38. Sosok Kedua

99 27 2
                                    

"Apaan?" Alan mendudukkan tubuhnya di sebelah Chandra usai lelaki itu memanggilnya keluar lapangan.

"Gue denger lo udah beberapa waktu terakhir belom periksa lagi."

Alan melirik Chandra yang ada di sebelahnya, kemudian ia menaikkan salah satu sudut bibirnya, "Kenapa emang? Bukan urusan lo juga, kan?" ujarnya.

Mendengar itu, Chandra membuang napasnya pelan. "Emangnya lo gak baca hasil tes yang gue kasih?"

"Om Erwin semalam udah nelepon gue kok. Lo gak usah memperjelas semuanya." Alan menatap teman-temannya yang masih berada di lapangan, "Nanti gue ke sana, bahkan tanpa lo suruh pun gue pasti bakalan pergi. Jadi lo gak perlu ikut campur."

Kini giliran Chandra yang tersenyum miring. "Ternyata lo bener-bener berubah banyak ya, Alan." Ia sengaja menekankan bagian akhir kalimatnya, membuat Alan menoleh dengan kening mengerut.

"Semua orang, lambat laun pasti berubah," ujar Alan. "Bahkan lo sendiri aja berubah, buktinya aja gue gak langsung ngenalin lo pas pertama kali pindah ke sini," tambahnya.

"Tapi gue bisa dengan mudah ngenalin lo. Bahkan gue bisa langsung tahu kalo itu lo."

Alan terdiam setelahnya dan kembali menatap Chandra.

"Sangat disayangkan karena lo bahkan gak langsung kenal sama gue. Mungkin kalo bukan gue yang mulai— lo sampe sekarang kayaknya gak bakalan nyadar kalo ini gue." Chandra melanjutkan.

"Gue bahkan gak tahu kalo lo itu anaknya Dokter Erwin."

"Awalnya gue juga gak nyangka kalo ternyata kita bakalan ketemu pake cara kayak gini. Gue sama sekali gak expect kalo ternyata lo, salah satu pasien bokap gue. Gue sering liat hasil tes—"

"Gak perlu bahas itu lagi, bisa?" Alan menginterupsi.

Salah satu sudut bibir Chandra naik, "Hasil tes laboratorium punya lo sama Mentari, keluar hampir barengan."

Alan mengerutkan dahi, menatap Chandra yang masih duduk di sana dengan tampang santai.

"Kenapa lo bisa tahu banyak soal Mentari? Kalian— kenal lama?" tanya Alan.

"Enggak juga, dulu gue guru baru di sini dan sebelum itu kita gak kenal sama sekali kok." Chandra menaikkan kedua bahunya. Lelaki itu masih menatap murid-murid yang berada di lapangan.

"Bisa gak lo jelasin langsung tanpa harus bertele-tele?!" Alan mengepalkan kedua tangannya. Jika saja Chandra bukan salah satu guru di sekolahnya, ia mungkin sudah menarik leher baju lelaki itu.

Bersamaan dengan itu, bel pergantian jam berbunyi. Beberapa murid yang berada di luar kelas sedikit demi sedikit masuk ke dalam kelas masing-masing.

"Lan, buruan! Keburu ada guru yang masuk!" teriak Eric sesaat setelah mengambil bola.

Alan menatap temannya itu sejenak sebelum akhirnya kembali menatap Chandra tajam. "Oke, biar gue yang tanya langsung ke Mentari," ujarnya.

"Dia gak tahu apa-apa, Lan," balas Chandra seraya balas menatap Alan. "Sana masuk sama temen-temen lo. Gak usah kebanyakan pikiran. Inget, lo harus ngecek kondisi lo lagi. Hm?" Ia mengepalkan salah satu tangannya ke arah Alan, menguji apakah lelaki itu akan membalasnya seperti beberapa tahun silam, namun Chandra tersenyum tipis karena Alan hanya memandangi tangannya lalu berlalu dari sana.

***

"Pokoknya, jangan lupain aku!"

"Kita ketemu lagi nanti, ya, Alan. Jangan nangis lagi. Aku harus pulang."

Heliophobia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang