53. He Deserve Better

70 21 0
                                    

"Saya ... salah orang."

Kedua netra milik Mentari kehilangan fokusnya selama beberapa saat. Salah satu tangannya meremas kuat pegangan besi di sebelahnya bersamaan dengan gerakan kedua kakinya yang memelan.

Salah orang, katanya. Di saat satu per satu memori mulai terlihat kembali, dengan gamblangnya Chandra berkata kalau dirinya ternyata— salah orang.

Mentari mengabaikan tatapan kurang menyenangkan dari beberapa orang yang berjalan mendahului dirinya. Gadis itu bahkan tak peduli kalau mungkin dirinya memang sedikit menghambat akses menuju lantai dasar, toh masih ada ruang cukup untuk orang lewat di sana mengingat tangga yang ada di sekolahnya berukuran cukup luas hingga bisa muat empat sampai lima orang.

Lalu tanpa diketahuinya, seseorang yang berada di anak tangga bagian atas itu sedari memperhatikan dan ia bahkan sampai rela ikut berhenti berjalan persis seperti yang Mentari lakukan.

Entah apa yang terjadi kali ini, namun sejak keluar dari kantin tadi Lala merasa ada yang tak beres karena Mentari mendadak jadi lebih pendiam dari biasanya. Teman sebangkunya itu bahkan sempat ditegur oleh guru karena ketahuan tak fokus.

"Apa ini masih soal Pak Chandra sama Alan, ya?" gumam Lala. Sejujurnya ia juga ingin melakukan sesuatu untuk membantu Mentari, namun ia masih belum memahami akar dari permasalahan gadis itu secara pasti. Apakah ini hanya soal masa lalu Chandra dan Alan atau memang ada lagi yang lain yang menyangkut kedua lelaki itu.

"Entah ini hanya perasaan gue atau Mentari beberapa hari terakhir emang agak beda dari biasanya. Bahkan kemarin nyokapnya nelepon gue karena Mentari izin pergi kerja kelompok ke rumah gue padahal kemarin gak ada tugas sama sekali. Dia pasti pergi ke suatu tempat, tapi kenapa harus bohong sama Tante Mala?" batin Lala. Gadis itu refleks mengedipkan matanya saat menyadari kalau Mentari kini kembali melanjutkan langkahnya hingga benar-benar mencapai lantai dasar.

"Terlepas dari gosip soal Pak Chandra yang naruh perhatian lebih ke Mentari, gue rasa ada sesuatu yang lain lagi tentang mereka berdua." Lala kembali bermonolog. Gadis itu kemudian kembali berjalan menuruni satu per satu anak tangga. Ia hendak menyusul Mentari namun ternyata sahabatnya itu sudah tak terlihat di sana.

Sebenarnya Lala tak begitu suka ikut campur urusan orang lain apalagi jika hal itu ada sangkut-pautnya dengan dirinya, namun jika itu masih menyangkut Mentari, ia akan berusaha melakukan apapun untuk membantunya.

Sementara itu, kini Mentari sudah mencapai parkiran terlebih dahulu. Kedua matanya berkeliling menatap satu per satu motor yang masih berada di sana.

"Lo Mentari, kan?"

Tanpa menurunkan topi jaket miliknya, Mentari menoleh saat seseorang tiba-tiba berbicara padanya. Gadis itu mengerutkan dahi dan berusaha mengingat-ingat sosok yang terlihat cukup familier itu.

"Nyari Alan?" Lelaki itu kembali berujar tanpa peduli kalau pertanyaannya yang sebelumnya tak mendapatkan jawaban sama sekali.

Mentari langsung mengenal sosok di depannya. Gadis itu perlahan mengangguk saat sadar kalau lelaki itu adalah salah satu teman sekelas Alan.

"Alan udah keluar kelas dari tadi. Kayaknya dia agak buru-buru sih, mungkin lagi ada kepentingan penting jadi langsung pulang," ujar Eric. Fokusnya sempat teralih beberapa saat pada topi jaket milik Mentari yang berbentuk sepasang telinga— entah itu memang telinga atau bunga, yang jelas jaket tebal berwarna kuning cerah itu pasti bisa membuat kepanasan di tengah cuaca terik begini, belum lagi warnanya sudah cukup membuat kedua matanya menyipit.

Usai memeriksa kembali motor-motor di sekitarnya, Mentari lalu mengucapkan terima kasih dan ia pergi dari sana tanpa mempedulikan reaksi Eric yang terkejut sekaligus bingung menatapnya.

Mentari kini beralih menuju parkiran khusus guru dan ia juga tak menemukan mobil milik Chandra di sana.

"Mereka berdua gak ada." Mentari bergumam dengan napas terengah. Dengan segera ia menelepon Alan namun panggilannya tak diangkat bahkan setelah ia melakukannya berulang kali.

Ibu jarinya lalu dengan cepat bergerak mencari kontak lain dan ia sempat terdiam sejenak menatap layar ponselnya, sebelum akhirnya menekan tombol bergambar telepon yang ada di sana.

***

Kedua mata milik Erwin bergerak saat membaca satu per satu kata yang tertera pada lembaran kertas di tangannya, sebelum akhirnya ia kembali beralih pada sosok yang belum lama ini berdiri di dekat jendela ruangannya yang sengaja dibuka lebar.

"Jadi, sekarang kamu benar-benar sudah membulatkan keputusanmu?" Suara khas milik sang ayah membuat Chandra tersadar dari lamunannya dan lelaki itu bergumam pelan sebagai jawaban.

"Kamu yakin? Bukankah sebelumnya kamu sendiri yang bilang kalau gadis itu masih belum—"

"Aku gak mau melangkah terlalu jauh. Kali ini, Chandra bakalan ngelakuin apa yang seharusnya Chandra lakukan sejak awal." Mata amber milik Chandra semakin menatap jauh ke luar sana, bersamaan dengan napasnya yang kini terasa sedikit lebih berat. "Untuk saat ini, Alan lebih penting," lanjutnya.

Erwin melepaskan kacamata yang ia kenakan dan ia menatap kembali putranya, lalu menyadari adanya kepalan tangan yang disembunyikan.

Putranya tengah menghadapi pilihan yang cukup sulit. Tentu saja, lelaki itu secara diam-diam mengawasi dan menjaga dua orang yang menurutnya memiliki peranan cukup penting di dalam hidupnya, sama halnya seperti ia menjaga adik-adiknya sendiri. Walaupun mungkin balasan yang ia terima memang terasa tak begitu menyenangkan.

Pertanyaannya hanya satu, di mana letak kesalahannya? Selama ini ia hanya berusaha melindungi orang-orang yang berharga untuknya, walau mungkin mereka tak melakukan hal yang sama padanya.

Apakah kalimat yang terakhir menjadi jawaban atas pertanyaannya sendiri?

Apakah perasaan pedulinya merupakan kesalahan?

"Hanya karena sebuah fobia memiliki kesempatan yang lebih besar untuk disembuhkan, jadi kamu memilih untuk mengubah keputusan?"

"Chandra percaya sama Mentari. Dia gadis yang kuat dan tangguh, meskipun seringkali rapuh. Lagi pula aku seneng bisa ngawasin perkembangan dia selama ini dan aku yakin kalau Dokter Wira itu bisa membantu Mentari sepenuhnya. Mentari sekarang kuat, Pa. Dia sudah mulai bisa pergi sendirian," ujar Chandra. Salah satu tangannya merogoh kantung celananya saat ponselnya berbunyi. Lelaki itu terdiam menatap nama yang tertera di layar ponselnya. Seulas senyuman tipis perlahan terbentuk di permukaan bibirnya.

"Halo?"

"Pak Chandra di mana?"

Chandra bungkam selama beberapa saat, "Saya— di rumah sakit," ujarnya seraya beralih menatap sang ayah yang juga tengah menatap ke arahnya.

"Sama Alan?"

"Alan?"

Bersamaan dengan itu, pintu ruangan ayahnya terdengar diketuk dari luar sebelum akhirnya dibuka lebar dan menampakkan seseorang yang melangkah lebar ke arahnya.

Di seberang sambungan telepon, Mentari yang masih menunggu jawaban Chandra itu pun beberapa kali menatap layar ponselnya untuk memastikan kalau sambungan teleponnya tak terputus.

"Pak Chandra?" panggil gadis itu namun masih tak ada jawaban. "Pak—"

Kalimat Mentari terputus begitu ia mendengar bunyi yang cukup nyaring di seberang sana hingga dirinya tersentak pelan. Terdengar seperti— bunyi pukulan dan disusul oleh benda jatuh setelahnya.

Mentari hendak kembali memanggil Chandra namun ia sadar kalau sambungan telepon mereka terputus.

Gadis itu langsung berlari keluar dari parkiran.

—TBC


Oke, sudahi hiatusnya karena sudah sebulan. Mari kembali lanjutkan:")

Minal aidzin wal faidzin(灬º‿º灬)♡

Heliophobia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang