di sekolah dia gak enak badan jadi terpaksa pulang duluan." Alan menghentikan langkahnya sejenak seraya mengangkat tas yang ia pegang, sebelum akhirnya pergi dari sana tanpa mempedulikan bagaimana reaksi ibunya.
Kedua kaki Alan berjalan memasuki halaman rumah Mentari. Mobil milik Mala ada di sana dan bahkan ia juga melihat sepeda Galang, yang artinya pemilik rumah itu sedang ada di dalam. Alan lantas mengetuk pintu selama beberapa kali sebelum akhirnya seseorang datang dan membukakan pintu untuknya.
"Kak Alan?" Galang berkedip dua kali usai mengetahui kalau Alan yang datang. Bocah itu kemudian menatap sebuah tas yang tampak familiar yang ada di tangan Alan.
"Kakak ke sini mau ngembaliin tas punya Kak Mentari," ujar Alan. Ia menatap ke dalam rumah, mengira kalau si pemilik tas itu datang menghampiri mereka namun ia tak menemukan apapun di sana.
"Oh, gitu. Makasih ya, Kak." Galang segera mengambil tas kakaknya yang diberikan oleh Alan.
Semula Alan berniat berpamitan dari sana namun sebelum ia angkat bicara, ia menyadari kalau sorot mata bocah di hadapannya itu berubah, membuat ia mengurungkan niatnya.
Galang menatap tas milik kakaknya sejenak, lalu tanpa Alan duga, bocah itu mengajaknya duduk di sebuah bangku yang ada di halaman rumah.
Bahkan setelah ia cukup lama berada di sana pun, ia tak menemukan keberadaan Mentari di sana dan bahkan suaranya pun tak kunjung ia dengar.
"Gimana kondisi Kak Mentari sekarang?" Akhirnya Alan memberanikan diri untuk bertanya.
"Kak Mentari ada di dalam kamar sama Ibu. Sebenernya aku juga belom ketemu sama Kak Mentari sejak pulang dari sekolah. Tadi Ibu cuma bilang kalo Kak Mentari lagi gak mau diganggu. Fobia Kak Mentari kambuh lagi ya, Kak?"
Melihat Galang yang hanya menunduk itu membuat Alan merasa tak enak. Pemuda itu harus memikirkan beberapa kata yang pas untuk jawabannya agar tak menambah kekhawatiran bocah itu.
"I-iya sempet kambuh tadi, tapi udah diobatin kok. Makanya Kak Mentari diizinin pulang duluan," ujar Alan.
"Apa gara-gara Kak Mentari diejek lagi?"
Alan dibuat terdiam usai mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir bocah di sebelahnya. Lagi, katanya. Berarti sebelumnya Mentari memang pernah mengalami hal yang serupa saat di sekolah.
"Kenapa ya, temen-temen Kak Mentari di sekolahnya jahat. Padahal kakak aku bukan orang yang jahat. Kak Mentari itu orang baik dan gak pernah bikin nangis siapapun. Kak Mentari juga gak pernah ganggu orang lain tapi kenapa orang-orang selalu bikin kakak nangis."
Ungkapan Galang itu kembali membuat Alan terkejut. Entah seberapa jauh bocah itu mengetahui tentang kakaknya, bahkan sampai hal miris seperti itu pun bisa ia ketahui.
"Dulu Kak Mentari sering nangis tiap pulang sekolah. Aku pernah denger waktu di kamar, Kak Mentari nangis ke ibu, dia bilang kenapa semua orang di sekolah takut sama dia, padahal dia bukan penyakit." Galang mengusap kedua matanya dengan tangan.
Alan langsung bergerak mengusap kepala bocah itu, terlebih saat ia mendengar sebuah isakan kecil.
"Kak Mentari itu bukan orang jahat." Galang kembali berujar dengan lirih. Ia menahan isakannya agar tak keluar namun kini ia justru terlihat lebih menyedihkan.
Melihat itu tanpa sadar membuat napas Alan memberat dan lelaki itu ikut menahan sesak di dadanya.
Sementara itu di dalam rumah, Mala menutup pintu kamar Mentari usai putrinya itu kembali tertidur. Ia turun ke bawah namun tak menemukan keberadaan Galang di sana, padahal beberapa saat lalu putra bungsunya itu sudah pulang.
Kedua kaki Mala bergerak menuju pintu dan ia membukanya untuk mengecek ke luar, dan tepat ketika ia membuka pintu, ia melihat Galang bersama dengan seseorang di sana. Walau tak tahu apa yang tengah mereka bicarakan, namun Mala bisa dengan jelas melihat Galang menangis di sana, sebelum akhirnya Alan mengusap puncak kepala anak itu.
Walau tak suka melihat putranya menangis, namun di sisi lain wanita itu bersyukur karena saat ini Galang sedikitnya bisa bercerita kepada orang lain. Meskipun keduanya belum kenal lama, namun Galang tampak sudah cukup dekat dengan Alan.
***
Chandra menatap langit-langit kamarnya. Usai membersihkan diri dan mengganti pakaian, lelaki itu hanya berdiam diri di kamarnya tanpa melakukan apa-apa.
"Kamu tahu kan, maksud Papa. Fobia yang dia miliki itu jarang sekali terjadi di sekitar kita, dan adaptasi pasti masih terasa sulit baginya sampai sekarang."
Chandra mengusap wajahnya dengan kasar dan ia menatap tumpukan kertas yang ada di mejanya.
"Pak, bisa enggak, kalo saya gak usah turun ke lapangan? Sebagai gantinya, saya ngerjain makalah aja, atau kalau mau tes lisan pun gak masalah—oh! Tes di GOR deket sini juga boleh kok!"
"Bapak mungkin gak percaya saya, tapi Bapak bisa tanya ke murid lain kok. Karena guru sebelum Bapak juga ngelakuin hal yang sama."
"Lho, Bapak tahu saya pengidap heliophobia?"
"Pak, ini tuh bukan alergi biasa."
Helaan napas terdengar setelahnya, "Bahkan di hari pertama gue datang ke sekolah, gue langsung bisa ngenalin lo." Chandra perlahan memejamkan kedua matanya.
—TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Heliophobia ✔
Teen FictionVampir? Kelelawar? Manusia serigala? Bukan! Namanya Mentari Putri. Namun tidak seperti namanya, ia justru takut dengan sinar matahari. Bagaimana bisa? Gadis itu hanya akan keluar saat malam hari, sementara saat siang hari ia akan senantiasa mengurun...