Tok!
Tok!
Tok!
Daniel terus mengetuk pintu itu mendesak bagi siapa saja penghuni rumah itu agar segera keluar. Ia sudah tidak bisa menunggu lagi, tanpa menjeda ia terus mengetuk agar pintu di hadapannya ini segera terbuka.
Terdengar suara deru mesin motor yang bersahutan. Daniel menoleh, ia mendapati Ares dan Theo yang ternyata menyusulnya. Masa bodoh, Daniel kembali fokus pada kegiatannya hingga dua sahabatnya itu berhasil menariknya untuk menjauh.
"Stop, Niel!" peringat Ares tegas yang sama sekali tak diindahkan Daniel.
Cowok itu memberontak dan menatap Ares tajam. "Diem, bodoh! Lepasin gue!"
Tak berselang lama, pintu itu akhirnya terbuka. Menampilkan sesosok gadis kecil kisaran lima belas tahunan berpiyama pisces yang tengah berdiri di ambang pintu dengan pandangan bingung.
"Kak Daniel?" sapanya dengan senyum yang sedikit dipaksa. Walaupun Daniel sahabat baik kakaknya dan sering mampir bahkan menginap. Hal itu tak serta merta membuat gadis kecil itu bersikap akrab dengan Daniel. Percayalah, sebelum orang menilai sikap Daniel yang menakutkan. Orang akan lebih dulu tahu dari aura cowok itu yang juga sama menakutkannya.
Daniel menepis tangan Ares dan Theo yang lengah. Ia maju dengan wajah yang tidak bisa disembunyikan jika ia tengah menahan amarah besar di dalamnya. "Mana Abang lo?" tanya Daniel tanpa basa-basi.
Lia—gadis itu tak bisa membohongi dirinya yang bergetar hanya karena mendengar nada tanya Daniel yang tidak bersahabat sama sekali. Tubuhnya mundur selangkah, tangannya memegang erat ganggang pintu dengan pandangan menunduk.
"Jangan bikin gue emosi, mana Erick!" Lia semakin bergetar di tempat, sedang Daniel sudah tidak b isa lagi menahan kesabara karena Lia yang belum juga akan bicara.
"Lia ... jangan sampai lo gue culik juga!" ancam Daniel yang langsung mendapat tinjuan oleh Ares di pundaknya. Daniel menoleh tajam.
"Gimana dia bisa jawab kalau lo nakutin dia, Niel?"
"Jawab!" gertak Daniel mengabaikan peringatan Ares.
"B-bang Erick, nggak ada di rumah," jawab Lia takut.
Jawaban dari Lia seolah meyakinkan semua asumsi Daniel kalau Dania belum pulang sampai saat ini pasti karena ada hubungannya dengan Erick.
"Emang brengsek!" umpat Daniel hendak beranjak tapi suara lembut itu lebih dulu menyapanya membuat Daniel menghentikan langkahnya dan berbalik—menatap sosok wanita yang wajahnya begitu mirip Erick, hanya saja berbeda versi.
"Nak, cari Erick?" Sungguh, rasanya Daniel ingin menyembunyikan masalah ini hanya karena tak tega nantinya membuat wanita di depannya ini terluka. Tapi. Ibunya jauh lebih terluka jika Dania, adiknya tak kunjung ditemukan.
Hingga akhirnya Daniel menyerah, ia menghela napas sebelum nantinya harus jujur. Meski Erick belum terbukti menculik adiknya. Tapi, dari nomor, serta keberadaan Erick yang entah ke mana menguatkan kalau bisa saja Dania bersama Erick yang merupakan pacar gadis itu.
Daniel maju selangkah, menatap wanita dengan lingkar mata sedikit gelap. Gambaran akan keletihan yang wanita itu pancarkan. Daniel sebenarnya tak mau tambah membebani. Namun, ibunya berhak tahu. Barang kali jika apa yang Daniel duga benar, Erick bisa luluh akan nasihat ibunya.
"Maaf, Tante. Daniel bukan bermaksud menuduh. Tapi, Dania sampai saat ini belum pulang," jelas Daniel. Semuanya terdiam mendengar penuturan Daniel. Tak terkecuali ibu Erick yang terlihat melipat keningnya.
"Dania? Siapa dia?" tanyanya.
Daniel ganti mengerutkan keningnya. Ia melirik dua sahabatnya yang hanya diam. Dari sini ia menarik kesimpulan. Erick tidak pernah menceritakan tentang hubungannya. Minimal mengenalkan Dania sebagai pacarnya atau adik dari sahabatnya.
"Dania adik Daniel, Tante. Pacar Erick." Daniel menatap begitu cermat perubahan raut wajah ibu Erick. Tubuhnya hampir saja oleng kalau saja Lia dari belakang tak langsung menahan bobot tubuh ibunya.
"Tante nggak papa?" tanya Ares khawatir. Pemuda itu sampai maju ikut menyentuh telapak tangan yang kelewat dingin. Entah karena angin malam, atau malah omongan Daniel barusan.
"Niel, kita bahas besok aja."
Daniel melirik tajam Theo. "Enak aja lo bilang besok. Ini adik gue, anjing!" geram Daniel yang berakhir umpatan.
Theo menghela napas. Daniel memang sedang kalut, dan ia mengaku salah karena seharusnya tak menggampangkan perkara ini.
"Daniel ...."
Daniel menoleh menatap ibu Erick.
"Bisa ikut, Tante? Ada yang mau Tante bicarain sama kamu."
***
Tak ada yang tahu menahu apa yang sempat ibu Erick omongkan pada Daniel. Selain, Daniel sendiri. Yang pasti, dengan rahang mengetat dan wajah memerah padam Daniel memarkirkan motornya asal di pelataran rumah tanpa langsung memasukkannya ke garasi. Hal yang paling Tama tak sukai dan berakhir ia akan dimarahi Tama habis-habisan. Namun, untuk kali ini, Daniel menolak patuh.
Daniel melepas helm dan segera masuk ke dalam. Tanpa salam, ataupun sapa, Daniel membuka pintu utama sedikit kasar menimbulkan kekagetan bagi dua orang lawan jenis yang tengah berkumpul di ruang tengah. Dia bisa melihat jejak air mata ibunya, sedang diliriknya Tama yang tengah sibuk menitah orang di seberang telepon.
"Saya tidak mau tahu. Intinya kabari saya dalam waktu kurang dari 24 jam mengenai keberadaan putri saya!" Tama mematikan sambungan telepon, terdengar helaan napas panjang darinya. Sesekali, ia mengacak rambutnya. Mencoba berpikir ke mana lagi ia harus mencari bantuan untuk menemukan putri tunggalnya itu?
"Kamu sudah pulang?" tanya Tama ketika ia berbalik dan menemukan Daniel di sana. Daniel tak menjawab, ia hanya menaikan sebelah alisnya dengan sesekali memikirkan obrolan antara ibu Erick dan dirinya tadi.
Daripada menjawab, Daniel memilih menghampiri sang bunda. Menarik tubuh ringkih yang pernah melindunginya serta merawatnya itu ke dalam pelukan. Sedetik kemudian, tangis Rita tak dapat dibendung lagi. Ia menangis di pelukan anak lelakinya. Sedangkan anak perempuannya entah ke mana. Satu yang Rita harap, semoga putrinya itu baik-baik saja.
"Adik kamu selalu izin. Kenapa ini nggak sama sekali?" ucap Rita parau dengan derai tangis serta isakan.
"Kamu sudah tanya sama Erick?" tanya Tama. Jangan kira ia tidak tahu hubungan putrinya dengan sahabat Daniel itu.
Daniel memejamkan matanya sesaat. Ia menguatkan pelukan di tubuh ibunya, mengelus serta menepuk agar tenang dan tangisnya segera terhenti.
"Ada yang lebih penting dari itu. Daniel pengin bicara berdua sama Papa," ucap Daniel sembari melirik Tama lewat ekor matanya.
Tama menaikkan sebelah alisnya. Sebelum setelahnya melepas dua kancing atas kemejanya dan menaiki tangga.
"Papa tunggu di ruang kerja," pesan Tama sebelum tubuh tegap itu akhirnya benar-benar menghilang dari pandangan mata Daniel.
Daniel melepas pelukan ibunya, menghapus air mata yang entah sudah berapa kali jatuh untuk hari ini. Ia tersenyum tipis.
"Bunda jangan sedih. Ada Papa, ada Daniel. Dania pasti ketemu. Janji!"
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbeat
Fiksi Remaja"Sekali lo berurusan sama Daniel. Kecil kemungkinan lo buat lepas dari dia. Karena Daniel, bukan orang yang mudah lepasin lawannya." Daniel Aska Sagara, sudah bukan rahasia umum lagi jika orang-orang menyebutnya sebagai cowok yang tidak memiliki ha...