"Tapi harusnya sekarang Pak Chandra udah jadi neurolog hebat yang bisa bantu kondisi lo, Alan! Alzheimer lo itu bukan sesuatu yang bisa dengan mudah disembuhkan! Lo harus peduli soal itu!"
Alan mengusap wajahnya dengan agak kasar. Hari sudah malam, akan tetapi udara dingin di luar sana tak membuatnya berniat menutup jendela kamarnya sama sekali. Ia memilih menyandarkan punggungnya di kursi seraya menatap pemandangan langit di luar sana.
Padahal jarum jam sudah hampir menunjukkan ke angka sebelas namun ia tak merasakan kantuk. Kejadian tadi siang saat di sekolah masih saja membuatnya tak bisa sepenuhnya tenang, apalagi setelah ia membuat Mentari menangis lagi.
"Payah!" Alan membuang napasnya kasar lalu memutar kembali kursinya hingga menghadap ke meja belajarnya. Dari dulu, ia selalu merasa kecewa atas dirinya sendiri dan juga pada takdir yang dipilihkan Tuhan padanya.
Dari sekian banyaknya penyakit yang ada di dunia ini, kenapa harus alzheimer? Begitu banyaknya manusia yang hidup di bumi, tapi kenapa harus dirinya yang mengalami?
Alan selalu berpikir seperti itu. Namun, menyalahkan Tuhan tak akan pernah membuat manusia puas sampai kapan pun.
"Gue gak bisa lihat dia kena panic attack setiap waktu karena orang-orang di sekolahnya. Hampir setiap hari dia masuk ruangan Dokter Wira entah itu karena masalah fisik ataupun psikis, harus rutin minum obat, pakai sunscreen, jaket, bahkan payung di cuaca panas. Saat itu dia masih terlalu muda buat ngerasain semua itu, sama halnya sama lo. Gue— cuma pengen mastiin supaya dia baik-baik aja setiap harinya."
Entah siapa yang sepatutnya disalahkan atas semua yang sudah terjadi, karena pada akhirnya masing-masing dari mereka bertiga memiliki luka dari kejadian yang sama.
Rasa sakit tak bisa dihindari, akan tetapi penderitaan tetap menjadi sebuah pilihan walau itu bukanlah hal yang diinginkan.
Mereka sama-sama memiliki rasa sakit yang sama, tetapi dengan jalan cerita berbeda. Luka itulah yang membuat mereka bertiga bisa bertemu dan bersama-sama saling menyamarkan lara di dada.
Lelah.
Alan berjuang keras mempertahankan ingatannya, Mentari mencoba mengalahkan fobianya dengan sekuat tenaga, sementara Chandra dihadapkan dengan pilihan sulit di mana saat ia ingin membantu keduanya berjalan mencapai garis finish, keadaan justru memaksanya untuk melepaskan salah satunya padahal ia tak mau lagi merasakan kehilangan.
Alan mengambil beberapa butir obat dari dalam laci dan lelaki itu meminumnya sebelum merebahkan diri di atas tempat tidur yang sedari tadi sudah memanggilnya.
***
Murid-murid di lapangan berhitung secara serentak dengan dua orang yang memimpin di barisan depan.
Pemanasan umumnya dilakukan untuk mengurangi risiko cedera. Peredaran darah otot yang lancar akan membuat otot tidak kaku. Karena itulah pemanasan sebelum olahraga penting dilakukan.
Di tengah kegiatan pemanasan itu, Chandra mengawasi murid-muridnya untuk memastikan tak ada yang sedang main-main. Ia melipat kedua tangannya di depan dada, kemudian menolehkan kepalanya ke belakang tepat ke arah seseorang yang sedang pemanasan di pinggir lapangan.
Melihat itu Chandra tersenyum simpul. Walau seringkali tak ikut kegiatan di lapangan, tapi Mentari selalu rutin ikut pemanasan. Dulu saat awal-awal mengajar di kelas itu, ia rutin membawa murid-muridnya ke sebuah GOR terdekat karena kondisi Mentari. Akan tetapi semakin ke sini, ia berpikir untuk tak selalu memanjakan murid yang 'berbeda' itu. Tak ada salahnya ia membawa Mentari turun ke lapangan setidaknya agar gadis itu terbiasa dengan suhu di luar walaupun hanya berdiam diri di pinggir lapangan.
![](https://img.wattpad.com/cover/242864607-288-k735756.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Heliophobia ✔
أدب المراهقينVampir? Kelelawar? Manusia serigala? Bukan! Namanya Mentari Putri. Namun tidak seperti namanya, ia justru takut dengan sinar matahari. Bagaimana bisa? Gadis itu hanya akan keluar saat malam hari, sementara saat siang hari ia akan senantiasa mengurun...