52. Pilihan Sulit

79 21 5
                                    

"Kenapa sekarang malah lo yang ngelamun?" Lala mengerutkan dahi, sementara mulutnya masih sibuk mengunyah makanan..

"A-ah, gue— mendadak keinget sesuatu aja." Mentari tersenyum tipis. Gadis itu kemudian menatap makanannya. Namun begitu mengambil satu suap, ia mendadak berdiri dari posisinya dan membuat Lala kembali menatapnya.

"Kenapa lagi, Tar?"

"Gue pergi bentar ya, La. Lo nanti ke kelas aja duluan." Tanpa menatap lawan bicaranya, Mentari langsung meninggalkan meja begitu saja. Gadis itu bahkan mengabaikan panggilan Lala dan tetap melangkah pergi.

"Kok? Kan, tadi lo sendiri yang nyuruh gue buat cepet! Mentari!" teriak Lala dari posisinya. Ia lalu menatap makanan milik Mentari yang masih utuh, bahkan gadis itu belum sempat meminum minumannya. Ia membuang napas.

Lala masih menatap kepergian Mentari dengan kedua alis yang bertaut, sebelum akhirnya ia kembali melanjutkan kegiatan makannya.

Sementara itu kini Mentari bergerak melewati salah satu koridor.

"Apa maksudnya semua itu? Ayo berpikir, Mentari! Lo bukan pengidap alzheimer seperti Alan, jadi hal itu harusnya bisa dengan mudah lo lakuin!" Mentari membatin. Ia melangkah lebar melewati orang-orang di sana hingga ia setengah berlari, mengecek di setiap lapangan apakah sosok yang dicarinya itu ada di sana namun ternyata nihil. Tak menyerah, ia beralih menuju ruang guru.

Secepatnya ia harus tahu maksud dari Chandra sebenarnya. Mentari tak ingin berekspetasi lebih jika ternyata mereka berdua sebelumnya pernah bertemu satu sama lain dan alasan Chandra menunda impiannya adalah karena—

"Mentari!" Seseorang tiba-tiba memanggil namanya.

Langkah Mentari berhenti dan gadis itu lantas berbalik, menatap Alan yang berjalan dengan sebuah bola basket di tangannya. Dan kebetulannya, lelaki itu tak sedang sendiri. Karena Chandra terlihat sedang bersamanya.

Kedua mata milik Mentari seketika bertemu dengan kedua manik amber yang sedang dicarinya.

"Apa kamu ... benar-benar gak ingat sama saya?"

Jarak mereka kian terpangkas hingga Mentari benar-benar bisa berhadapan dengan lelaki itu.

"Siapa lo ... sebenarnya?" batin gadis itu.

"Lo kenapa lari-lari begitu? Lo lagi nyari seseorang?" tanya Alan. Di beberapa detik setelahnya ia sadar meskipun dirinya yang bertahya, namun mata milik Mentari sama sekali tak mengarah padanya, melainkan— Alan mengikuti ke mana pandangan Mentari pergi, dan hal itu berakhir pada sosok yang ada di sebelahnya, —Chandra.

"Siapa ... Pak Chandra sebenarnya?" tanya Mentari tanpa melepaskan kontak mata mereka barang sedetik pun, untuk pertama kalinya. Bak seekor singa yang sudah mendapatkan mangsa di hadapannya, ia kali tak akan dengan mudah melepaskannya pergi. Sorot mata gadis itu seolah mengunci lelaki di depannya agar tetap di sana.

Kedua alis milik Alan saling bertaut dan beralih menatap Mentari yang tampak begitu serius, berbanding terbalik dengan Chandra yang tampak begitu tenang seolah sudah memprediksi kalau hal itu memang akan terjadi.

"Saya ... salah orang." Chandra tersenyum tipis, "Maaf, ya. Sekarang saya harus pergi ke ruangan kepala sekolah." Ia menepuk pelan bahu Mentari, lalu memutus kontak mata mereka secara sepihak saat kembali melangkahkan kaki.

Mentari berbalik dan menatap Chandra yang bergerak semakin jauh. Entah kenapa ia yakin, kalau hal itu bukanlah kesalahan. Sesuatu pasti memang sudah terjadi di antara mereka sebelumnya. Tapi apa yang membuatnya tak ingat? Apakah kejadiannya memang sudah selama itu?

"Pak—" Gerakan Mentari berhenti saat Alan menahan salah satu pergelangan tangannya. Gadis itu menolehkan kepalanya ke belakang dan menatap Alan yang menggelengkan kepala, memberinya isyarat agar tak mengejar Chandra.

***

"Jadi selama ini lo bener-bener udah kenal Mentari?"

"Cuma gue. Dia gak inget sama sekali." Kedua sudut bibir Chandra samar-samar membentuk lengkungan bulan sabit. Mata ambernya menatap murid-murid yang ada di lapangan, hingga pandangannya tertuju pada seorang murid perempuan yang berdiri di bawah pohon cemara dengan mengenakan jaket kuning terang. Kedua matanya berkeliling, berusaha menemukan sesuatu.

"Itu Mentari, kan?" ujar Alan yang juga menyadarinya. Lelaki itu hendak memanggilnya namun Chandra dengan segera menghentikannya, hingga Mentari benar-benar pergi dari sana.

"Gue rasa dia ... nyari lo." Alan berujar pelan. Usai mengatakannya, lelaki itu lantas melirik Chandra yang berdiri di sebelahnya. "Dan setelah semua ini, lo menyerah gitu aja?"

"Gue gak nyerah, gue cuma mau ngelakuin apa yang harus gue lakuin sejak awal."

"Dia bakal kecewa setelah ini." Alan membuang napasnya kasar.

"Lo bisa gantiin gue."

"Bisa lo lupain aja impian lo itu? Gue baik-baik aja," tegas Alan. Ia sudah memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan Chandra secara langsung. "Jadi sebaiknya sekarang lo fokus—"

"Alan, gue sejak awal emang seharusnya enggak berada di sini."

Entah kenapa, kini Alan semakin benci dengan raut wajah serius Chandra. Lelaki itu hanya akan serius ketika mengatakan hal-hal tak menyenangkan dan Alan benci karena lagi-lagi dirinya ikut terlibat.

"Mentari udah terlanjur tahu semuanya dan gue harap setelah ini, lo ngecewain dia. Lo tahu kan, kalo dilupakan itu rasanya gak enak?" Chandra kembali berujar. "Minum obat lo secara teratur dan lo harus rutin periksa kondisi lo ke bokap gue, karena mungkin setelah ini gue gak bisa ngingetin lo secara langsung."

"Lo gak bisa begini. Masih ada yang—"

"Tugas gue selesai dan gue harap lo bisa gantiin gue." Chandra menginterupsi. Ia menatap kedua netra milik Alan, lalu tersenyum. Salah satu tangannya diangkat dan untuk pertama kalinya sejak delapan tahun berlalu, Alan tak menolak saat Chandra berhasil mengusap puncak kepalanya.

***

Alan semakin dibuat kepayahan semenjak Chandra menemuinya tadi. Lelaki itu dengan sengaja memberitahunya beberapa hal rumit yang memancing sakit kepala.

Di tengah penjelasan guru itu, Alan berusaha agar dirinya tetap fokus pada pelajaran namun ia semakin kesulitan.

"Sialan lo, Chandra," batin Alan.

"Lan, lo gak kenapa-napa?" Eric bertanya usai melihat Alan meremas kuat halaman bukunya hingga kusut bahkan sedikit robek di salah satu sisi.

"H-hm. Gue gak kenapa-napa kok." Alan mencoba menaikkan kedua sudut bibirnya ke atas dan mencoba fokus pada penjelasan guru di depan sana.

Kondisinya tak kunjung membaik bahkan saat jam terakhir selesai. Alan tak ingin membuang waktunya dan ia bergegas keluar dari kelas.

Setelah Chandra mengatakan semuanya, ia tak bisa diam begitu saja. Mungkin setelah ini ia harus menemui Erwin dan berbicara dengannya. Dunianya seketika berubah drastis begitu dirinya pindah rumah dan bertemu dengan gadis pengidap heliofobia yang bernama Mentari Putri.

Langkah Alan berhenti bahkan sebelum dirinya berhasil melewati pintu di depannya. Seorang guru yang baru saja keluar lantas menatapnya.

"Ada apa?" tanya wanita paruh baya di hadapannya.

"Saya ... mau ketemu sama Pak Chandra," ujar Alan.

"Pak Chandra kayaknya tadi sudah pulang."

Kedua alis Alan saling bertaut. Usai mengucapkan terima kasih, ia lantas berpamitan dari sana. Dengan setengah berlari, Alan pergi menuju parkiran.

—TBC

Heliophobia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang