Selangkah demi selangkah Mentari bergerak menyusuri koridor yang cukup ramai. Sesekali ia sedikit berlari saat firasatnya kian terasa tak menyenangkan.
Biasanya jika tak ada kepentingan, Mentari enggan pergi ke tempat itu. Namun beberapa hari terakhir ia lagi-lagi harus ke sana hanya demi beberapa hal yang ingin ia ketahui.
Ternyata benar, kalau tak semua rasa penasaran itu harus selalu dituruti. Ada beberapa hal yang memang tak seharusnya diketahui dan hal itu dilakukan untuk melindungi diri dari luka hati.
Mungkin seharusnya Mentari tak mencari tahu lebih dalam tentang Alan kemarin. Sekarang, gadis itu mulai dilanda ketakutan akan dilupakan dan ia tak mau hal itu terjadi pada dirinya sebagaimana ia yang telah melupakan seseorang sebelumnya.
Mentari sudah hampir mencapai salah satu pintu ruangan yang entah mengapa terbuka lebar tak seperti biasanya. Lalu saat ujung kakinya hampir mencapai ambang pintu, gadis itu mendadak terdiam di tempatnya usai mendengar seseorang berbicara di dalam.
"Dia khawatir pas tahu kondisi kamu memburuk, Lan. Makannya Chandra sering ngingetin kamu buat periksa. Dulu dia semangat banget buat jadi neurolog, tapi setelah lulus SMA tiba-tiba dia datang menemui saya dan bilang kalau dia ingin mengubah keputusannya sendiri menjadi seorang guru olahraga, hanya untuk mengawasi perkembangan gadis pengidap heliofobia yang bernama Mentari itu." Suara khas milik Erwin terdengar cukup jelas. Neurolog itu tampak berbicara dengan seseorang, tapi Mentari masih belum menunjukkan diri dan memilih untuk bersembunyi di balik dinding itu.
Degup jantung Mentari mendadak terasa sedikit lebih kuat selama beberapa detik saat namanya disebut. Ia masih mencoba mencerna kalimat barusan dan mengirim sebuah sugesti pada otaknya kalau nama yang barusan ia dengar itu bukanlah namanya.
"Lo bener-bener gak bisa berterus terang, ya?" Kemudian suara Alan menyahut dengan tekanan pelan pada nada bicaranya, seolah sedang menahan sesuatu dalam dirinya.
"Mau gue ngungkapin semuanya ataupun enggak, toh semua ini bakalan tetep terjadi. Entah itu jadi neurolog atau guru olahraga seperti sekarang, keduanya tetep keputusan yang gue ambil sendiri dan sebentar lagi, tugas gue selesai di sini. Kondisi Mentari perlahan membaik dan gue harap lo bisa jaga dia." Kini suara Chandra yang terdengar.
Mentari refleks memejamkan kedua matanya dengan kedua tangan yang mengepal kuat di samping tubuhnya. Sugesti yang sempat ia berikan pada otaknya seketika menghilang. Degup jantungnya kembali meningkat dan otaknya mengirimkan sinyal begitu adanya rasa sakit di dada bagian kiri.
"Apa kamu ... benar-benar gak ingat sama saya?"
Pandangannya buram begitu ia membuka mata.
Sebelumnya, ia berkata pada dirinya sendiri untuk tak pernah memaafkan orang yang menghancurkan alur cerita itu. Namun ternyata hidup memang memiliki plot twist yang tak pernah bisa diduga. Siapa sangka kalau orang yang sudah berani menghancurkan alur cerita itu ternyata ia sendiri.
Mentari meremas kuat pinggiran rok seragam miliknya. Dengan perlahan, ia kembali menggerakkan kakinya hingga benar-benar mencapai ambang pintu. Di sana, ia bisa melihat orang-orang yang tengah bercengkerama itu.
"Mungkin memerlukan waktu beberapa tahun lagi dan setelah ini gue bakalan bener-bener fokus sama kondisi lo. Gue minta selama gue pergi, lo harus jaga kondisi lo dan ... jangan lupain gue lagi. Oke?" Chandra kembali berujar pada Alan, lalu disusul dengan seulas senyuman tipis setelahnya.
"Gue udah ngomong sama kepala sekolah soal kepergian gue ke Inggris dan kemungkinan setelah ujian semester nanti, gue pergi. Gue mau mastiin dulu nilai Mentari di atas rata-rata karena selama ini dia jarang sekali ikut kegiatan outdoor." Terdengar tawa pelan setelahnya, membuat kepalan tangan Mentari kian menguat.
Mentari menatap sosok di depan sana dan untuk pertama kalinya, ia merasakan sakit yang luar biasa di dadanya. Orang yang dulu pernah membantunya dan menghilang di dalam kepalanya itu rupanya masih melakukan hal yang sama padanya tanpa disadari. Mirisnya, Mentari tak pernah tahu kalau selama ini sosok itu selalu berada di depan kedua matanya dan orang itu adalah Chandra.
Sosok yang selama ini berbaik hati dan selalu menaruh perhatian yang menurutnya berlebihan, tak lain adalah sosok yang sebenarnya tak ingin ia lupakan, tetapi keadaan justru menguburnya dalam-dalam.
Lagi-lagi Mentari menemukan plot twist dalam hidupnya. Ia memang payah.
"Mentari?" Suara milik Erwin membuat kedua pemuda di depan sana menatap ke arahnya.
"Mentari lo— ngapain di sini?" Alan menatap gadis itu dan menatap sejenak Chandra, khawatir jika Mentari mendengar obrolan mereka di sana.
"Gue—" Mentari berujar dengan suara parau. Ia refleks mengalihkan pandangannya ke atas permukaan lantai dan menatap bayangan kedua lelaki itu ri sana usai mata amber itu mengarah padanya.
Kini ia tak sanggup menatap mata itu. Raut wajah yang masih tampak tenang itu justru membuatnya kian tak berani menatapnya dan malah membuat lara di dadanya semakin terasa.
"Gue khawatir lo bikin keributan di sini." Suara Mentari hampir tak terdengar. Ia kembali meremas pinggiran seragamnya hingga kusut.
Alan segera menghampiri Mentari usai menyadari kalau tangan milik gadis itu mulai bergetar.
"Lo baik-baik aja?" ujar Alan. Lelaki itu menurunkan topi jaket Mentari ke belakang dan mengusap dahi gadis itu yang sudah dipenuhi keringat hingga anak-anak rambutnya basah.
"Lan, maaf." Suara Mentari terdengar bergetar.
Kening Alan mengerut, mempertanyakan kenapa gadis di hadapannya tiba-tiba meminta maaf padanya. Namun di sisi lain, ia khawatir kalau Mentari memang sudah lama berada di sana dan mendengar pembicaraannya bersama dengan Erwin dan Chandra.
"Maaf." Mentari menahan napasnya sejenak hingga dadanya terasa sesak. Lalu dengan susah payah ia melanjutkan, "Maaf karena gue bikin Pak Chandra nunda impiannya. Sementara sekarang kondisi lo makin parah karena gue." Ia kemudian terisak.
Alan terkejut mendengar itu dan ia langsung menatap Chandra yang juga tampak terkejut.
"Tar, ini sama sekali bukan kesalahan lo. Berhenti nyalahin diri lo sendiri, oke?" Alan meletakkan kedua tangannya di bahu Mentari, lalu mengusap air mata gadis itu.
"Tapi harusnya sekarang Pak Chandra udah jadi neurolog hebat yang bisa bantu kondisi lo, Alan! Alzheimer lo itu bukan sesuatu yang bisa dengan mudah disembuhkan! Lo harus peduli soal itu!" Mentari berujar lantang di tengah isakannya. Gadis itu merasa frustrasi.
Semuanya berubah menjadi kacau karena ketidaktahuannya.
Tak tega melihat Mentari yang putus asa akhirnya Alan memilih menarik gadis itu ke dekapannya dan membiarkannya melepas semua tangisannya di sana.
Pandangan Alan kian berembun, tak sanggup mendengar raungan penyesalan gadis itu.
"Lo gak salah, Mentari. Lo gak salah," lirih Alan seraya mengusap rambut Mentari. Hingga tak lama setelahnya ia merasa ada sesuatu yang mengusap puncak kepalanya sendiri dan Alan melihat Chandra di sana.
Chandra mengusap rambut Alan dan Mentari secara perlahan sebelum akhirnya lelaki itu merangkul mereka berdua, bersamaan dengan setetes cairan bening yang lolos dari pelupuk matanya.
Di tempatnya, Erwin menatap pemandangan haru itu. Setidaknya sebelum pergi, putranya bisa memeluk dua orang yang selama ini mati-matian ia lindungi.
Semua yang Chandra lakukan tak sepenuhnya gagal. Lelaki itu sudah berusaha melakukan yang terbaik bagi keduanya dan seperti inilah yang seharusnya ia dapatkan.
—TBC
(灬º‿º灬)♡
![](https://img.wattpad.com/cover/242864607-288-k735756.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Heliophobia ✔
Teen FictionVampir? Kelelawar? Manusia serigala? Bukan! Namanya Mentari Putri. Namun tidak seperti namanya, ia justru takut dengan sinar matahari. Bagaimana bisa? Gadis itu hanya akan keluar saat malam hari, sementara saat siang hari ia akan senantiasa mengurun...