Nineteen

355 59 2
                                    

Sasuke menenggak habis segelas air mineral dari atas mejanya. Dalam satu menit belakangan pandangannya hanya terfokus pada satu orang. Tidak, bukannya Sasuke merasa tidak percaya. Hanya saja mengingat orang tersebut sangat menentang dirinya akan masalah ini, bukan tidak mungkin orang itu akan menceritakannya kepada yang lain. Ditambah, raut wajah orang itu yang sedari tadi gelisah menambah kekhawatiran Sasuke.

Tanpa pikir panjang lagi, Sasuke akhirnya bangkit dari kursi. Ia bergerak menuju orang itu yang tengah berkumpul dengan rekan-rekannya yang lain. Menepuk bahunya pelan, hingga keterkejutan nampak dalam wajahnya.

Sasuke memandang sebentar wajah Shikamaru, sebelum ia berkata, "bisa bicara sebentar?" disusul dirinya yang berjalan menjauh.

Shikamaru menatap punggung Sasuke. Tanpa ada niatan untuk segera mengikuti langkah lelaki itu. Kepalanya telah dipenuhi berbagai pemikiran. Tindakan mana yang harus diambil, serta bagaimana konsekuensinya nanti bila ia mengambil langkah tersebut. Shikamaru benar-benar tidak bisa berpikiran jernih. Disatu sisi ia ingin memberitahu atasan, atau paling tidak, rekannya yang lain, yang mungkin barangkali bisa membantu mereka. Tetapi disisi lain, ada Sasuke yang menentang semua itu. Sasuke berpikir mereka pasti bisa melewati semua ini tanpa bantuan dari yang lain. Tetapi Shikamaru ragu.

"Shika?"

"... Ya?" Ia menoleh terkejut pada Gaara yang tiba-tiba saja sudah berada disampingnya. Lelaki itu hanya menunjuk keberadaan Sasuke dengan dagunya. Shikamaru mengerti, maka dengan sekali hembusan napas kasar ia bergerak menuju Sasuke dan menyamai langkahnya.

Mereka tidak berbicara, sampai tiba disebuah tenda pengungsi yang letaknya dua puluh meter dari tempat mereka berdiri tadi. Sasuke menghentikan langkah, Shikamaru mengikutinya. Mereka saling menatap satu sama lain. Seakan berbicara melalui tatapan itu. Sampai akhirnya suara Shikamaru pecah dan memutuskan untuk berbicara lebih dulu.

"Ya, apa, kenapa?"

"Bisa gua pegang janji lo, Shika?"

Shikamaru terdiam. Ia sangat tahu kemana arah pembicaraan Sasuke saat ini. Bisa kah?

Sedikit menelan saliva, Shikamaru berkata dengan suara tegas. "Ya."

Ia tahu, ini sangat berat. Tetapi, bila Sasuke tetap bersikeras, mau tidak mau Shikamaru harus mengikutinya. Masa bodoh konsekuensi yang harus diterimanya nanti. Untuk saat ini yang terpenting adalah menyelamatkan nyawa yang lain.

"Lelaki gak pantas dianggap lelaki bila ia gak bisa nepatin janjinya."

Sasuke menepuk bahu Shikamaru. Diatas keraguan sesaat tadi pada lelaki itu, Sasuke tetap mempercayai bahwa Shikamaru bukanlah orang yang mudah untuk menceritakan suatu hal kepada yang lain. Apalagi untuk masalah seperti ini.

"Nanti malem, kita kesana lagi. Gue akan bawa seorang tenaga medis untuk kesana."

"Tenaga medis? Siapa?"

"Gue gak bisa bilang sekarang. Tapi nanti malem kita akan berangkat bertiga kesana."

"Semoga semua dipermudah."
.
.
.
Semburat jingga telah memenuhi langit dibalik arakan awan-awan putih. Walau hari tampak cerah, namun angin dingin tetap setia untuk berhembus. Musim gugur seperti ini seharusnya menjadi musim paling indah bila berada di kota Konoha. Namun karena pengabdian diri yang telah dijalani oleh Sakura sampai detik ini, ia tidak bisa melihat keindahan guguran daun dari pepohonan di Konoha sana. Yah, setidaknya, walau tidak melihat guguran pohon, Sakura masih bisa menghirup segarnya aroma musim gugur dari tempat ini.

Sakura mengarahkan layar ponselnya kedepan. Memotret pemandangan anak-anak pengungsi yang tengah membuat kerajinan tangan menggunakan tanah liat. Pemandangan seperti ini tidak kalah jauh dengan pemandangan musim gugur di Konoha. Mereka sama-sama membuat hati Sakura bahagia dan menghangat.

Baby BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang