Bab Dua Puluh Satu - My John Mayer

20.1K 2.6K 51
                                    

Happy reading

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy reading..💓💓

Aku dan Yodha memilih diam dalam taksi online yang membawa kami pulang ke apartemen Yodha dan membuat perjalanan terasa jauh lebih panjang. Aku tau Yodha kecewa. Tapi aku juga kecewa.

Menurutku ini masih jalan yang terbaik. Kehidupan pernikahan gimana yang bakal kami jalani. Aku belum siap, tebakanku Yodha juga belum siap. Hanya saja dia merasa kejadian dua hari kemarin adalah kesalahannya dan dia harus bertanggungjawab. Lagian sesuatu yang dimulai dengan terburu-buru, hasilnya nggak akan maksimal. Aku orang yang percaya pada proses. There is no elevator in life. We have to take the stairs. So far, proses kami sudah menuju jenjang yang lebih serius.

Beruntung ketika Yodha membuka pintu apartemen, Mas Rendy udah ngemil martabak di depan TV. Dia nyengir menyambut kami, "Gue beli martabak, ternyata kalian kencan."

Aku bergabung di depan TV dan mengambil martabak telur kesukaanku serta cabe rawit. Mas Rendy membeli martabak telur dan manis. Kalo Yodha udah jelas sukanya yang manis. Apalagi yang coklat sama kejunya lumer-lumer. Yodha banget itu.

Oiya, Yodha langsung menuju ke toilet, sepertinya mengambil air wudhu dan bersiap sholat. Aku tak bisa tak kagum dengan kebiasaannya itu. Sejak dulu dia selalu mengusahakan ibadahnya nggak pernah terbengkalai. Dan aku bersyukur dunianya yang hingar bingar nggak bikin dia meninggalkan kebiasaannya itu.

"Dari mana kalian? Nonton?" tanya Mas Rendy. Aku menyandarkan kepalaku di bantalan sofa.

"GI. Mas, Yodha beliin cincin, tapi aku nggak mau pake," kataku jujur pada Mas Rendy.

Mas Rendy menatapku mengernyitkan keningnya, kemudian fokus lagi dengan film action entah apa di Netflix, "Kenapa?" tanyanya singkat.

Aku menceritakan bahwa Yodha merasa bersalah dan siap bertanggungjawab kejadian ketika kami ketiduran. Jadi dia berniat menikahiku karena itu.

Mas Rendy kali ini menghadap ke arahku, "Kalo memang belum siap nikah, ya udah, tapi bilang baik-baik. Mukanya Yodha udah kayak orang nahan muntah aja. Butuh keberanian bagi laki-laki melakukan yang Yodha lakukan dek. Dia mungkin udah mengumpulkan keberanian keluar dari comfort zone-nya pacaran sama kamu. Ternyata kamu nolak mentah-mentah. Minimal hargai sedikit usahanya dek."

Aku terdiam memikirkan perkataan Mas Rendy barusan. Sepertinya Mas Rendy benar. Yodha tampak suram.

"Hmm. Iya sih. Aku memang salah. Tapi aku juga kecewa sih sama alasannya mas," kataku jujur.

Mas Rendy menghela napas, "Itu cuma pemicu aja dek. Percaya deh sama aku. Tapi ya terserah kamu sama si gitaris lah. Yang mau jalanin kan kalian. Like i said before, aku nggak mau banyak ikut campur. Asal jangan nyesel aja ntar dek. Asal kamu bahagia, aku ikut bahagia."

Aku terkekeh, "Sampah ihh. Dangdut banget gitu mas."

Yodha bergabung dengan kami. Wajahnya udah jauh lebih segar. Efek air wudhu. Mungkin. Dia juga udah ganti baju rumahan, kaos sama celana pendek. Mas-mas gitaris Rendervouz udah berubah jadi mas-mas jaket coklat yang nolongin aku dulu.

Tentang KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang