51. Hancurnya Alur Cerita

88 21 9
                                    

Cakrawala pagi ini tampak cukup bersih dengan warna biru yang mendominasi. Sang baskara dengan begitu bersemangat menerangi bentala yang belum sepenuhnya kering akibat hujan kemarin.

Beberapa orang akan bersemangat memulai hari, namun tak jarang ada yang sudah mengeluh usai mendadak jadi peramal, memprediksi kalau hari ini pasti akan begitu benderang hingga petang menjelang.

Mentari salah satunya. Kedua tangannya yang digunakan sebagai tumpuan di lutut itu digenggamnya dengan kuat. Bergerak dari gerbang hingga ke koridor normalnya tak perlu menghabiskan waktu hingga sepuluh menit, namun napas gadis itu bahkan sudah megap-megap hanya karena berusaha menghindari terpaan cahaya sang musuh bebuyutan.

Perlahan peluh mulai membasahi permukaan dahinya. Ia menelan ludah, merasa gagal dalam menjalankan rencana yang sudah semalaman ia susun.

Pagi ini ia harus berjalan santai usai turun  dari mobil milik ibunya dan bergabung bersama kerumunan yang berjalan melewati gerbang hingga ke koridor, begitulah kira-kira. Namun yang terjadi, ia malah menerobos paksa kerumunan itu dan berlari secepat mungkin bak seorang pencuri yang tengah dikejar masa—seperti biasanya.

"Jadi, setelah kucing warna pink, sekarang lo cosplay jadi bunga matahari?" Seseorang menarik bagian atas topi jaket milik Mentari hingga gadis itu menolehkan kepalanya ke belakang.

"Ini bukan bunga matahari! Lo gak lihat ini telinga?" protes gadis itu dengan kedua alis saling bertaut. Ia menjauhkan tangan Alan dari kepalanya lalu beralih menarik sesuatu yang berbentuk telinga seperti yang ia katakan barusan, "Ini kucing kuning!" tegasnya.

Alan dibuat terheran-heran, lalu berpindah ke depan Mentari lalu tergelak, membuat gadis yang mengenakan jaket berwarna kuning cerah itu mengerjap, merasa tak ada yang salah dengan kalimatnya.

"Gue pikir itu kelopak bunga matahari lho!" Dengan iseng ditariknya kembali telinga kucing milik Mentari hingga gadis itu kembali melayangkan protes padanya. "Lagian warna jaket lo kuning sih. Kan, gue ngiranya kalo itu bunga matahari. Secara kan nama lo Mentari."

Mentari sudah bersiap melayangkan bogem ke kepala Alan namun ia mendadak termenung begitu melihat senyuman lebar lelaki itu. Tinjunya perlahan diturunkan dan dengkusan pelan terdengar setelahnya. Ia pun memutar paksa tubuh Alan dan mendorong punggungnya dengan kedua tangan, berlagak seolah sedang mengusir lelaki itu.

Tak jauh di belakang mereka, seseorang tampak memperhatikan dua sejoli di depan sana dengan kedua tangan yang sudah menyilang di depan dada.

"Dasar, ya. Masih pagi udah pacaran aja." Lala berdecak pelan seraya menggelengkan kepala. Awalnya ia memang tak begitu menyukai keberadaan Alan karena lelaki itu pernah membuat Mentari mengalami kesulitan karena kecerobohannya hingga serangan paniknya kambuh. Namun, Lala merasa saat ini Mentari sudah menemukan seseorang yang setidaknya bisa lebih memahami kondisinya yang sedikit berbeda dari kebanyakan orang. Dan di sisi lain, sepertinya Lala juga harus lebih meningkatkan kepekaannya apalagi setelah mengetahui kondisi Alan.

Lala merasa seperti sedang mengasuh dua orang anak-anak.

"Awas aja kalo sampe dia beneran lupa sama fobia Mentari dan bikin masalah lagi, gue hantam kepalanya sampe gepeng!" gumam Lala dengan kedua mata yang menyorot tajam ke depan sana. Ia berniat melanjutkan kembali langkahnya namun dikejutkan oleh seseorang yang entah sejak kapan berdiri di sebelahnya.

"Pak Chandra!" ujarnya dengan kedua mata membulat. "Pa-pagi, Pak!" Dengan susah payah ia mencoba menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Lala mengerjap pelan lalu menatap Mentari dan Alan yang sudah jauh, sebelum akhirnya kembali menatap Chandra.

Wangi khas sang guru olahraga itu sempat membuat Lala terpaku. Gadis itu tanpa sadar malah memandangi wajah rupawan gurunya dan memanfaatkan kesempatan langka, di mana ia bisa benar-benar berdekatan dengan lelaki itu apalagi ini masih sangat pagi.

Heliophobia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang