25

12.8K 997 36
                                    

"Kamu ada masalah?" Tanya ku pada Nana saat kami dalam perjalanan mengantarkan Nana pulang.

"Masalah? Maksudnya?" Jawab Nana bingung saat ku ajukan pertanyaan tersebut.

"Nggak, lupain aja." Aku megeratkan pegangan ku dikemudi saat tak jua mendapatkan jawaban jujur dari Nana. Sebenarnya aku sangat amat langsung ngomong to the point, tapi melihat Nana yang masih belum 100% kembali seperti dulu jadi aku memilih untuk menunggu Nana yang berbicara terlebih dahulu.

"Besok ada meeting antara WO & pihak hotel, kan? Mau saya jemput?" Tanya ku mencoba mengalihkan pembicaraan.

"A-aku nggak bisa datang. Tadi udah ngomong sama mami juga, dan beliau sudah tau." Jawabnya terlihat gugup.

Aku menghelas nafas kasar saat mendengar jawaban Nana, "Kenapa? Ini buat acara kita bulan depan, Na. Gimana ceritanya yang mau hajatan malah nggak bisa datang?!"

"Aku ada janji sama klien, penting. Beliau susah buat ditemuin & nyocokin waktu lagi nggak bakal bisa."

Aku diam tidak membalas ucapan Nana & terus mengemudi ditengah kemacetan ini.
"Apa kita batalin aja? Mumpung belum terlalu jauh." Ucap ku yang langsung dibalas tatapan kaget Nana.

"Kamu gila ya, mas?! Kamu nggak bayangin keluarga kita & orang-orang yang udah capek ngurusin ini selama 5 bulan ini?!" Jawabnya emosi.

"Karena nggak mau mengecewakan keluarga, makanya saya mau batalin sekarang saja daripada nantinya rumah tangga kita hancur ditengah jalan."

Nana diam tidak menjawab, ku tatap balik Nana yang ada disamping kemudi & aku melihat Nana dengan wajahnya yang sudah beruraian air mata. Aku mengalihkan tatapan ku kembali ke depan, menolak untuk melihat Nana.

Setelah sama-sama lama terdiam, Nana kembali membuka suaranya. "Lebih baik kamu anter aku ke Icha aja, aku nggak mau bunda liat aku berantakan gini."

Aku tak menjawab dan segera memutar balik untuk menuruti perintah Nana untuk mengantarnya kerumah Icha. Setelah kurang lebih satu jam bergumul dalam kebisuan serta kemacetan, kini mobil yang ku kendarai sudah berhenti didepan sebuah rumah bergaya industrial.

"Kalau memang mau hentiin sekarang juga, silahkan ngomong ke ayah dan keluarga ku. Karna abang meminta aku secara baik-baik ke ayah & abang harus ngembaliin aku juga secara baik-baik. Terimakasih untuk selama ini bang, memang kita hanya ditakdirkan sebagai kaka beradik bukan suami istri. Hati-hati pulangnya, makasih sudah antar aku." Ucap Ara sebelum keluar dari mobil yang ku kendarai.

Ku pandangi Ara hingga pintu rumah Icha terbuka & menampakkan wajah Icha yang kaget melihat Nana. Ku bunyikan klakson & segera pergi dari kompleks perumahan tersebut. Ku pukul kemudi ini berkali-kali dengan keras & memilih untuk menepi disebuah minimarket, karena mengemudi dengan emosi yang sedang tinggi sangatlah beresiko.

~~
"Udah berenti nangisnya, ren. Emang orang mau nikah pasti ada aja cobaannya, lo tenangin diri lo aja dulu. Bunda udah gue telfon & beliau nggak masalah kalo lo nginep sini." Ucap Icha sembari memberikan ku segelas teh hangat.

Aku masih terisak kecil mengingat pertengkaran kami dijalan tadi, aku merasa seperti dibuang & tak diinginkan oleh bang Zahid.

"Mau gue telfonin Dewa biar doi kesini?" Tanya Icha yang ku jawab gelengan pelan. Icha pergi dari hadapan ku & tak lama kembali lagi dengan handphone yang sudah menempel ditelinganya.

"Oke, oke. Makasih ya, wa buat bantuan lo. Maaf ya gue ganggu, oke. Bye." Icha menutup panggilang tersrbut yang ku yakini adalah Dewa, temannya yang sekarang adalah psikolog yang menangani ku.

SunflowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang