10

12.5K 909 17
                                    

"Ren, please buka pintunya. Lo udah 3 hari nggak makan." ketuk Ica pelan dari balik pintu kamarku.

Saat pingsan malam itu, bang Bara dengan sigap membawa ku kerumah sakit terdekat. Dan sudah tiga hari aku mengurunh diri didalam kamar ku. Entah sudah berapa banyak uang yang agensi ku gelontorkan untuk membayar penalti dari jadwal yang tak ku penuhi.

"Kak, ini Zayn kangen main sama kakaknya. Buka dulu dong, ayo Zayn suruh kakak buka pintu." ujar bunda yang bisa ku dengar dan disusul suara manis Zayn yang mengatakan bahwa ia kangen memelukku.

Air mata ku sejak malam itu tak pernah berhenti mengalir. Aku selalu menyalahkan diriku sendiri setelah mengingat kembali kenangan menyakitkan tersebut.
"Kak, buka atau ayah dobrak."

Tak kuhiraukan seruan ayah, aku melangkahkan kaki ku menuju kamar mandi yang ada dikamar ku. Ku isi bathub dengan air dan merendam diriku didalamnya.

Mungkin karena merasa aneh karena tak bisa menghubungi ku, ayah & bunda akhirnya datang kerumah ku setelah sebelumnya menanyakan tentang ku pada Ica.

Kalau Ica sendiri sudah mengetahui keadaan ku sejak malam aku dirumah sakit. Aku hanya terdiam saat Ica & bang Bara terus menanyakan sebab dari aku yang seperti ini. Walaupun aku tak menjawab semua pertanyaan Ica, namun selama seminggu ini Ica selalu melaporkan apapun padaku.

Entah itu tentang keluarga ku maupun pekerjaan ku. Semingguan ini aku masih mau keluar dari kamar & sesekali makan walaupun hanya 2 sendok, namun tiga hari belakangan perasaan bersalah ku semakin menjadi hingga membuat ku ingin menyendiri.

Saat aku keluar dari kamar mandi, tak ku dengar lagi keributan didepan pintu kamar ku. Ku buka laci yang ada dimeja rias ku & mengambil sebilah cutter dan menempelkannya dipergelangan tangan ku.

Belum sempat aku menggesekkannya, pintu kamar ku tiba-tiba terbuka lebar yang memunculkan ayah dengan rahangnya yang mengeras.

"KARENINA AYUDIA!" bentak ayah yang merupakan bentakan pertama darinya selama aku menjadi anaknya.

Ayah merebut cutter yang ada ditangan ku dan melemparnya kesembarang arah sebelum memelukku erat. Bunda yang melihat keadaan ku dan cutter yang baru saja dilemparkan ayah menjerit keras dan hampir terjatuh kalau saja tidak ditahan bang Bara.

"Kenapa? Kenapa harus menahan pembunuh seperti aku untuk mati?" ucapku pelan yang disusul tangisan ayah yang baru pertama kali ku dengar.

"Nggak kak, kakak bukan pembunuh. Ayah harus gimana supaya kakak nggak begini?"

"Biarin aku mati juga untuk menebus kesalahan. Biar banag Zahid dan yang lainnya puas." jawab ku sambil tersenyum menatap cutter yang tergeletak didepan kamar mandi ku.

-
Plak
"Mami bener-bener nggak paham apa yang ada dipikiran kamu, bang! Mami nggak pernah mengajarkan kamu untuk mendendam. Apalagi Nana sudah seperti keluarga kita & kejadian itu bukan kesalahan Nana." ujar mami sambil menangis setelah menamparku untuk yang ke-2 kalinya hari ini.

Mada hanya menatapku dengan kesal & Ara yang hanya duduk menunduk sambil memegang erat tangan Mada yang ada disisinya. Sedangkan papi hanya menyaksikan dalam diam.

"Kamu tau nggak kalo Nana berkali-kali melakukan percobaan bunuh diri?! Apa sih yang kamu dapatkan dari dendam nggak jelas kamu itu bang?" lanjut mami yang membuat ku cukup terkejut mendengar berita tentang Nana.

"Mami udah nggak tau lagi gimana caranya menghadapi keluarga Nana setelah ini." ujar mami sambil duduk bersisian dengan Ara.

Aku masih berdiri tegap menghadap papi yang hanya terdiam saja menatapku.

SunflowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang