Aku hanya bisa menelan ludah sendiri melihat pemandangan di depanku. Helaan nafas berat untuk kesekian kalinya keluar dari mulutku.
"Mas minta apelnya dong satuu aja." aku kembali merengek untuk kesekian kalinya.
"Nggak boleh. Kamu kan lagi demam, orang kalau demam nggak boleh makan buah."
"Minta itu." aku menunjuk keripik kentang yang letaknya tak jauh dari sofa.
Mas Abi lagi-lagi menggeleng, "Nggak. Kamu kan lagi sakit."
"Kalau jajan yang itu." lagi-lagi Mas Abi menggeleng.
"Mas aku ini lagi sakit bukan puasa! Masa mau makan ini nggak boleh, mau makan itu juga nggak boleh. Terus aku harus makan apa?!" tanyaku tidak terima.
"Nanti saya buatkan bubur."
Aku cemberut, "Nggak suka bubur."
Mas Abi tidak menghiraukanku, laki-laki itu kembali menatap layar ponselnya. Aku hanya bisa menatap makanan yang banyak itu dengan sayang. Tadi ibu-ibu sosialitaku datang untuk menjenguk dan membawakan banyak sekali makanan.
Waktu itu aku pernah diajak Mas Abi ke pesta koleganya, kebetulan istrinya adalah ketua ibu-ibu sosialita itu, karena beliau baik aku menjadi nyaman dan Mas Abi menyuruhku untuk ikut saja. Awalnya aku menolak karena aku fikir aku tak akan bisa beradaptasi dengan mereka, tapi berkat dukungan Mas Abi aku akhirnya mengiyakan.
Tapi ternyata dunia luar tidak semenyeramkan itu, mereka baik meski ada saja yang terlihat tidak suka, tapi selebihnya mereka memperlakukanku dengan baik. Di antara mereka akulah yang paling muda, jadi aku diperlakukan spesial oleh mereka. Mereka sudah seperti ibu dan kakakku.
"Mas minta tolong ambilin maskerku dong di dalam kamar. Yang warna coklat ya, sekalian sama tempatnya."
Mas Abi mengangguk dan beranjak pergi. Salah satu kelebihan sakit Mas Abi jadi penurut, kalau aku minta apa-apa Mas Abi pasti turutin.
"Mas nyalain Wifi dong."
"Mas minta tolong ambilin air dong."
"Mas kayaknya aku lupa sesuatu deh, minta tolong ambilin tissue di kamar."
"Mas tolong panggilin anak-anak dong buat habisin makanan ini."
"Mas—"
"Apa lagi Nara?" tanya Mas Abi terlihat gregetan.
Aku terkikik geli, "Emosian deh, kan aku cuma minta tolong."
"Kamu lagi ngerjain saya ya?" Mas Abi menatapku curiga.
"Nggak. Aku kan masih belum ada tenaga buat jalan, Mas kayaknya nggak suka banget aku suruh-suruh." aku cemberut.
"Bukan begitu. Habisnya permintaan kamu nggak habis-habis, sebentar sebentar Mas mau ini, Mas mau itu, sengaja banget."
Aku tertawa, memegang lengannya dan menyuruhnya duduk di dekatku, "Udah Mas jangan emosi nanti makin tua."
Mas Abi sepertinya tidak luluh. Wajahnya malah terlihat tidak bersahabat sekali.
"Maaf." aku merengek, kedua tanganku terulur untuk membelai pipinya seraya mencubit sesekali.
"Masih marah?"
Tidak ada jawaban. Tapi dari tatapan tajam Mas Abi saja aku sudah tau jawabannya.
"Please maaf Mas. Mau apa biar nggak marah lagi?"
"Mau buat dedek bayi?" rayuku.
Saat akan kembali melanjutkan perkataan Mas Abi malah membekap mulutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Mr. Segal [END]
RomanceSegal series 1 Tampan, mapan, berwawasan sepertinya julukan yang patut diberikan pada seorang Abimana Segal, seorang presdir di Segal group. Kegilaannya pada pekerjaan membuat Abimana tidak pernah lagi memikirkan pernikahan, jangankan pernikahan, un...