29. Pengawasan Lebih

112 32 0
                                    

"Tolong beri jalan!"

"Ada pasien gawat darurat yang harus segera ditangani!"

"Segera berikan pasien NRM!"

"Mentari!"

-

"Kenapa hal seperti itu bisa terjadi?" Erwin menatap putranya yang duduk di sebuah sofa yang ada di sana. Pemuda itu terlihat menatap langit-langit ruangan kerja sang ayah.

"Chandra lalai, Pa," balas Chandra lirih dengan kedua mata yang kehilangan fokus. Ia masih menatap kosong ke atas sama tanpa berniat menatap papanya sama sekali.

Erwin kemudian menatap putranya itu, "Kamu gak sepenuhnya lalai-"

"Kalau aku gak lalai, dia gak mungkin bisa masuk rumah sakit kayak sekarang!" Tiba-tiba nada bicara Chandra meninggi. Lelaki itu menatap papanya selama beberapa saat, sebelum akhirnya kembali membuang pandangannya ke arah lain.

"Dokter sempat memberinya obat penenang dan dia akan membaik. Ruam kemerahannya juga pasti sudah ditangani. Yang Papa lebih khawatirkan adalah serangan panik gadis itu, karena Papa yakin kalau dia pasti sudah terbiasa mengkonsumsi SSRI atau semacamnya. Yah, meskipun dokter yang memberikan tapi Papa khawatir gadis itu nekat mengkonsumsinya dalam jumlah di luar resep. Kamu tahu kan, maksud Papa. Fobia yang dia miliki itu jarang sekali terjadi di sekitar kita, dan adaptasi pasti masih terasa sulit baginya sampai sekarang," ungkap Erwin.

Chandra membuang napasnya pelan. Jika saja kejadian tadi tidak ketahuan olehnya, ia tak bisa membayangkan ada yang sudah terjadi. Ia tadi sudah datang terlambat dan permukaan kulit milik Mentari sudah memerah karena terbakar bersamaan dengan munculnya panic attack yang ia miliki.

"Untuk sementara ini biarkan dia beristirahat dulu. Kemungkinan besok atau bahkan selama beberapa hari ke depan, gadis itu tak akan datang ke sekolah." Erwin kembali berujar. Ia kemudian menatap jam tangan miliknya dan beranjak, "Ada pasien yang harus Papa periksa sekarang. Kamu sebaiknya kembali ke sekolah, gadis itu akan baik-baik saja di sini. Orang tuanya juga sudah dihubungi tadi."

Sepeninggal papanya, Chandra masih bertahan di sana selama beberapa saat sebelum akhirnya ia memutuskan pergi. Kedua kakinya bergerak kembali ke ruangan Mentari dan ia bertemu dengan seseorang di sana.

Menyadari kedatangan seseorang, Alan yang melihat kondisi Mentari dari balik pintu itu lantas menoleh.

"Kenapa lo nyusul ke sini?" tanya Chandra.

"Lo masih tanya kenapa? Gue khawatir sama Mentari." Alan membuang napasnya. "Dia ... gak bakal kenapa-napa, kan?" Ia kemudian kembali menatap ke dalam sana. Mentari masih belum sadarkan diri, bahkan selang infus pun belum dilepas.

"Sejak kapan lo jadi khawatir sama dia?" Chandra kembali bertanya.

"Sejak lo bilang kalo Mentari punya fobia, sejak gue bikin panic attack dia kambuh waktu itu."

"Dia bakal baik-baik aja. Dokter juga udah ngasih obat. Tapi-" Chandra sempat menjeda kalimatnya selama beberapa saat sebelum akhirnya ia melanjutkan, "bokap gue bilang kalo Mentari kemungkinan terbiasa minum anti depresan jadi dia harus lebih diawasi. Lo tahu kan, pengidap fobia itu kayak gimana." Ia kemudian mendudukkan tubuhnya di sebuah bangku panjang yang ada di sana.

Heliophobia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang