Nara duduk di sofa ruang keluarga, menemani Athala yang sedang menggambar di sebelahnya. Perempuan itu bersandar di sofa seraya memainkan rubik milik Athala. Kehilangan ponselnya membuat hidup Nara terasa hampa.
"Besok Mama datang ke sekolah kan?" Athala mulai membuka obrolan.
"Ngapain?" Nara masih tetap fokus pada rubik yang sedang ia pegang.
"Athala nggak tau. Tapi kata bu guru, orang tua disuruh datang."
"Aku nggak bisa." Athala berdiri mendekati Nara, dia yang tadi duduk di atas karpet bulu kini memilih duduk untuk di dekat Nara dengan memeluk lengan perempuan itu.
"Sekali aja. Mama besok ikut sama Papa ya, biar temen-temen percaya kalau Athala sekarang udah punya, Mama."
Nara mendengus, "Punya Mama kok mau pamer. Jangan sombong!"
"Athala sedih sering dikatain nggak punya Mama, padahal Mama Athala kan udah ada di surga. Tapi sekarang Athala nggak perlu sedih karena sekarang Athala udah punya Mama baru, tapi temen-temen Athala nggak percaya. Mama mau dateng kan sama Papa besok?"
Konsentrasi Nara pecah antara mendengar bocah kelas 1 SD itu berbicara dan berfikir keras bagaimana ia akan menyelaraskan warna dari rubiknya.
"Biar Papamu aja yang dateng," balas Nara akhirnya.
"Jangan ngebantah! Sana pergi sebelum aku teriak!" kata Nara lagi, akhirnya Athala yang baru saja akan bernegosiasi memilih untuk diam.
Athala kembali pada kegiatannya dengan menelan kecewa mentah-mentah. Nara tidak perduli, sampai seseorang duduk di sampingnya dan memeluk dirinya dari samping.
"LEPASIN!!" teriak Nara memekakkan telinga Abi.
Abi tidak langsung melepaskan pelukannya, justru ia semakin memeluk Nara erat, ditenggelamkan wajahnya ke ceruk leher Nara, menghirup aroma tubuh perempuan itu yang terasa memabukkan.
"Kenapa harus berteriak? Apa kamu lupa kalau saya suamimu? Lagi, kalau kamu menginginkan sesuatu kamu harus mengungkapkannya dengan bahasa yang sopan."
Nara memejamkan mata. "Lepas atau aku tendang om lebih keras dari kemarin!" ancam Nara penuh penekanan.
"Suami? Aku bahkan nggak pernah menganggap om sebagai suami aku," balas Nara sinis.
"Saya mencintaimu, Nara," bisik Abimana.
"Tapi aku nggak. Aku membenci sama Om, pake banget!" teriak Nara masih berusaha melepaskan pelukan Nara.
"Sayang—" belum sampai Abimana menyelesaikan perkataannya, Nara sudah lebih dulu menyumpal mulutnya menggunakan tisue bekas Athala menampung ingusnya.
Abimana langsung mual-mual dibuatnya. Tak lama kemudian, Marsha datang seraya memainkan ponsel, anak itu mengambil posisi duduk di sebelah Athala.
Abimana mengambil gelas yang berada di samping Athala lalu meminumnya sampai tandas. Nara baru saja akan protes, tapi urungkan, sepertinya melihat Abimana menderita akan menjadi momen favoritnya mulai sekarang.
"Kenapa diminum, Pa?" tanya Athala menatap Papanya cengo.
Abimana terdiam sejenak, minuman jenis apa yang ia minum tadi? Kenapa rasanya berbeda?
"Minuman apa ini?" tanya Abimana merasa tidak nyaman dengan tenggorokannya.
"Itu minumannya Mama," jawab Athala.
Kini Abimana sudah menatap sang istri yang baru saja meledakkan tawanya. Karena merasa terganggu, Marsha kini ikut menatap ibu tirinya berbeda dengan Abi yang menatap penuh cinta, Marsha malah menatap ibunya kesal.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Mr. Segal [END]
RomanceSegal series 1 Tampan, mapan, berwawasan sepertinya julukan yang patut diberikan pada seorang Abimana Segal, seorang presdir di Segal group. Kegilaannya pada pekerjaan membuat Abimana tidak pernah lagi memikirkan pernikahan, jangankan pernikahan, un...