Bab Dua Puluh Sembilan - Bento and Coffee

18.8K 2.4K 109
                                    

Happy reading

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy reading..💓💓

Aku memegang boneka beruang berwarna coklat milik seorang anak berusia sekitar enam tahun, kulihat dari data yang dibawa oleh perawat yang bertugas bersamaku. Aku mengajaknya berkenalan.

"Hai, kamu sakit apa anak cantik?" tanyaku berjongkok untuk menyamakan tinggi kami. Anak itu masih memeluk pinggang ibunya.

"Kalo si coklat ini namanya siapa? Tante dokter dulu juga punya boneka kayak gini, tapi warnanya putih. Namanya Bonnie," ujarku lagi tersenyum.

Perlahan anak itu mulai berani menatapku dan matanya melebar, "Namanya Choky," jawabnya malu-malu.

"Oh hai Choky, kamu kenal Bonnie?" tanyaku lagi, "Choky sehat atau sakit?"

"Choky sehat. Aku sakit perut," jawab anak itu malu-malu.

Mataku melebar, "Wah, mau tante dokter periksa nggak?"

Dia mengangguk pelan, "Tapi nggak mau disuntik."

Aku menggandeng tangannya dan menidurkan dia di brankar pasien. Ibunya tersenyum dengan lega menatapku, "Makasih dok. Cintya jadi mau diperiksa."

"Jadi, perutnya Cintya sakit sejak kapan?" tanyaku mengajaknya mengobrol, "Sakitnya kenapa?"

Aku mulai memeriksa dan menekan beberapa bagian perutnya, "Ini sakit nggak?"

Cintya meringis ketika aku menekan perut bagian kanan, "Sakit."

"Kalo jalan kaki sakit nggak?" tanyaku lagi sambil menaruh telapak tanganku di dahinya. Aku memeriksa catatan suhu yang tertulis di rekam medis, suhu tiga puluh delapan derajat.

Cintya mengangguk, "Kadang-kadang."

Aku mencatat beberapa hal dan memintanya berdiri. Aku menyampaikan diagnosa pada ibunya Cintya yaitu apendisitis atau penyakit usus buntu. Hanya saja sepertinya belum mengarah kepada pecahnya usus buntu sehingga masih bisa dirawat jalan dengan pemberian antibiotik. Sekitar 60 persen pasien apendisitis memang tidak memerlukan tindakan operasi atau apendektomi. Tapi aku tetap berpesan apabila kondisi tidak membaik, maka Cintya harus di bawa kembali ke rumah sakit.

Ibunya Cintya tampak menghela napas lega. Cintya menyalamiku sebelum keluar ruang IGD. Aku melambaikan tangan dan berpesan padanya untuk minum obat dengan teratur. Dia mengangguk dengan senyum malu-malu.

Aku melepas sarung tangan dan mencuci tangan di washtafel yang tersedia di IGD. Aku kelaparan. Jelas, aku melewatkan jam makan siang untuk orang normal. Aku melirik jam dinding, sudah jam dua siang. Reno sudah muncul di IGD untuk menggantikan shiftku.

"Ada pasien rujukan?" tanya Reno duduk di hadapanku.

Aku mengangguk, "Ada. Tadi ada pasien geriatri. Langsung masuk bangsal geriatri dok," jawabku, "Terus ada pasien jantung juga masuk di HND. Selain itu sih rata-rata rawat jalan."

Tentang KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang