Chapter 54

1.5K 54 1
                                    

Daniel memarkirkan motornya, lalu masuk ke dalam basecamp-nya tanpa aba-aba. Jelas, hal itu berhasil menyulut kekagetan Theo dan Ares yang ada di dalam ruangan. Daniel menatap aneh keduanya yang tengah menikmati nasi kotak di tangan masing-masing. Seulas senyum remeh terukir di wajah Daniel.

"Sedekah dari siapa, tuh?" canda Daniel lantas mengambil duduk di sisi Theo yang langsung meliriknya tajam.

"Bangsat, omongan lo bikin gue nggak napsu makan," ucap Ares tapi tak sesuai dengan kalimat yang barusan ia ucapkan. Karena selanjutnya, cowok itu tetap melanjutkan makannya dengan hikmat.

Berbeda dengan Theo yang memberi kode Daniel untuk melihat ke samping, tepatnya ke arah nakas. Daniel tersenyum tipis tanpa mereka sadari. Inilah yang membuat Daniel menganggap teman-temannya sebagai keluarga kedua. Padahal, bisa saja Ares dan Theo hanya menikmati makanan berdua. Namun, nyatanya mereka masih ingat Daniel dan Erick. Buktinya, ada dua nasi kotak yang terletak di atas nakas.

Daniel mengacak rambut Theo gemas, membuat si empunya yang sudah sibuk makan kembali memberinya tatapan tajam. "Terima kasih," ucap Daniel tulus.

Theo memasang tampang jijik. "Tumbenan inget. Biasanya kalau dikasih nggak pernah tahu diri."

"Kalau masih nggak tahu diri udah dicoret duluan dari daftar mantu sama Trisha Saraswati," timpal Ares yang mendapat lirikan mematikan Daniel.

"Wait-wait, emangnya lo serius sama Nara?" tanya Theo penasaran. Mendadak, Daniel bungkam. Dari sini, Theo sudah dapat menebak. Temannya yang sok ini jika apa yang ia ucapkan salah, pasti sudah menyentaknya. Sayangnya, kali ini Daniel hanya diam membuat Theo yakin beribu-ribu persen kalau Daniel mulai serius dengan Nara. "Baguslah, berarti lo udah sadar."

Daniel berdecak, ia melempar batal tepat ke kepala Theo.

"Tapi gue bingung," celetuk Daniel membuat Theo dan Ares saling pandang. Mereka menyimak kelanjutan curhatan jarang-jarang Daniel tanpa mau menyela. "Gue ... argh bangsat! Kenapa bilang aja pake acara gensi sih!" lanjutnya menggeram kesal.

Ares tertawa begitu keras. Lebih ke menertawai Daniel—sosok yang begitu ditakuti seluruh anak Cakrawala ini ternyata juga bisa takut. Takut bilang cinta, maksudnya. Tak beda jauh dengan Ares, Theo hanya melipat bibirnya menahan tawa. Pasalnya hanya dirinya yang duduk dengan jarak tidak begitu aman dari Daniel. Jangan sampai kepalanya atau bagian tubuhnya yang lain menjadi samsak dadakan Daniel. Tolong jangan! Masalahnya kalau babak belur, Theo tidak tahu lagi apa yang akan ia banggakan dari fisiknya.

"Astaga, Niel. Tinggal bilang, 'Nara, gue cinta sama lo,' gitu aja apa susahnya, sih?" ucap Ares lalu menegak air dalam botol di hadapannya usai berhasil menyelesaikan acara makannya.

"Lo cuma bayangin, makanya bilang gampang. Gue yang praktek, bego!" sentak Daniel merenggut kesal.

Theo menghela napas. "Terus mau lo gimana? Ya kali ngedrama nyatain perasaan pake surat segala," ucap Theo yang niatnya mengatai, tapi malah jadi solusi.

Daniel menjentikkan jarinya. "Ide bagus." Detik berikutnya, cowok berpostur jangkung itu bangkit untuk mengambil buku dan pena, lantas kembali duduk. Kali ini sedikit menjauh dari kedua temannya.

"Anjir, lo kayak mau pergi aja, Niel. Terus cuma ninggalin surat. Kebanyakan nonton sinetron ya gitu." Ares menggelengkan kepalanya pelan.

"Bacot! Lagian siapa yang mau pergi terus ninggalin surat?" tanya Daniel di sela ia berpikir tentang apa yang akan ia isikan di surat itu.

"Ya terus, ngapain repot-repot bikin surat segala coba?" timpal Theo.

Daniel diam sejenak, mencoba mencari jawaban yang sekiranya menggambarkan apa yang ia rasakan saat ini. "Gue ... kayak mayat hidup di depan Nara. Tiap kali gue mau mulai pembicaraan yang menyinggung hal ini. Mulut gue tiba-tiba kayak kekunci. Ck, apaan coba. Tapi gue beneran ngerasain itu!"

Daniel jadi frustasi sendiri. Maka dari itu, ia mencoba menulis ini. Bukan untuk ia berikan pada Nara lalu ia pergi. Bukan. Melainkan untuk ia gunakan sebagai contekan ketika akan memulai percakapan penting itu nantinya. Setidaknya, ia tahu apa yang harus ia ucapkan.

Ares terkekeh. "Azab Tuhan gegara lo sering ngejulidin orang yang naksir lo, kali. Makanya giliran lo mau bilang cinta, mulut lo dibikin nggak bisa bicara," ujarnya disambut tawa oleh Theo.

Daniel hanya mendengus, ia mencoba menghiraukan itu dan fokus pada apa yang tengah ia tulis saat ini.

Hampir satu jam, Daniel berkutat. Tidak sepenuhnya, karena beberapa waktu Daniel gunakan untuk makan dan diam sambil berpikir. Jangan tanya bagaimana keadaan Ares dan Theo. Sebab, keduanya langsung tepar sekitar lima belas menit setelah mengatai Daniel.

Daniel memakan mentimun dalam sekali suap, lantas merenung kembali dengan apa yang ia tulis. Jangan kira kertas itu mulus, kenyataanya kertas itu sudah lusuh karena bercampur keringat dan minyak. Dan jangan lupakan dengan berbagai coretan-coretan hitam menggumpal akibat salah tulis atau kalimat yang menurut Daniel ambigu. Beruntung, tinggal sedikit lagi, dan kertas contekan itu akan segera selesai.

Dering ponsel di meja depannya membuatnya melirik sekilas. Berniat tidak mengangkat, tapi nama dari ibunya membuatnya urung untuk menghiraukan. Daniel meletakkan kertasnya, beralih pada handphone dan segera mengangkatnya.

"Iya, Bun?"

"Loh, emangnya dia nggak pamit mau ke mana?"

Daniel mencoba mengatur napasnya, ia melirik ke arah penjuru ruangan. Hingga netranya berhenti pada satu kotak nasi lagi yang belum juga tersentuh.

"Bunda udah coba telpon Erick?"

Detik berikutnya, jawaban dari Rita berhasil menyulut satu tangan Daniel untuk terkepal. Di saat seperti ini, ia tidak boleh mengedepankan emosi. Daniel harus berpikir panjang sebelum berbuat.

"Bunda tenang aja, biar Daniel yang cari Dania. Kalau bisa Daniel bawa pulang Dania sekalian. Kalau gitu Daniel tutup, ya?"

Sambungan telpon terputus. Daniel menghela napas panjang, dan baru menyadari kalau Ares dan Theo sudah membuka matanya dengan tatapan bingung mengarah padanya.

"Kenapa, Niel?"

"Dania sampai sekarang belum pulang!" Daniel melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Harusnya Dania sudah sampai rumah sekitar empat jam yang lalu. Dan kalau pun anak itu mau keluar, bukannya sudah dibiasakan untuk pamit?

"Erick ke mana?" tanya Daniel membuat dua temannya baru sadar kalau Erick belum datang hingga saat ini. Dibuktikan dengan makanan yang sengaja disediakan untuk cowok itu terpantau masih utuh belum tersentuh.

"Lah, tuh anak juga ke mana coba?" tanya Theo lebih ke dirinya sendiri.

Daniel segera mengotak-atik kontak ponselnya. Tujuannya tak lain untuk menghubungi Erick. Sekali, dua kali, bahkan hampir sepuluh kali telponnya sama sekali tidak terjawab. Seolah, Erick memang menonaktifkan ponselnya agar Daniel tidak bisa menghubunginya.

"Bangsat!" umpat Daniel segera meraih helm dan beranjak

"Lo mau ke mana?" teriak Ares.

"Ke rumah si brengsek itu!"

TBC

HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang