HMS; 2

28.1K 1.9K 77
                                        

Selama dua hari menyandang status sebagai istri dari seorang Abimana Segal tidak ada yang berubah. Kemarin aku tidak melakukan banyak hal selain tidur sepanjang hari, bukan tanpa alasan, aku sangat kelelahan padahal tidak banyak yang kulakukan saat acara pernikahan tapi rasanya lelah sekali.

Ini hari kedua, masih pagi buta tapi tidurku terusik karena Om tua itu membuka gorden yang membuat sinar matahari langsung menerobos masuk, ditambah laki-laki itu terus menepuk pipiku berupaya untuk membangunkanku.

Lima belas menitan laki-laki itu bersabar mencoba membangunkanku dengan cara halus, sebenarnya aku sudah terbangun hanya saja aku malas kalau haru menatap wajahnya makanya aku berpura-pura tidur. Mungkin kesabarannya sudah habis hingga aku tak mendengar suaranya yang terus berusaha membangunkanku.

Pintu kamar ditutup, itu artinya om tua itu sudah pergi keluar. Segera aku mengubah posisi menjadi duduk, kuambil Hapeku dan membuka aplikasi WA. Aku mendesah begitu mengingat kalau hari ini aku ada janji dengan dosen pembimbingku, padahal rencananya hari ini aku mau tidur seperti kemarin.

Pintu kembali dibuka menampilkan figur om tua yang sudah rapi dan wangi mengenakan jas kantoran.

"Kamu sudah bangun rupanya, ayo keluar kita sarapan bersama dengan Athala juga."

"Aku nggak terbiasa sarapan." aku beranjak mengambil handuk.

"Karena kita sudah menikah, mulai sekarang kamu harus belajar terbiasa untuk sarapan bersama, belajar untuk bangun lebih pagi mengurus semua keperluan suami dan anakmu."

Kuputar bola mataku dengan bibir yang bergerak mengejeknya.

"Memangnya aku kelihatan peduli? Kalian urus hidup sendiri, aku juga urus hidupku sendiri, kita urus hidup kita masing-masing. Kalau om lupa,  aku menikah sama Om karena paksaan Ibu, jadi jangan harap aku mau mengakui Om sebagai suamiku," kataku penuh penekanan.

"Nara kita ini—" sebelum ia melanjutkan perkataannya aku sudah lebih dulu masuk ke dalam toilet dan menutup pintu dengan kasar.

"Nara, kalau marah sama saya kamu nggak perlu menyakiti diri kamu sendiri, kasian pintunya."

"Dan asal kamu tau, saya ngelakuin ini karena saya mau yang terbaik buat kamu, saya akan buktikan kalau umur tidak selamanya menjadi penghalang dalam rumah tangga kita. Saya masih bisa menyesuaikan diri untuk menjadi lelaki idamanmu, saya juga masih bisa memberikan keturunan sebanyak apapun yang kamu mau."

Aku berlagak ingin muntah mendengar kalimatnya. Sekalipun tidak pernah membayangkan untuk bisa mendapatkan keturunan darinya, membayangkannya saja sudah membuatku ingin muntah. Bagaimana pun caranya, aku harus bisa bercerai dari lelaki tua itu.

Kutendang kembali pintu toilet dengan kasar. Terdengar hembusan nafas berat dari seseorang di luaran sana.

"Pergi deh sebelum aku tambah bad mood," teriakku dari dalam kamar.

"Nara, saya minta maaf ya kalau sudah membuat pagimu jadi bad mood seperti sekarang."

"Bacott! Pergi sana," balasku.

"Saya keluar ya, Nara, saya dan Athala akan tunggu kamu di meja makan, kita sarapan bersama-sama."

"Aku nggak sarapan!"

"Kemarin kamu nggak sarapan bareng kami, makan siang juga nggak, malam apalagi, pagi ini kita sarapan bersama ya? Athala nyariin kamu, dia maunya kita sarapan bersama."

"Nggak mau! Apaan sih maksa banget, tai bikin mood pagi rusak aja," teriakku dalam kamar mandi.

Kutendang kembali pintu kamar mandi lebih keras dari sebelumnya.

"Baiklah. Maafkan saya ya Nara, kalau begitu saya keluar dulu."

-𝓗𝓮𝓵𝓵𝓸, 𝓜𝓻. 𝓢𝓮𝓰𝓪𝓵-

Selesai bersiap-siap, aku segera keluar dari kamar. Pagi ini aku memakai sweater rajut, celana jeans hitam panjang, sepatu sneakers berwarna putih dengan rambut yang kuikat asal.

Tidak lupa, sebelum itu kusemprotkan sedikit parfum.

Begitu membuka pintu aku langsung dikejutkan dengan kehadiran seorang perempuan paruh baya.

"Bapak sudah menunggu untuk sarapan bersama," katanya.

"Aku nggak mau sarapan. Kamu bilang aja sama majikan kamu itu."

Ia tampak mengangguk dan berpamitan padaku untuk pergi memberitahukan majikannya.

Begitu melangkahkan kaki di anak tangga terakhir, suara om tua itu terdengar berseru memanggil namaku.

"Saya dan Athala sudah menunggu kamu hampir sejam lebih," katanya berjalan menghampiriku.

"Aku kan udah bilang jangan nungguin aku, aku nggak terbiasa sarapan."

Aku melihat lelaki itu memicingkan mata menatap penampilanku dari atas hingga bawah. Kusilangkan tangan diantara kedua gunung kembar.

"Apa liat-liat? Dasar laki-laki mesum!" Kataku menatapnya sinis.

"Jangan suuzon. Saya cuma penasaran aja kenapa kamu rapi sekali? Mau kemana?" tanyanya.

"Bukan urusan Om," balasku jutek.

"Tentu saja menjadi urusan saya. Kamu istri saya jadi saya harus tau kemana pun kamu mau pergi."

"Udah aku bilang kan, kita urus kehidupan masing-masing. Aku nggak suka kalau ada yang ikut campur urusanku." aku menatapnya semakin sinis.

"Ya sudah, ayo kita sarapan bersama."

"Om ini budeg atau gimana? Aku udah—"

"Kalau kamu nggak mau saya ikut campur urusanmu nggak apa-apa, tapi setidaknya jangan menolak ajakan saya untuk sarapan bersama, setidaknya fikirkan perasaan Athala juga."

Demi apapun aku ingin sekali menendang perut laki-laki di depanku ini. Rasa benciku semakin tinggi saja padanya. Kulangkahkan kakiku menuju ruang makan, Athala tampak menyambutku dengan hangat, wajahnya benar-benar mirip dengan Papanya, sama-sama tampan dan menggemaskan.

Kalau saja ia tidak memaksa menikah denganku mungkin aku akan jatuh dalam pesonanya. Sayang sekali dia mengikatku dengan cara dan waktu yang salah.

"Selamat pagi, Mama," seru Athala menatapku dengan mata yang berbinar-binar.

Aku hanya berdehem membalasnya. Kududukkan diriku di meja yang agak jauhan dengan om tua itu.

Dia melayaniku dengan baik, mengambilkan nasi goreng untukku lalu menyerahkannya, ia juga melakukan hal yang sama untuk Athala. Jika biasanya yang melakukan hal demikian adalah seorang istri di sini malah sebaliknya, jikalau disuruh pun aku memang tidak akan melakukannya.

Tbc!!

Hello, Mr. Segal [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang