HMS; 1

42.1K 2.5K 109
                                        

Gila. Ibu benar-benar gila. Seraya mendengar Om tua itu ijab kabul aku terus menangis meratapi nasibku selanjutnya.

Sumpah ini bukan pernikahan yang aku idam-idamkan. Menikah dengan lelaki tua yang umurnya terpaut delapan taun lebih tua dariku benar-benar tidak pernah kubayangkan.

Sialnya aku tak bisa mencegah agar pernikahan ini tidak terjadi. Ibu benar-benar membuatku tak bisa berkutik dengan pilihan yang ia berikan. Suara sah dari saksi membuat tangisku semakin tak terbendung, aku tidak bahagia, aku hancur, aku tidak mau menikah dengan Om tua itu.

Dengan amarah yang masih membara, aku mencium punggung tangannya, itu pun atas perintah dari Ibu, bersamaan dengan itu aku bersumpah dalam hati tidak akan pernah menganggapnya sebagai suamiku.

-𝓗𝓮𝓵𝓵𝓸, 𝓜𝓻. 𝓢𝓮𝓰𝓪𝓵-

Berpisah dengan Ibu tidak membuatku sedih. Jujur, aku masih marah pada Ibu karena telah memaksaku menikah dengan Om tua yang sudah berdiri di sampingku. Alih-alih menangis aku malah biasa saja menatap Ibu datar, sementara Ibu malah menangis sesenggukan.

"Kamu hati-hati ya, layani suamimu dengan baik."

Tidak ada jawaban yang kuberikan. Suami? Layani dengan baik? Heh, aku bahkan sudah berencana untuk meminta cerai secepatnya.

"Sudah sana. Nak Abi, tolong jaga Nara dengan baik ya."

Om tua itu tampak mengangguk dengan senyuman yang mengembang. Bahagia sekali dia di atas penderitaanku, bahkan semenjak menjadi status sebagai istrinya aku tak pernah mau berbicara dengannya, jangankan berbicara menatapnya saja aku enggan.

Setelah drama perpisahan aku ikut masuk ke dalam mobil Om tua itu. Kami berdua duduk di belakang sementara di depan hanya ada supir saja, aku memberi jarak kami sangat jauh, aku tidak mau berdekatan dengannya.

"Kamu lapar?" tanyanya dengan suara lembut namun menggelikan di telingaku.

Aku tidak menjawab, berbalik menatapnya saja aku enggan.

"Nara," panggilnya lagi.

"Apa sih, jangan ganggu!" balasku sedikit berteriak.

Aku langsung berbalik memunggunginya. Sumpah, moodku semakin rusak saja karenanya.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama akhirnya kami telah sampai di sebuah rumah besar bahkan sepuluh kali lipat lebih besar dari tempat tinggalku dan Ibu, tapi apalah arti sebuah rumah besar kalau aku tidak bahagia.

Sosok anak laki-laki yang berusia sekitar enam tahunan menyambut kedatangan kami. Semua barang-barangku dibawa oleh para pekerja di rumah ini, aku tinggal membawa diri sendiri saja.

"Selamat datang, Mama," kata anak kecil tersebut seraya memeluk kakiku.

Aku mendengus, aku benci Papanya dan benci semua yang berhubungan dengan Om tua ini, termasuk Athala—anaknya Om tua ini, hasil pernikahannya dengan mendiang istrinya.

"Lepas," kataku sedikit membentak.

Athala nampak kaget mendengarku yang membentaknya. Aku tidak perduli, kulangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah, dapatku dengar suara Om tua itu yang sedang menenangkan Athala dan memberi pengertian bahwa aku sedang capek jadi jangan diganggu.

Hello, Mr. Segal [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang