22. Motif

109 32 0
                                    

Alan turun dari kamarnya begitu mendengar ibunya berbicara dengan seseorang. Lelaki itu kemudian menyadari kalau orang yang tengah mengobrol dengan ibunya itu adalah Chandra usai ia sampai di bawah. Apa yang sedang ia  lakukan di sini dan— dari mana ia tahu rumahnya?

Dewi yang menyadari kedatangan putranya itu segera menyuruhnya mendekat, "Sini, Lan. Chandra katanya ke sini disuruh sama papanya buat nganterin hasil pemeriksaan kamu waktu itu," ujarnya.

Kedua alis Alan saling bertaut selama beberapa saat, sebelum akhirnya ia duduk di sebelah mamanya dan mengambil beberapa lembar kertas yang ada di atas meja.

"Kalo gitu Mama ngambil minum dulu, ya, kasihan Chandra jauh-jauh nyari rumah kita. Kamu temenin dia ngobrol dulu." Dewi beranjak dari posisinya.

"Maaf ya, Tante, malah ngerepotin." Chandra tersenyum tipis.

"Enggak kok, santai aja. Kan, kamu juga tamu di sini."

Alan menatap mamanya yang berjalan ke dapur. Lelaki itu lalu membaca isi dari kertas itu.

"Kata bokap, masih gangguan kognitif ringan tapi lo masih harus anamnesis, termasuk pemeriksaan fisik," ujar Chandra.

"Kenapa lo nggak jadi dokter aja kayak bokap lo? Bukannya itu cita-cita lo dari dulu?"

Chandra tertawa pelan begitu mendengar ucapan Alan. "Wah, masih inget ternyata. Gue ntar mau lanjut kuliah kok, kemungkinan ngambil kedokteran."

Kening Alan mengerut, "Jadi, sebelumnya lo bener-bener gak ambil kedokteran?"

Chandra menggelengkan kepalanya, "Gue ngambil olahraga."

Lagi lagi Alan dibuat terkejut dengan pernyataan lelaki di depannya itu. Padahal yang ia tahu, Chandra dari dulu ingin sekali menjadi dokter seperti ayahnya.

"Terus? Apa yang bikin lo ngambil olahraga dan ... jadi guru?"

Salah satu sudut bibir Chandra naik. Di saat yang bersamaan, Dewi kembali dengan membawa nampan berisi jus dan makanan ringan.

"Lan, bisa kamu bantu Mama sebentar? Mama mau bikin puding buat besok tapi gasnya abis. Tolong pasangin, ya," ujar Dewi. "Ndra, kamu gak apa-apa kan, ditinggal dulu?"

"Iya, nggak apa-apa, Tante." Chandra berujar. Ia menatap kepergian Alan dan mamanya. Lelaki itu lalu meminum jus yang diberikan oleh Dewi dan mengedarkan pandangannya ke setiap sudut rumah Alan.

"Bapak nggak tahu, kan?"

"Saya ini tetangganya Mentari dan adiknya cukup sering cerita sama saya kalau kakaknya kurang tidur karena harus ngerjain makalah."

Chandra termenung di detik berikutnya. Apa Alan mengatakan hal yang sebenarnya? Jadi itu artinya, salah satu rumah yang ada di sebelah rumah Alan adalah rumah milik gadis itu.

Samar-samar lelaki itu mendengar adanya suara ketukan pintu selama beberapa kali. Chandra menatap ke arah dapur dan belum ada tanda-tanda maupun Dewi atau Alan yang keluar untuk membukakkan pintu.

Suara ketukan itu kembali terdengar, membuat Chandra akhirnya berjalan ke sana. Ia berpikir mungkin orang yang datang itu memiliki urusan penting dengan si tuan rumah.

"Permi—"

Chandra terkejut melihat sosok gadis di depannya, namun reaksi gadis itu justru lebih terkejut lagi melihat keberadaannya di sana.

"Mentari?" ujarnya.

Dilihatnya Mentari sempat mengerjap pelan sebelum akhirnya berujar, "bapak ngapain di sini?" tanya gadis itu.

Di saat yang bersamaan Alan muncul dari belakang. Lelaki itu menatap dua orang yang ada di sana secara bergantian sebelum akhirnya ia bertanya

"Lo ngapain, Tar?" tanya lelaki itu.

