Pagi-pagi, suara mesin motor serta klakson menggema di halaman rumah besar Trisha. Begitu dua perempuan berbeda usia itu keluar. Hanya ada helaan nafas serta kekehan panjang yang menggema. Cowok yang tidak lain Daniel itu mematikan mesin motor sportnya, lalu turun menghampiri pacar serta calon ibu mertuanya--semoga saja.
"Selamat pagi, Tante." Merasa sudah akrab, Daniel tidak lagi memanggil Trisha dengan embel-embel 'bu'. Begini lebih cocok.
Trisha menghentikan kekehannya. Ia menerima uluran tangan Daniel untuk disalami. "Sudah makan?" tanyanya.
"Udah, Tante. Tinggal jemput pacar Daniel yang keliatannya masih malu-malu kucing ini." Daniel menjawab tak ketinggalan menggoda Nara yang hanya menatap Daniel dengan tampang cemberut lalu mengalihkan pandangannya.
"Nggak ngerepotin, kan, Tan?" tanya Daniel.
"Nggak dong, kalaupun ngerepotin Tante nggak masalah, kok," jawab Trisha sambil mengelus rambut Nara dengan sayang.
"Kalian mau berangkat sekarang?" tanya Trisha yang dijawab anggukan dua anak muda lawan jenis itu. Daniel lebih dulu kembali menuju motornya. Menunggu dengan pandangan tak lepas dari Nara yang mencium tangan Trisha begitu hikmat. Daniel menangkap sesuatu, genangan air mata di pelupuk mata Trisha.
Pasti rasanya teramat senang ketika orang yang kita tunggu belasan tahun akhirnya berdiri di depan kita secara nyata. Bahkan saling bersentuhan secara fisik.
"Nara, berangkat," pamit Nara masih canggung. Trisha tersenyum tipis, ternyata tidur saling berpelukan semalaman tidak membuat anaknya ini cepat akrab dengannya. Trisha sadar, butuh banyak waktu untuk membuat interaksi layaknya seorang ibu dan anak dengan putrinya.
"Hati-hati," pesan Trisha ketika motor Daniel melaju. Usai keduanya melewati gerbang, Trisha baru masuk kembali ke dalam rumah.
"Perasaan lo gimana?" tanya Daniel melirik sosok Nara yang saat ini hanya diam lewat kaca spion. Saat ini, lampu di perempatan berwarna merah. Tahu sendirilah artinya tanpa harus dijelaskan.
"Perasaan apa?" jawab Nara tanpa balas menatap Daniel. Daniel yang mendengar jawaban kurang mengenakkan itu seketika berdecak. "Aku udah menerima semuanya Daniel. Hanya saja, bukan hal mudah buat menganggap fakta ini hal biasa."
"Maksud lo?" tanya Daniel tak paham.
"Aku hidup di panti asuhan. Semuanya serba sederhana. Yang aku tahu, aku nggak punya orang tua selain ibu Astrid. Lalu, ada orang yang mengaku bahwa dia ibuku--"
"Bu Trisha emang nyokap lo. Bu Trisha nggak ngaku-ngaku," jawab Daniel sambil menjalankan ketika lampu berubah hijau.
Nara menghela napas. "Itu hanya perumpamaan. Tapi apa kamu bisa biasa aja waktu hidup kamu tiba-tiba berubah? Salah satunya menjadi anak seorang tokoh publik? Jujur, aku nggak pernah bayangin hal itu terjadi."
"Tapi kenyataannya lo emang anaknya artis. Mau nggak mau, lo harus percaya meski lo nggak pernah bayangin hal itu sebelumnya," jelas Daniel masih bisa membagi fokusnya antara jalan dan cerita Nara.
Hening. Tidak ada lagi percakapan di antara mereka. Nara menelan betul-betul ucapan Daniel barusan. Benar, terkadang apa yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya, bisa terjadi pada kita nantinya. Dulu, Nara tidak berharap bisa bertemu dengan orang tuanya. Berbekal cerita dari bu Astrid yang bilang Nara dibawa oleh seorang pegawai rumah sakit dalam keadaan penuh luka, membuat Nara berspekulasi bahwa mungkin orang tuanya meninggal di sebuah kecelakaan sehingga ia harus dibawa ke panti asuhan karena tidak ada yang mau merawatnya. Namun, kenyataannya, pemikiran itu salah. Ada hal rumit yang terjadi hingga Nara harus berakhir di panti asuhan. Dan baiknya Tuhan, akhirnya mempertemukan kembali ia dengan ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbeat
Teen Fiction"Sekali lo berurusan sama Daniel. Kecil kemungkinan lo buat lepas dari dia. Karena Daniel, bukan orang yang mudah lepasin lawannya." Daniel Aska Sagara, sudah bukan rahasia umum lagi jika orang-orang menyebutnya sebagai cowok yang tidak memiliki ha...