Sesuai perjanjiannya dengan Abimana tadi kalau Nara akan pulang dijemput oleh Abi. Dan saat ini Nara sedang kesal menunggu Abi yang akan menjemputnya.
"Hay, Nara." Nara menoleh mendapati segerombolan perempuan yang berdiri di depannya.
Cewek yang disapa tadi hanya memasang wajah tak enak dipandangnya.
"Kenapa?"
"Ini bener kan Nara?"
"Ya menurut kalian?" balas Nara tak santai.
"Uuu santai dong. Boleh minta nomer hape Om kamu yang tadi pagi nggak?"
"Deketin dong, Nara."
"Bantu aku jadi pelakor kalau ternyata Om kamu sudah menikah."
"Nara, berarti kamu keturunan Segal dong?!" pekik salah satu dari mereka.
"What?! Maksudnya gimana?"
"Yang antar Nara tadi itu kan Abimana Segal."
"Hah? Serius? Pantesan aja mukanya familiar ternyata oh ternyata dia jodohku."
"Dih," ucap Nara spontan.
"Eh, tapi bukannya saudara pak Abi itu udah meninggal karena kecelakaan?"
"Dan setauku keponakannya memang ada perempuan. Tapi umurnya masih sekitaran tiga belas atau empat belasan."
"Lah terus Nara?" semuanya kini beralih menatap Nara yang terlihat gelagapan.
"Kamu bohong ya Nara?"
"Apa nggak ada pekerjaan lain selain ngurusin hidup orang mulu?!" bentak Nara mulai kesal.
"Ih biasa aja dong."
"Nggak bisa. Kenapa memangnya?! Sana pergi!" usir Nara.
Segerombolan dari mereka kemudian pergi dengan rasa kesal, kecewa yang teramat dalam pada Nara. Bahkan dari beberapa mereka mulai mencibir Nara yang tidak-tidak.
Nara bisa merasakan kalau ada yang berjalan mendekatinya. Kali ini Nara cuek, tidak menoleh sama sekali.
"Loh Nara, ternyata kamu masih hidup?"
Nara merasa tidak asing dengan suara itu. Ia menoleh dan sedikit terkejut mendapati sosok Lastri, Tiara dan juga Kafka menatapnya sengit.
"Kenapa kalian ngomong begitu?" Nara memicingkan matanya.
"Kamu ini memang bodoh beneran atau pura-pura sih." Kafka mencibir membuat Nara mulai tersulut emosi.
"Lemes banget tuh mulut," gerutu Nara.
"Kenapa nggak sekalian mati aja sih di sana?" Lastri dan Kafka kompak mengangguk mengiyakan perkataan Tiara.
"Aku penasaran siapa orang yang menjadi pahlawan kamu." Nara menggeram melihat ketiga orang yang menatapnya dengan tatapan mengejek.
"Jangan bilang kalau kalian—"
"Iya kami memang sengaja," jawab Tiara cepat.
"Mengajak kamu muncak, lalu membiarkanmu tersesat. Ah, kami juga tidak menyangka kalau membodohimu akan semudah itu." Lastri berucap seraya memainkan kukunya.
"Nara, Nara, kamu terlalu naif," lanjut Kafka.
"Jadi kalian memang sengaja? Bitch."
"Iya. Kenapa memangnya? Kabar baiknya, kami juga tidak suka kamu. Kami ingin kamu mati."
Nara terdiam wajahnya terlihat memerah bersamaan dengan kedua telapak tangannya yang mengepal. Nara kesal bukan main tatkala ia menangkap ekspresi mereka yang tampak tenang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Mr. Segal [END]
RomansaSegal series 1 Tampan, mapan, berwawasan sepertinya julukan yang patut diberikan pada seorang Abimana Segal, seorang presdir di Segal group. Kegilaannya pada pekerjaan membuat Abimana tidak pernah lagi memikirkan pernikahan, jangankan pernikahan, un...