"A-ah, ini ... Nyokap habis bikin kue, terus gue disuruh ngasih ini sama lo, itung-itung ucapan makasih buat yang tadi."

Alan berkedip dua kali lalu menerima benda itu. "Wah, makasih ya. Baik banget Tante Mala. Oh iya lo ... " Ia terdiam selama beberapa saat, melirik Chandra yang ada di sebelahnya kemudian kembali berujar, "mau mampir dulu?"

"Eh? Enggak usah, gue mau pulang aja." Mentari menggelengkan kepalanya dan segera berpamitan dari sana.

Alan menatap gadis itu sesaat sebelum kembali ke dalam.

"Siapa yang dateng, Lan?" tanya Dewi dari dapur.

"Mentari, Ma. Nganterin kue, katanya buat ucapan makasih," jawab Alan. Lelaki itu hendak berjalan ke dapur namun sempat terdiam saat menyadari kalau Chandra masih berada di ambang pintu. Lelaki itu lantas berdeham, "Mau sampe kapan lo liatin Mentari?" ujarnya.

Chandra mengerjap pelan dan ia segera berbalik ke belakang, menatap Alan selama beberapa saat sebelum akhirnya Alan memutus kontak mata mereka terlebih dulu dan berjalan ke dapur dengan membawa paper box di tangannya.

Chandra sempat menatap rumah Mentari sebentar sebelum kembali masuk ke dalam dan menutup pintunya. Ia mendudukkan tubuhnya di sofa dan meminum jusnya.

Oh, jadi ucapan Alan memang benar. Lelaki itu tak berbohong sama sekali.

Ia kemudian mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana dan mengecek chat yang ia kirimkan beberapa jam lalu sebelum ia datang ke sana dan Mentari benar-benar tak membalasnya.

"Om Erwin pasti gak nyuruh lo buat ke sini, kan?"

Kepala Chandra mendongak saat melihat Alan yang kembali dengan membawa piring berisi beberapa potong kue, yang kemungkinan kalau itu adalah kue pemberian Mentari.

"Lo emang inisiatif sendiri buat ke sini. Lo cuma nyari-nyari alasan sama bokap lo buat nganterin kertas-kertas itu dan nyari alamat rumah gue. Padahal, tujuan lo ke sini bukan itu," tukas Alan. Ia menatap ponsel milik Chandra selama beberapa saat sebelum akhirnya kembali berujar, "lo ke sini buat mastiin kalo ucapan gue tadi siang. Iya, kan?" lanjutnya.

Ucapan Alan membuat Chandra terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya lelaki itu terkikih pelan, "Gue gak nyangka kalo ternyata lo bisa berpikir sampe sejauh itu. "

Kedua mata milik Alan tak lepas dari Chandra barang sedetik pun.

"Kenapa lo sampe berpikir kayak gitu? Gue ke sini cuma nganterin hasil pemeriksaan lo doang." Chandra mengambil salah satu potongan kue dengan sebuah garpu.

"Gue gak bodoh. Lo pikir gue jadi pasien Om Erwin baru seminggu? Bokap lo gak pernah sekali pun nyuruh orang buat nganterin hasil anamnesis, atau bahkan dia sendiri yang ke sini. Dan yah, mungkin kali ini lo rela jauh-jauh nyari alamat rumah gue cuma buat nganterin itu. Selain alasan kalo gue temen lama lo, lo juga sekalian mastiin kalo Mentari bener-bener ada di sini. Motif lo itu bisa gue baca dengan mudah," jelas Alan.

Gerakan rahang milik Chandra sempat berhenti, lelaki itu lalu kembali menyunggingkan seulas senyuman dengan salah satu sudut bibir yang naik. "Gue gak tahu, kalo ternyata lo perhatian banget sama Mentari Putri, padahal lo belom begitu lama kenal sama dia." Ia kembali memasukan sepotong kue ke dalam mulutnya.

Salah satu alis Alan naik, "Perhatian?"

"Lo ngira gue punya niat jahat sama Mentari Putri? Tenang, gue sama sekali gak ada niat jahat ke dia kok. Gue gak sejahat itu buat jahatin pengidap heliophobia," ujar Chandra. Ia kemudian menghabiskan jus miliknya dan beranjak, "Kalo gitu gue permisi."

Alan menatap Chandra yang berjalan ke arah pintu.

—tbc

Heliophobia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang