HMS; 4

21.6K 1.7K 66
                                        

Untuk seorang perempuan bernama Alisha Ayanara, mencintai Abimana adalah hal yang sudah lama ia blacklist dari daftar perjuangannya ke depan. Entah sampai kapan ia akan menjalani rumah tangga ini, tapi satu hal yang Nara bisa pastikan, kalau ia tidak akan hidup bersama Abimana untuk selamanya.

Cepat atau lambat rumah tangga mereka berujung di meja pengadilan. Meski Abi menolak Nara akan tetap melakukannya. Ia tidak mau menghabiskan sisa hidupnya dengan orang yang tidak ia cintai.

Setelah sarapan pagi yang sangat menyebalkan, Nara memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi rumah megah milik Abimana. Ini wekeend jadi perempuan itu tidak akan pergi ke kampus, meski begitu Nara sudah berniat kalau nanti siang ia akan pergi ke kafe.

Di halaman belakang tidak hanya ada kolam renang, akan tetapi juga ada taman, bunga-bunga tumbuh di sana sini, membuktikan bahwa rumah tersebut benar-benar dirawat dengan baik.

Nara memutuskan untuk duduk di salah satu sofa yang ada di halaman belakang. Perempuan itu tidak bisa memainkan ponselnya, karena akibat kebodohannya tadi malam ponsel mahalnya langsung remuk tak dapat diselamatkan.

Angin sepoi-sepoi langsung menerpa kulit Nara. Sofa sebelahnya terasa bergerak membuat Naya menoleh.

"Adem ya anginnya," kata Abimana.

"Apa lagi pemandangan di samping saya indah banget."

Nara fikir sangat unfaedah kalau ia sampai meladeni perkataan suaminya. Perempuan itu menyandarkan tubuhnya seraya memejamkan mata menikmati angin yang terus menerpanya.

Melihat itu Abimana mendekat pada Nara, menatap wajah damai perempuan itu lekat tanpa ada niatan menganggunya. Anak-anak rambutnya yang nakal membuat wajah cantiknya tertutup, tangan Abimana terulur menyelipkannya ke belakang telinga, namun perempuan itu sudah lebih dulu bangun karena merasa terganggu.

Nara terkejut karena jaraknya dengan Abimana sangat dekat. Refleks tangan perempuan itu menampar Abimana yang dirasa tidak senonoh padanya.

Plak!

Abimana meringis, merasakan wajahnya terasa sangat perih. Segera ia jauhkan diri dari Nara yang menatapnya kesal.

"Mau apa hah? Jadi orang nggak bisa sopan sedikit apa?" tanya Nara menantang.

"Saya nggak ada niat buat ngapa-ngapain kamu. Saya seneng liat wajah kamu yang damai, karena ada anak rambut yang nakal saya berniat ngalihin, tapi kamu keburu salah paham."

"Alasan. Bilang aja Om mau ngelecehin aku, iya kan?"

"Nggak. Padahal saya cuma natap, gimana kalau saya melakukan lebih?" gumam Abimana.

"Dasar laki-laki hidung belang." Nara berbalik memunggungi Abimana yang masih meringis merasakan betapa kuatnya tamparan sang istri. Nara sepertinya benar-benar mengerahkan semua tenaganya.

Nara kembali memejamkan matanya. Sekitar lima belas menit tapi tidak ada suara dari om tua itu, apa tamparannya terlalu keras sampai om tua itu tidak bisa berbicara lagi? Apa ia sudah keterlaluan? Tapi menurutnya Nara tidak sepenuhnya salah, dia yang mulai tidak senonoh padanya.

"Om nggak ke kantor?" tanya Nara tanpa berbalik menatap lawan bicaranya.

Tidak ada jawaban, mungkin suaminya itu sudah pergi. Akhirnya Nara berbalik, perempuan itu terkejut ketika pandangannya bertemu dengan Abi yang menatapnya dengan lekat. Satu hal lagi yang membuat Nara salah fokus, sudut bibir Abi terlihat berdarah, ternyata tamparannya memang sekuat itu.

Nara berdehem menetralkan ekspresinya, "Om budek ya?"

"Kamu bicara sama saya? Saya fikir kamu sedang berbicara sendiri."

"Ya memang Om fikir di sini ada orang lain selain kita?" balas Nara dengan suara meninggi.

"Kamu berbicara tanpa menatap mata saya. Harusnya kalau kamu sedang berbicara, tatap mata lawan bicaramu."

"Terus ini namanya apa?! Masih kurang juga?!" Nara mendekatkan dirinya mendekati Abi, tangan perempuan itu memegang pundak Abimana keras dan menatapnya dengan melotot.

Tanpa Nara sadari, jarak mereka sudah sangat dekat. Nafas hangat Abi menerpa wajahnya Nara. Ini kali pertamanya Nara mau berdekatan dengan Abi, biasanya kalau Abi yang mencoba mendekati perempuan itu pasti akan mengamuk, entah itu melukai perutnya atau bahkan menamparnya seperti sekarang.

"Ini namanya apa? Merem?" tanya Nara masih memelototi Abi.

Abi sedikit terkejut karena Nara mau mendekatinya tanpa harus ia bersusah payah. Wangi parfum Nara langsung menyeruak memenuhi hidungnya, sungguh Abi ingin sekali memeluk dan mencium istrinya sekarang.

Laki-laki itu kemudian tersenyum sembari memandangi wajah istrinya dengan teduh. Baru saja Abi akan memeluk Nara, perempuan itu sudah lebih dulu menedang perutnya hingga Abi langsung mengaduh.

Nara terkekeh melihatnya.

"Jangan berani macam-macam sama aku. Dasar tua bangka!" gerutu Nara berdiri.

Perempuan itu tersenyum puas tanpa ada rasa iba melihat suaminya yang kesakitan. Sungguh, kalau Abi tidak mencintai Nara sudah dipastikan Abi langsung menendang perempuan itu jauh-jauh dari rumahnya. Beruntunglah Nara karena Abi sangat mencintainya, jadi ia rela terluka.

Nara berjalan meninggalkan Abi, baru dua langkah ia menghentikan langkahnya.

"Perut Om gemesin juga. Lain kali aku bakalan lebih sering main-main sama perut Om deh." Nara tertawa lalu berjalan masuk.

Di depan pintu Nara melihat Adrian sedang menatapnya sinis. Saat Nara akan melewatinya, Adrian langsung menahan lengan istri bosnya itu.

"Lepasin!" kata Nara penuh penekanan.

Kedua orang itu saling menatap dengan tajam. Aura permusuhan terlihat sangat menusuk dengan kental.

"Dari awal saya emang nggak pernah suka sama kamu. Kamu nggak pernah bisa menghargai pak Abi sebagai suamimu," kata Adrian.

Kalau Abimana bisa bersabar karena alasan sangat mencintai Nara, maka Adrian berbeda, sebagai asisten dari Abimana lekaki itu sangat mewanti-wanti dengan orang yang berpotensi menyakiti bosnya. Adrian sudah berjanji membalas kebaikan Abi dengan berbakti dan menjaga keluarga Abimana dengan sepenuh tenaganya.

"Kamu siapa? Cuma tangan kanan doang kan? Nggak usah sok ikut campur urusan orang lain." Nara menghempaskan tangan Adrian kasar.

"Kalau saja pak Abi tidak memerintahkan saya untuk menghormati kamu, sudah saya pastikan kamu akan saya buang dari lantai dua sekarang." Nara terkekeh mendengarnya.

"Apa aku keliatan peduli? Bahkan tanpa adanya si tua bangka itu pun aku tetap nggak akan takut sama kamu."

"Perempuan sialan!" gerutu Adrian pergi, memilih membantu bosnya yang sedang kesakitan di sana.

Nara tidak perduli. Perempuan itu tetap masuk dengan santai, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.  Tujuan Nara sekarang adalah dapur, tenggorokannya terasa sangat kering sekali.

Ketika Nara berbalik, ia menemukan kehadiran Marsha yang sedang meminum jusnya dengan tatapan tajam yang terus mengarah padanya.

"Apa?" kata Nara tak kalah galak.

Marsha berdecih. Kentara sekali terlihat bahwa ia tidak menyukai ibu tirinya.

"Aku nggak habis fikir kenapa Papa cinta mati sama perempuan seperti kamu. Cantik enggak, kaya enggak, pinter enggak, montok juga enggak, padahal kalau Papa mau dia bisa aja dapet yang lebih baik dari kamu."

Nara tertawa. "Ya udah. Kenapa nggak kamu suruh Papa kamu itu buat nyari orang lain? Kamu fikir aku juga mau nikah sama dia? Jangan ngebuat aku mau tertawa."

"Tapi kamu udah tertawa," balas Marsha membuat Nara langsung terdiam.

Hello, Mr. Segal [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang