Setiap hari terasa berlalu begitu saja. Aku benar-benar menikmati kehidupanku yang sekarang, meski sibuknya berkali-kali lipat. Dari pagi sibuk sampai pagi lagi.
Sekarang aku sudah tidak bisa tidur sampai jam tujuh lebih paling lambat setengah tujuh itu pun aku sudah panik setengah mati. Berat tanggung jawabku, mulai dari membangunkan anak-anak untuk solat dan siap-siap sekolah, aku memastikan mereka agar tidak sampai telat.
Belum memasak untuk sarapan, menyiapkan segala keperluannya Mas Abi yang hendak ke kantor, beruntung pekerjaan rumah yang lainnya aku dibantu oleh bi Hemas, kadang-kadang aku suka tidak sadar kalau sudah malam saking sibuknya. Tidak berhenti sampai di sana, malam tidak membuatku bisa berleha-leha karena aku harus menemani Athala untuk sekedar mengerjakan PR atau belajar.
Kadang-kadang aku juga menemani Marsha, entah itu untuk drakoran, maskeran, atau belajar. Mempunyai anak perempuan ternyata semenyenangkan itu. Selesai dengan anak-anak aku harus melayani Mas Abi. Syukur-syukur kalau Mas Abi hanya mengajak tidur, tapi sejak malam itu waktu tidurku terganggu karena setiap malam Mas Abi meminta jatahnya. Mau menolak tapi takut durhaka.
Meski begitu aku bersyukur, kadang-kadang suka mengeluh kalau benar-benar lagi capek. Belum lagi kalau harus revisi skripsi mati-matian.
Seperti sekarang ini, aku menyeka keringat yang membasahi area wajahku. Setelah adegan lari-lari seperti di film India hanya untuk menemui Alden diruangannya ternyata sampai sana ada mahasiswa yang bilang kalau Alden sedang dalam perjalanan ke luar kota. Sialannya setengah jam yang lalu lelaki itu meminta bertemu denganku membahas skripsi.
Sepanjang perjalanan pulang aku mengumpati Alden. Sudah kuusahakan semaksimal mungkin mana tubuhku sedang kurang sehat, sejak bangun pagi tadi aku merasa seperti akan sakit.
Maka saat pertama kali sampai rumah hal yang kulakukan adalah rebahan di sofa yang terletak di ruang keluarga. Rumah sepi karena anak-anak diboyong Ibu ke rumahnya kemarin dan berangkat sekolah lewat sana, sementara Mas Abi sedang pergi ke kantornya.
Aku tidak punya cukup banyak tenaga untuk sekedar menaiki anak tangga. Melihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh aku berniat untuk tidur sebentar. Nyatanya baru saja aku akan terlelap dering ponselku malah berbunyi yang berasal dari Mas Abi.
"Kenapa Mas?" tanyaku langsung.
"Kamu ngapain tidur di sofa begitu? Masuk kamar! Nanti punggung kamu sakit!"
Aku menjauhkan ponselku, mataku kemudian melihat kemana-mana. Aku menghela nafas begitu menemukan banyaknya cctv di setiap sudut rumah tersebut.
Pasti Abi mengawasiku lewat sana.
"Aku nggak ada tenaga buat naik," jawabku jujur.
"Kamu sakit?"
"Aku nggak tau, tapi kayaknya bakalan sakit sih. Pasti ini gara-gara semalam, Mas sih keterlaluan ngegempurnya," omelku.
"Husst kamu ini ngomongnya vulgar banget, nanti ada yang denger."
"Ya udah sih biarin aja, biar pada tau betapa nggak punya hatinya Mas Abi. Udah tau istrinya capek malah diajak terus, mana parah banget sampai jam dua—"
"Nara," geram Mas disebrang sana.
Aku bisa membayangkan bagaimana ekspresinya sekarang. Kedua sudut bibirku terangkat.
"Tunggu saya pulang."
"Pulangnya jam berapa? Kalau lama-lama aku nyari suami baru aja deh."
"Nara!" katanya dengan nada tak suka.
Aku terkekeh. Membuat Mas Abi emosi itu mudah, tinggal pancing saja dengan sesuatu yang berhubungan dengan lelaki lain. Contoh kecilnya saja saat aku memuji lelaki lain di depannya ia pasti akan langsung marah-marah, jangan memuji melihat dengan tatapan sedikit lama saja Mas Abi sudah pasti akan ngambek.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Mr. Segal [END]
RomanceSegal series 1 Tampan, mapan, berwawasan sepertinya julukan yang patut diberikan pada seorang Abimana Segal, seorang presdir di Segal group. Kegilaannya pada pekerjaan membuat Abimana tidak pernah lagi memikirkan pernikahan, jangankan pernikahan, un...