Dalam hidup, ada yang mati, ada yang lahir. Ada yang sedih, ada yang senang. Ada yang sembuh, dan ada juga yang sakit. Hal yang mustahil apabila manusia tidak mengalami kejadian itu semasa hidupnya. Sebab, hidup itu bak biang lalai, kadang di atas, kadang juga bisa di bawah. Tinggal bagaimana manusia menyesuaikan sikap sesuai tempat dan porsinya.
Gundukan tanah berumput itu terlihat basah. Akibat terpaan hujan yang baru saja reda beberapa menit lalu. Tempatnya begitu terawat dengan berbagai macam bunga serta rumput-rumputan yang sengaja di tanam di area sekitar pusaran itu. Menciptakan taman bunga kecil untuk seseorang yang tinggal di dalamnya.
Sore, sepulang sekolah di antar Daniel, Nara memohon pada Trisha untuk membawanya menemui pria yang Nara rindukan dekapannya--papanya. Tidak ada alasan untuk Trisha menolak keinginan anaknya. Selain ia sendiri sudah rindu berat. Sebenarnya, ia juga sudah berencana untuk membawa putrinya ke sana. Belum tentu kapan. Namun, ia tak menyangka jika Nara malah inisiatif memintanya lebih dulu.
Dan sekarang, usai memanjatkan doa. Nara mengambil keranjang bunga dan mulai menabur di atas makam papanya itu. Ia tersenyum, lebih ke senyum pedih. Nara bahagia bisa bertemu dengan lelaki cinta pertamanya ini. Hanya saja, bukan pertemuan seperti ini yang Nara harapkan. Ia ingin melihat rupa ayahnya langsung, meraba wajahnya, dan merasakan pelukan hangatnya. Namun, Tuhan lebih dulu menggariskan. Bahkan sebelum manusia itu lahir. Jadi, tidak ada alasan untuk mempertanyakan takdir Tuhan.
Elusan lembut di rambutnya membuat Nara menoleh. Ia tersenyum membalas senyuman teduh milik Trisha. Selanjutnya, mereka sama-sama menabur bunga dengan satu tangan Trisha merangkul Nara.
"Papa pasti seneng ditengokin putri kesayangan ini," celetuk Trisha seraya menyiram nisan suaminya dengan penuh haru. Ia ikut merasakan ada yang dirasakan Nara. Senang, tapi juga sedih secara bersamaan.
"Boleh ceritain tentang papa, Ma?"
Gerakan tangan Trisha terhenti. Ia melirik Nara yang diam menanti jawabannya. Sangking kaget dan senangnya, Trisha hanya bisa mengangguk sebagai jawaban. Ia kembali menatap nisan sang suami, ia tersenyum tipis seraya berucap banyak terima kasih pada Tuhan.
"Iya, nanti Mama ceritakan sambil jalan-jalan sore," ucap Trisha setelah selesai dengan kegiatannya.
Beberapa menit kemudian mereka keluar dari area pemakaman. Sopir menghentikan kendaraan mereka di sebuah taman tengah kota. Trisha menarik tangan Nara turun, lalu mengajaknya berkeliling taman.
"Mau cerita dari mana, Sayang?" tanya Trisha sambil menyisipkan anak rambut Nara ke belakang telinga. Nara memandang Trisha, lantas tersenyum tipis.
"Semuanya."
"Baiklah."
Trisha menarik tangan Nara untuk duduk di sebuah bangku yang berhadapan dengan air mancur. Wanita itu diam mengamati, membuat Nara mau tak mau juga ikut memandang ke arah air di hadapannya.
"Air itu indah, Nara. Tapi air yang berlebihan itu membahayakan." Nara memandang ragu ibunya. Trisha kembali melanjutkan ucapannya. "Cinta juga seperti itu. Mama pernah sangat mencintai seseorang, tapi orang itu meninggalkan Mama."
"Apa orang itu papanya Altair?" Demi Tuhan, pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibir Nara. Ia bersiap membuka suara untuk meminta maaf. Namun, Trisha lebih dulu menyelanya.
"Kamu tidak perlu takut untuk bertanya. Ya, orang itu papanya Altair, Andre." Trisha menghela nafasnya panjang. "Pria itu lebih memilih wanita pilihan orang tuanya. Padahal, kami bersama sejak awal masuk kuliah sampai sama-sama sukses."
Terdengar getir Trisha menceritakan kisah itu. Nara menyimak dengan seksama.
"Apa Mama kecewa?"
"Jelas. Tapi, Mama percaya, pilihan orang tua itu pasti baik. Walaupun sakit, Mama mencoba merelakannya," jawab Trisha dengan senyuman tipis yang berangsur-angsur terbit.
"Lalu?"
"Lalu?" Nara mengangguk. "Lalu, Mama bertemu dengan seorang pria. Tampan, rambutnya pirang. Yang paling Mama ingat waktu pertemuan pertama adalah, tahi lalat yang ada di sudut mata kirinya. Begitu manis."
"Kami mengobrol begitu banyak. Mama baru tahu kalau dia sebenarnya kakak tingkat yang tahun berikutnya harus pindah ke Belanda, rumah ayahnya. Dia--"
Trisha terdengar menghela napas panjang. Seperti sesuatu yang ia ucapkan akan terasa berat jika tidak di awali dengan kesiapan.
"Dia mengutarakan tentang perasaannya yang jatuh cinta sejak pertama kali melihat Mama."
"Semacam cinta pada pandangan pertama?" tanya Nara dengan senyuman. Menurutnya kisah kedua orang tuanya ini begitu epik. Apalagi ayahnya. Bagaimana pria itu bisa jatuh cinta pada seorang wanita yang baru sekali dilihatnya. Menggemaskan sekali.
"Hm. Tapi belum sempat berkenalan, dia lebih dulu sibuk mengurus kepindahannya ke Belanda. Setelahnya, ia tak bertemu Mama lagi."
"Yah," desah Nara kecewa. Ia begitu larut mendengarkan dongeng non-fiksi ibunya. Dan desahan kekecewaan itu mengalir begitu saja dari mulutnya ketika dongeng itu sampai pada kisah sang pangeran yang harus meninggalkan pujaan hatinya untuk berperang demi mendapat gelar ksatria.
Trisha tertawa kecil mendengar nada kecewa dari putrinya. "Apa yang kamu kecewakan, Nak?"
"Kalian yang tidak bertemu," jawab Nara.
Trisha menipiskan bibirnya. "Entahlah, Mama malah bersyukur untuk itu. Karena dengan begitu, dia tidak akan sakit hati saat melihat Mama bersama pria lain."
Nara mengangguk mengerti. Mungkin, ini bisa dibilang cara Tuhan agar cinta tulus dari pria itu benar-benar terjaga dengan tidak membuatnya sakit hati melihat cinta pandangan pertamanya bersama pria lain.
Kalau memang s<udah jodoh, pasti ada saja skenario Tuhan yang membuat manusia berdecak kagum sangking tidak terduga dan percayanya.
"Lalu?"
Trisha mengernyit. "Lalu apa? Kita menikah dan kamu lahir Nara. Dia yang memberimu nama. Arabella Saraswati. Keindahan yang lahir dari wanita yang paling ia cintai."
Mengingat itu, air mata Trisha menetes tanpa diminta. Ia menggumam doa ketika teringat kenangan bersama sang suami.
"Mama bahagia?"
"Sangat. Tapi, jika boleh jujur. Mama belum cukup puas. Lima tahun kami bersama. Itu bukan waktu yang lama." Ada nada sendu dibalik perkataan itu. Nara merasakannya.
"Mama ... menyesal. Mengapa Mama tidak bisa mencintai dia, selama dia saat mencintai Mama. Mama merasa kalah." Trisha menunduk. Suaminya lebih dulu mencintainya dan lebih lama. Sedangkan Trisha sendiri baru jatuh cinta ketika mereka menjalin kedekatan. Hal ini yang sampai sekarang membuat Trisha menyesal. Ia, telat mencintai seseorang yang sejak lama mencintainya.
Nara beringsut mendekat, menarik tubuh ibunya ke dalam pelukannya. "Tapi, Mama harus bangga karena menjadi cinta terakhir papa."
"Dia juga akan menjadi cinta terakhir Mama." Trisha melepas pelukan putrinya. "Sejak kapan kamu kenal dengan Altair?"
"Saat pertama kali masuk ke Cakrawala."
Trisha tersenyum pedih. "Dia membenci Mama. Bahkan sejak dia masih kecil." Belum sempat Nara membuka pertanyaan kembali, Trisha lebih dulu menyambar. "Bukannya kita lebih baik pulang, Nara? Ini sudah malam, waktunya kita persiapan makan malam."
Dan berakhirlah Nara dengan rasa penasaran tentang bagaimana bisa Altair saat kecil sudah mengenal dan membenci Trisha.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbeat
Ficção Adolescente"Sekali lo berurusan sama Daniel. Kecil kemungkinan lo buat lepas dari dia. Karena Daniel, bukan orang yang mudah lepasin lawannya." Daniel Aska Sagara, sudah bukan rahasia umum lagi jika orang-orang menyebutnya sebagai cowok yang tidak memiliki ha...