Ujian akhir semester sudah dimulai. Sebagian besar murid berusaha keras belajar untuk meraih nilai optimal. Beberapa kelas di antaranya bahkan membentuk kelompok belajar yang terdiri dari beberapa orang.
Sementara itu Mentari dengan senang hati menawarkan Alan bantuan agar mau belajar bersamanya selama ujian berlangsung. Ia tahu sesulit apa Alan dalam mengingat berbagai hal, maka dari itu ia berniat membantu. Sesekali Lala datang ke rumah Mentari untuk bergabung, walau awalnya ia terkejut saat melihat rumah Alan yang benar-benar bersebelahan dengan rumah sahabatnya. Bahkan, Galang yang beda tingkat itu pun bergabung dengan mereka dan sesekali dibantu saat ada yang tak paham.
Sesekali Mentari dan Alan pergi ke rumah sakit untuk mengecek perkembangan kondisi mereka. Selain itu, Chandra juga terkadang menasihati mereka untuk tak hanya fokus pada belajar tapi juga pada kesehatan.
Galang kembali ke rumah setelah disuruh membeli sop buah beberapa saat yang lalu oleh Mentari. Alan yang sudah semakin hapal sifat Galang itu bahkan memberikan uang lebih untuk bocah itu belikan kue cubit Mang Asep.
Lala yang saat ini berada di rumah Mentari tampak menikmati sop buahnya, sesekali mengajak Galang yang sedang menonton TV itu mengobrol.
"BTW, Lan, dulu lo awal ketemu sama Mentari itu pas di minimarket, kan?" tanya Lala setelahnya.
Alan mengangguk. "Kenapa emang?"
"Gimana rasanya tamparan Mentari waktu itu, Lan?" Lala menahan tawa usai melirik Mentari yang sudah memelototkan mata padanya.
"Sakit banget, La, sumpah. Dia nampar gue bener-bener dari hati." Alan langsung mengusap permukaan salah satu pipinya.
Mentari mendadak tersedak pelan, "Ya habisnya gue kan kaget waktu itu. Gue pikir lo mau macem-macem! Gue nyangka lo mau pegang pantat gue, ja-jadi ya wajar."
"Padahal gue udah baik ngembaliin HP punya lo, bukannya ngucapin makasih malah nampar gue. Lagian bentuk pantat kita sama, Tar. Ngapain juga gue pegang-pegang pantat lo. Dikira pantat gue bentuknya kubus apa?" Alan membuang napasnya, sementara Lala sudah terbahak-bahak hingga terjungkal.
"Ya-ya siapa tahu aja kan. Tahu sendiri sekarang cewek-cewek makin gak aman kalo keluar sendirian. Wajarlah waktu itu gue nyangka lo begal." Mentari membuang muka begitu kedua pipinya terasa menghangat.
"Mana ada begal nekat masuk minimarket, Mentari." Alan memijat pelipisnya.
"Ada loh, jangan salah. Sekarang orang jahat makin bervariasi, Lan. Kotak amal di mesjid aja bisa kena maling."
"Bener juga." Alan dan Lala manggut-manggut membenarkan ucapan Mentari.
Tak lama setelahnya, mereka bertiga kembali melanjutkan kegiatan belajar dan sesekali ribut saat adanya perbedaan pendapat. Begitulah risikonya belajar kelompok. Jika bukan kebanyakan mengobrol, pasti kebanyakan debat.
***
Selesai makan malam, Mentari membantu ibunya mencuci piring. Setelahnya ia mengambil piring berisi puding yang diberikan oleh ibunya. Pulang sekolah tadi, Alan mengeluh tak enak badan. Ujian hanya tinggal beberapa hari lagi dan kesehatan Alan justru malah drop.
Dewi yang sudah pulang dari tempat kerjanya segera mempersilakan Mentari untuk menjenguk Alan di kamarnya.
"Sori, ya, gue malah ganggu waktu istirahat lo," ujar Mentari seraya meletakkan piring yang ia bawa di atas nakas yang ada di samping tempat tidur Alan.
"Enggak kok. BTW thanks, ya."
Mentari mengangguk. "Besok gak usah maksain diri kalo lo masih gak enak badan. Mending dipake istirahat aja. Toh enggak masalah juga kalo cuma sehari ikut ujian susulan," ujarnya seraya duduk di kursi belajar milik Alan.
"Dari dulu gue paling males sama ujian susulan." Alan berujar setelahnya. "Tar, sori. Bisa ambilin obat gue gak? Gue belom minum obat."
"Lo simpen di mana emang?"
"Di situ, di laci meja."
Mentari memutar tubuhnya dan mencari laci yang Alan maksud. Begitu menemukannya, ia melihat beberapa lembar obat di sana. Namun, Mentari justru diam setelahnya.
"Kenapa, Tar? Obatnya gak ada?" tanya Alan.
"Lan, ini-" Mentari mengambil dua lembar obat dari dalam laci. "SSRI sama beta blockers. Lo yang ngambil obat gue?"
Kedua mata Alan membulat. "Tar, itu-"
"Mungkin lo gak sadar, tapi gue selalu kasih tanda di setiap obat yang gue minum, jadi gue bisa tahu. Ini obat gue, Lan. Kapan lo ambil ini?"
"Itu-" Alan menahan napasnya sejenak, "Sori, Tar."
"Lo ngambil pas bawain tas gue pulang? Beneran?"
Kepala Alan mengangguk. "Sori, Mentari."
Kedua bahu Mentari merosot. Ia menjatuhkan kembali tangannya ke samping tubuhnya tanpa melepaskan tatapannya barang sedetik pun dari Alan.
"Gue tahu gue lancang. Tapi saat itu gue bener-bener mikirin kondisi lo pas di rumah sakit. Apalagi saat itu Chandra ngomong seolah-olah dia tahu banyak tentang lo jadi gue nyari tahu sendiri dan nemu obat lo. Selama ini lo- minum itu, Tar?" Alan mengangkat wajahnya hingga pandangan mereka kembali bertemu.
"Dosis gue sekarang udah diturunin sama Dokter Wira dan gue diminta buat gak terlalu bergantung sama obat ini kalau situasinya gak darurat. Gue ... masih belajar buat terbiasa," ujar Mentari pelan seraya menatap obat yang berada di tangannya. Rasanya selama ini sebagian hidupnya ditopang oleh obat-obat itu. Mereka sudah seperti sosok teman yang mengerti kondisinya di kala hidupnya jungkir balik.
"Lo bisa, Mentari. Lo pasti bisa ngalahin fobia lo itu. Lo cewek kuat, iya, kan?" Alan yang entah sejak kapan sudah beranjak dari tempat tidurnya itu kini berjalan mendekati Mentari dan menangkup wajah gadis itu.
"Tapi lo tahu sendiri kalo panic attack gue masih suka kambuh." Mentari tersenyum kecut.
"Lo lupa sama yang diomongin Chandra sama Dokter Erwin? Fobia lo itu kemungkinan besar bisa sembuh. Walau gak bisa bener-bener seratus persen, tapi gue yakin kalo lo bisa terus maju sampe garis akhir," tegas Alan.
"Terus gimana sama lo, Lan?" Kini giliran Mentari yang bertanya. "Lo ... juga bisa sembuh, kan?"
Seketika kedua netra Alan kehilangan fokusnya hingga lelaki itu terdiam selama beberapa saat. Selang beberapa detik setelahnya Alan menganggukkan kepala seraya tersenyum lebar. "Lo masih inget, kan, pas waktu itu nampar gue? Kalo seandainya suatu hari nanti ternyata gue kalah dari penyakit gue, lo bisa nampar gue berkali-kali, Mentari. Pukul kepala gue sampe inget. Oke?" Ia mengacungkan salah satu ibu jarinya di depan wajah Mentari dengan senyuman kian lebar, lalu tertawa pelan seraya mengusap sesuatu yang lolos dari kedua mata gadis di depannya.
"Lo harus menang, Lan. Janji sama gue. Kita berjuang bareng sampe ke garis akhir yang lo bilang tadi." Suara Mentari terdengar parau.
Senyuman Alan sempat memudar usai mendengarnya. Lelaki itu membuang napas pelan, "Gue gak janji, tapi gue pasti bakal berusaha," ujarnya.
"Pokoknya salah satu dari kita jangan ada yang ketinggalan."
Alan tersenyum, "Tapi jalan gue lambat, Tar." Nada suaranya kian rendah.
Dengan segera Mentari menggelengkan kepalanya. "Enggak apa-apa. Lo bisa pegang tangan gue atau kalau perlu, gue bisa kok gendong lo sampe finish."
Alan kembali bungkam setelahnya, kemudian tertawa saat Mentari justru terisak hingga akhirnya ia segera merengkuh kepala gadis itu ke dekapannya.
Tepat di belakang punggung Mentari, Alan secara diam-diam menghapus air matanya sendiri.
Setelah Chandra benar-benar pergi nanti, yang paling ia khawatirkan adalah tentang Mentari. Ia khawatir akan kehilangan gadis itu. Bukan raga yang pergi, melainkan semua ingatan tentangnya.
—TBC
![](https://img.wattpad.com/cover/242864607-288-k735756.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Heliophobia ✔
JugendliteraturVampir? Kelelawar? Manusia serigala? Bukan! Namanya Mentari Putri. Namun tidak seperti namanya, ia justru takut dengan sinar matahari. Bagaimana bisa? Gadis itu hanya akan keluar saat malam hari, sementara saat siang hari ia akan senantiasa mengurun...