Waktu sudah mulai memasuki tengah malam. Hujan deras yang sejak sore tadi mengguyur menjadi tambahan alasan untuk jalanan sepi dari kendaraan. Tidak hanya itu, angin malam mungkin membuat sebagian orang lebih memilih berdiam diri di rumah ditemani secangkir cokelat hangat dengan kepulan asapnya.
Berbeda dari itu semua, seorang gadis terlihat tengah terduduk pasrah di trotoar jalanan. Air matanya terus keluar menyusul isak tangis yang beberapa kali lolos lewat bibir mungilnya. Beruntungnya, suara hujan meredam itu semua. Dan lagi, jalanan yang sepi tidak memungkinkan untuk orang melihatnya secara terang-terangan.
Bayangan masalah yang baru saja ia lewati kembali hadir. Begitu pula dengan tangis karena rasa tidak terima akan keputusan yang ibu pantinya buat. Ia menunduk, lalu memeluk kedua lututnya dengan kedua mata terpejam. Sebisa mungkin, ia harus membuang jauh keinginannya itu. Dan harus menerima dengan lapang dada apa yang tadi ibu pantinya putuskan.
"Sialan!"
Umpatan itu membuatnya mendongak. Beberapa meter darinya berdiri sesosok manusia mengenakan pakaian serba hitam. Mulai dari hoodie, celana jeans panjang, dan juga topi. Namun, sebagian tubuhnya basah karena baru saja ada pengendara tak tahu sopan melewati kubangan air hingga membuat sosok yang berjalan tersirat air kubangan itu. Memang, tanpa gadis itu sadari hujan telah berhenti beberapa menit yang lalu. Menyisakan kubangan air di jalanan dan juga suasana dingin yang begitu menusuk kulit.
Sosok itu terus menggerutu dengan langkah yang juga terus bergerak. Hingga saat ia berjalan melewati gadis itu, langkahnya terhenti. Bersamaan dengan kepalanya yang menoleh, ketakutan menghampiri gadis itu. Tubuhnya bersiap untuk segera bangkit dan berlari. Namun, baru saja ia bangkit, tubuhnya sudah ditarik kembali sehingga gadis itu kembali duduk. Tidak hanya sendiri, sekarang disampingnya juga duduk sosoknya. Takut, dan tegang menjadi satu saat ini.
"Maaf. Sa-saya harus---"
"Stsss!"
Gadis itu mengatupkan bibir tidak berniat melanjutkan ucapannya. Kepalanya dengan kaku menoleh kearah samping dan ternyata sosok itu juga menolehkan kepala padanya. Gadis itu meneguk ludahnya kasar. Biarpun kedua mata mereka tidak bertatapan secara langsung karena terhalang topi yang sosok itu kenakan, gadis itu tetap bisa merasakan tatapan yang dilayangkannya tidaklah main-main.
"Nama lo siapa?" tanyanya dengan suara berat nan lirih. Bahkan mirip seperti sebuah gumaman. Untungnya gadis itu bisa mendengar ditengah suara sosok itu yang terbawa angin malam.
Gadis itu tak langsung menjawab. Bayangan jika ia harus segera menjauh dari sosok ini terus-terusan berkecamuk. Seharusnya itu yang saat ini ia lakukan.
"Maaf---"
"Nama lo siapa?" ulang sosok itu kini sarat akan penuh penekanan disetiap katanya. Gadis itu sedikit tersentak. Kaget karena ucapan penekanan sosok ini.
"Nara." Gadis itu, Nara langsung menunduk setelah memberi tahu namanya. Bodoh. Ia dengan begitu mudahnya memberi tahu orang asing tentang namanya. Bagaimana kalau orang ini macam-macam?
Nara pikir setelah ia memberi tahu namanya, akan terjadi sesuatu yang tidak ia duga. Namun nyatanya keheningan terjadi sejak ia menjawab tadi. Hanya suara angin berhembus yang menyelimuti. Sosok itu diam, lalu Nara juga diam. Ah, lebih tepatnya Nara bingung mau bagaimana.
Mata Nara menajam saat ia menemukan satu hal lain dari orang ini. Selain hanya kedua tangan, hidung mancung, dan bibir tebal yang sejak tadi Nara tahu, akhirnya Nara bisa menemukan satu hal lagi. Yaitu sebuah gelang bewarna hitam dengan bentuk jangkar kecil sebagai penghubung melingkar di tangan kirinya. Tidak bisa juga disebut gelang, ini malah menyerupai tali.
Mungkin, suatu saat nanti Nara bisa mengetahui wajah dibalik topi ini lewat gelang itu. Walaupun Nara harus sadar jika presentasinya sangat kecil menemukan orang ini hanya lewat gelang. Sebab, ada jutaan orang yang juga memakainya.
"Kalau begitu saya permisi." Kali ini ucapan Nara tidak terpotong dan kepergian Nara tidak lagi terhambat. Nara benar-benar melangkah pergi meninggalkan sosok itu.
Ditengah perjalanan yang Nara sendiri tidak tahu akan kemana. Ibu panti datang mencegatnya dengan membawa payung. Nara menegang. Ia tidak siap kembali menelan kecewa karena mengingat jika keinginannya harus terhalang keputusan ibu panti.
"Nara---"
"Maafkan Ibu, ya?" Nara terdiam bingung. Satu tangan ibu panti yang bebas menggenggam tangannya erat selagi yang satunya memegang payung. "Ibu izinkan kamu ambil beasiswa di SMA Cakrawala."
"Bu---"
"Sekarang kita pulang. Ibu dan yang lainnya khawatir sama kamu."
Ingin sekali Nara memeluk ibu panti yang sudah ia anggap seperti ibu kandungnya sendiri. Tapi tubuhnya begitu basah. Alhasil ibu panti dan Nara hanya bergandengan dibawah payung untuk segera kembali ke panti.
"Ibu, Nara kedinginan."
"Iya nanti Ibu buatin teh."
"Tidur sama Ibu juga?" Sifat manja Nara pada ibu panti kembali. Menghela nafasnya pelan ibu paruh baya berusia setengah abad itu akhirnya mengangguk. "Yeay! Nara sayang Ibu!"
***
Halooo🙌🏻
Aku bawa cerita baru buat kalian nikmati nih. Sampai prolog, kalian pasti udah kenalan sama Nara, kan? Ya belum sampai jauh juga ta-tapi kan Nara udah intro gitu loh😗
Nah, buat yang sulit ngehalu gimana bentukan gelang yang dipake sosok itu. Aku bawa pict nya nih. Semoga sampe saat ini kalian bakalan ngerti gimana bentukannya ya🙃
Oke, nih gelangnya...
Sekian dulu, jangan lupa vote komen ya... Walaupun prolog tapi kesan pesan juga jadi semangat buat aku...
Oke, see you❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbeat
Teen Fiction"Sekali lo berurusan sama Daniel. Kecil kemungkinan lo buat lepas dari dia. Karena Daniel, bukan orang yang mudah lepasin lawannya." Daniel Aska Sagara, sudah bukan rahasia umum lagi jika orang-orang menyebutnya sebagai cowok yang tidak memiliki ha...