Chapter 61

1.6K 67 1
                                    

Disclaimer!!!

Chapter ini mengandung adegan kekerasan, baik fisik maupun seksual serta memuat bentuk kata-kata kasar. Jika tidak berkenan, bisa di-skip dan tetap bisa menikmati bagian lainnya.

Happy reading, enjoy guys!

***

Nara membuka mata. Ia mengerjap beberapa kali guna menyesuaikan cahaya yang masuk melalui jendela besar yang ada di bangunan tua ini. Begitu kesadarannya kembali, ia melirik ke sekeliling ruangan. Matanya menatap awas di sekitar tempat yang ia duduki. Tangannya terasa kebas yang baru ia tahu ternyata terikat di belakang kursi. Tangannya memberontak kecil, seraya mencoba berteriak disaat mulutnya terbekap kain. Samar-samar, ia mendengar perbincangan dari luar ruangan tempat ia disekap.

"Ini lo yang ngasih dosis kebanyakan apa dia emang nggak tahu diri, sih?"

"Maaf, Bos!"

"Maaf lo bilang? Gue kehilangan banyak waktu. Harusnya gue udah siksa dia, eh dianya malah masih pingsan."

Di dalam ruangan, Nara mengernyit. Ia seperti tak asing dengan suara ini. Tapi siapa? Nara benar-benar lupa dan tidak bisa mengingat di tengah kondisinya yang seperti ini.

Tiba-tiba otaknya berputar, kembali ke kejadian terakhir yang ia ingat. Perbincangan dengan Daniel, bersitatap dengan Altair, dan seorang laki-laki yang bertanya padanya. Ya, setelah itu ia tak ingat apapun. Ia tak tak tahu sudah berapa lama ia pingsan dan sudah berapa hari ia berada di sini.

Di tengah otaknya yang berpikir keras mengingat kejadian itu, suara pintu terbuka mengalihkan atensi Nara. Begitu menatap siapa orangnya, mata Nara terbelalak kaget. Tangannya yang berada di belakang terkepal merasa sakit hati. Ia menggeleng seraya berteriak tak jelas.

Orang itu berjalan mendekat dengan langkah anggun. Senyum manis yang malah terasa mengerikan bagi Nara terhias begitu pas di wajahnya. Ia mengelus pelan rambut Nara yang langsung dihindari. Bukannya marah, gadis itu malah beralih mengelus rahang Nara.

"Hai, Nara?" sapanya begitu santai. Nara menggertakkan gigi, menatap tajam ke arah lawannya. Seolah paham maksud Nara, gadis itu tersenyum manis. "Kamu mau ngomong, sebentar aku buka ikatannya."

Gadis itu benar-benar membuka ikatan yang membekap mulut Nara. Membuat nafas Nara langsung memburu tak percaya dengan apa yang ia lihat.

"Gue pikir dulu kita bisa temenan."

"Aku anggap kamu temen!" tukas Nara mengungkapkan apa yang mungkin cewek dihadapannya ini salah paham kan.

Namun, gelengan yang ternyata Nara dapat. "Dari awal kita ketemu, gue udah ungkapin gimana kekaguman dan rasa suka gue sama Daniel ke lo. Kalau lo anggep gue temen, harusnya lo paham. Bukan malah jadian sama Daniel!"

"Aku nggak jadian, Zilla. Daniel yang maksa. Aku juga nggak mau!" ucap Nara menjelaskan. Ya, pada Zilla. Gadis yang pernah ia anggap bisa jadi teman di kafe. Pengagum Daniel karena sering melihat Daniel tampil.

"Bohong! Kalau lo dipaksa, lo nggak bakal sebahagia itu! Lo pikir gue nggak tau? Lo happy! Itu bukan dipaksa, Nara!" ucap Zilla menggila.

Nara menunduk, ia memang mengakui. Jika Daniel memaksanya. Harusnya selama mereka bersama, ia tertekan. Sayangnya, setelah dekat dan paham karakter cowok itu. Nara merasa Daniel juga punya sisi baik. Meskipun masih ada setitik rasa kecewa ketika mengingat alasan Daniel memacarinya.

"Dan apa lo bilang? Daniel maksa, lo?" Zilla tertawa merendahkan. Nara mendongak, menunggu kelanjutan kalimat Zilla yang mungkin akan menyakitkan. "Emang apa yang Daniel lihat dari, lo? Inget, lo itu cuma sampah buangan yang dipungut sama Bu Trisha, iya, kan?"

HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang