Chapter 46

1.6K 65 5
                                    

Nara terkesiap ketika sebuah tangan mengalungnya dari belakang. Puncak kepalanya terasa berat karena menjadi tumpuan kepala seseorang. Ia memaksa berbalik, dan mendapati sosok Daniel yang tengah tersenyum manis dengan kedua tangan melingkar di lehernya.

"Kenapa di sini?" tanya Daniel.

Masih sama seperti kemarin, Nara hanya menjawab singkat. Ini lebih baik dari pada Nara hanya memberi kode. "Nungguin Safira."

"Dari tadi?" Nara tak menjawab. Daniel menghela napas. "Ayo ikut gue."

Nara menahan tarikan Daniel. "Bentar lagi masuk."

"Siapa peduli? Ayo!" Nara memilih mengikuti langkah cowok itu yang membawanya duduk di meja kantin yang biasa Daniel dan teman-temannya tempati. Setelah mendudukkan Nara, Daniel beranjak. Tak lama kembali dengan sebotol air dan menyerahkannya pada Nara.

"Aku nggak haus."

"Tapi lo diem aja. Kayak lemes gitu, mau sarapan lagi?" Nara memandang Daniel dengan tatapan jengah. Sikap Daniel seolah melupakan fakta kemarin. Jujur, Nara sedikit kecewa dengan cowok di depannya ini. Tapi, Daniel diam juga atas permintaan Trisha. Bukan kemauannya sendiri.

"Dari kapan kamu tahu?"

"Hm?" Daniel menaikan sebelah alisnya tak mengerti.

Nara meneguk ludahnya. "Tentang kemarin."

Daniel diam. Sebelum setelahnya menghela napas. "Belum lama ini," jawab Daniel seadanya. "Gue tahu mungkin lo belum bisa terima ini semua. Tapi, nggak ada salahnya lo mencoba menerima. Belasan tahun dia mengharap lo masih hidup, disaat semua orang yakin kalau lo jadi korban kecelakaan itu."

Nara lemah, setetes air matanya jatuh. "Tapi--"

"Apa nggak lebih baik lo tanya masalah itu langsung ke orangnya? Gue yakin kalau skandal perselingkuhan itu cuma buatan media."

Nara terdiam, ada rasa senang sekaligus sesak yang bersamaan menghantam dadanya. Kenapa kabar bahagia ini harus datang dengan masalah yang mengikutinya?

"Aku ... mau ke kelas," ucap Nara yang jauh dari pembahasan mereka. Nara bangkit lalu pergi. Daniel tak menghalangi, mungkin gadis itu perlu banyak berpikir untuk menerima semuanya. Termasuk salah satu kemungkinan semakin dibenci oleh orang yang ia sukai.

Daniel melangkah menuju tempat favoritnya. Duduk dengan dua kaki menumpang ke sandaran kursi lain. Daniel berniat membolos untuk beberapa jam ke depan. Entahlah sampai kapan, yang terpenting suasana hatinya pagi hari ini kembali membaik.

Daniel mengambil sebungkus rokok dari saku almamaternya, mematiknya lalu menyesapnya kuat-kuat sembari menikmati rasa nikotin yang menguar di seisi mulutnya. Daniel bersandar lantas memejamkan matanya. Ia menghembuskan kepulan asap, lalu kegiatannya berulang dari mulai menyesap batang bewarna hitam mengkilap itu lagi.

"Daniel."

"Hm?"

"Semoga bahagia."

Daniel langsung membuka matanya dan duduk tegak. Ia terkesiap mengingat percakapan yang bisa dibilang terakhir antara dirinya dan Sabrina. Itu terjadi beberapa minggu sebelum Sabrina hilang tanpa kabar. Daniel menghela napasnya panjang. Ingatan tentang Sabrina terlalu banyak kalau untuk dilupakan dalam waktu yang singkat. Kalaupun harus, Daniel butuh seseorang untuk melalui itu semua. Apakah Nara?

"Bolos lo, Niel?" Daniel menatap Erick yang berjalan ke arahnya. Ia melirik ke arah rokok yang tak terasa sudah hampir membakar jarinya. Daniel melemparnya asal, lalu kembali menatap Erick yang sudah mengambil duduk di sampingnya.

HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang