Sakura selalu membenci keinginannya. Sakura benci dengan sifatnya yang bila menginginkan sesuatu, harus mendapatkannya saat itu juga. Sebab, karena hal tersebut, disinilah ia berada. Sebuah kedai makan yang tengah ramai dibicarakan. Walau harus menunggu dan mengantri, serta merelakan waktu istirahat berharganya dihari libur ini.
Tidak. Sakura tidak ingin mencoba menu utamanya yang kalau kata orang sangat enak itu. Malah Sakura lebih tertarik pada roti bakar lapis isi daging dan keju. Sangat biasa sekali. Bahkan mungkin makanan seperti itu sudah banyak dijual dipinggir jalan. Tapi tidak tahu mengapa Sakura sangat menginginkan itu.
Sudah setengah jam. Sebentar lagi Sakura sampai pada meja bar pemesanan. Menyebutkan makanan yang ingin dipesannya, lalu pulang. Tapi saat tersisa satu orang lagi yang berdiri didepannya, Sakura melihat sesuatu. Ia mendapati orang yang dikenalnya pada salah satu meja disana. Organ dalam dada Sakura seketika bekerja sangat cepat. Membuat sekujur tubuhnya terasa memanas. Sakura berharap orang itu tidak melihatnya disini.
"Selamat datang, ingin pesan apa kak?"
Sakura ingin cepat-cepat pergi. Ia menatap daftar menu yang terpajang pada dinding dibelakang meja pemesanan ini. Mencari dengan terburu menu yang ingin dibelinya.
"Roti lapis bakar isi daging ayam dan keju."
Petugas kasir kembali menyebutkan makanan yang Sakura pesan tadi. "Pakai sayuran tidak, kak?"
"Tidak usah."
"Dibungkus atau makan ditempat, kak?"
"Bungkus aja."
"Baik. Ditunggu sebentar ya kak."
Selama tujuh menit Sakura menunggu. Pada detik terakhir sepertinya harapan Sakura sedikit terkabul. Pesanannya sudah selesai, ia akan langsung pergi dari sini. Menuju pintu keluar dan melajukan motor yang terparkir didepan kedai.
Tapi sayangnya, semua keinginan itu sepertinya belum berpihak padanya. Tepat sekali ketika Sakura membalikkan tubuh, ia mendapati Sasuke yang berjarak dua langkah darinya. Mereka sama-sama saling melihat. Sama-sama saling terkejut juga. Dalam situasi seperti ini menyapa adalah pilihan yang tepat.
"Ra?"
"Sas." Sakura melebarkan sedikit senyumnya dengan kaku. Sasuke sudah tepat berada didepannya.
"Sendiri?"
Sakura mengangguk. "Iya. Sendiri. Cuma beli roti bakar." Bungkus makanan yang ada ditangan sedikit diangkat oleh Sakura. "Lo ... Sendiri, juga?"
"Oh, gak. Sama ibu."
Sakura mengangguk singkat ketika Sasuke menunjuk seorang wanita paruh baya disalah satu meja. Sebenarnya Sakura sudah mengetahui itu. Sakura tahu bahwa Sasuke sedang bersama ibunya dimeja sana. Ia hanya berpura tidak tahu saja.
Bila berada dekat dengan Sasuke seperti ini, Sakura jadi teringat hari itu. Sakura masih belum melupakan kejadian di perpustakaan yang membuat segalanya jadi berubah. Walau Sasuke mengatakan hanya sebatas pelampiasan. Tetapi bagi Sakura tidak. Sebab, itu adalah ciuman pertamanya dengan seorang pria, dan Sasuke sudah mengambil itu darinya.
"Salam buat ibu lo. Gue ... duluan."
Sakura ingin cepat pergi dari tempat ini. Ia tidak ingin berlama-lama berada dekat dengan Sasuke. Ia masih sedikit kecewa dengannya.
"Ya, Ra. Hati-hati."
Ia sudah benar-benar membalikkan tubuhnya ketika Sasuke berucap. Bagaimana ekspresi lelaki itu mengucapkan kalimat tersebut Sakura tidak tahu. Sakura sudah tidak ingin berharap apa-apa lagi darinya.
.
.
.
Keadaan dalam mobil tampak sangat hening. Meski lagu terputar dan memenuhi setiap sudut, tidak membunuh kesunyian yang tercipta. Sasuke sedang fokus dalam mengemudi, sedang wanita paruh baya disisinya sibuk menatap layar ponsel dalam genggaman. Sudah satu jam lamanya keadaan seperti ini."Kamu bicara sama siapa tadi?"
Satu kalimat yang terdengar berhasil memecah keheningan. Sepertinya Mikoto telah selesai berhubungan dengan ponselnya.
Sasuke tampak diam. Ia diam bukan berarti tidak ingin membalas pertanyaan dari ibunya. Melainkan ia bingung. Sasuke bingung mendeskripsikan Sakura seperti apa. Mereka tidak begitu dekat sehingga bisa disebut teman. Namun mereka juga bukan orang asing. Mereka saling mengenal satu sama lain.
"Teman." Sasuke menjawab dengan jeda selama satu menit. "Teman satu sekolah." Jelasnya lagi. Seakan benar-benar mempertegas bahwa mereka hanya sekadar kenal.
Namun entah kenapa Sasuke malah jadi teringat akan kejadian di perpustakaan. Sasuke tidak tahu apa yang tengah merasuki dirinya. Apa itu benar-benar keinginannya, atau hanya dorongan atas perasaan yang sedang menimpanya. Sasuke tidak tahu. Tetapi perasaan hangat yang dirasa setelah itu membuat Sasuke merasa senang. Sasuke tidak memungkiri, bahwa ia merasa bahagia. Apalagi mengingat Sakura juga tidak menolaknya.
"Pernah datang kerumah ya?"
Satu lagi pertanyaan dari Mikoto berhasil membuat lamunan Sasuke luntur. Ia menoleh sesaat, dan menggumam singkat.
"Wajahnya gak asing. Namanya?"
"Sakura. Haruno Sakura." Lagi-lagi ada sedikit jeda bagi Sasuke untuk segera menjawab pertanyaan Mikoto. Menyebut nama itu terasa sangat aneh baginya. Walau mereka tidak pernah berkenalan secara langsung, Sasuke tahu nama keluarga Sakura. Ia sering mendengar ketika guru mengabsennya selama mereka satu kelas dibangku menangah pertama dulu. Namun anehnya hanya nama itu yang sampai saat ini masih melekat dalam kepalanya. Sasuke pikir mungkin karena namanya yang unik.
.
.
.
Sakura merasa hari senin ini adalah hari tersialnya. Sudah sakit perut karena datang bulan, ditambah ia terlambat bangun yang mengakibatkan dirinya hampir terlambat seperti ini. Jalanan juga sangat macet tadi. Sana sini dipenuhi oleh kendaraan, baik itu roda dua maupun roda empat. Sudah seperti itu jarak antara rumah dengan sekolah memakan waktu setengah jam pula. Beruntung sebelum tepat jam tujuh ia sudah sampai didepan gerbang. Memarkirkan sepeda motor pada lapangan samping sekolah.Sakura segera bergegas menuju koridor. Setengah berlari karena pagi ini adalah jadwal matematika. Sialnya lagi, ia belum mengerjakan pekerjaan rumahnya. Sakura sangat lupa. Ia benar-benar tidak ingat bila mata pelajaran tersebut diberikan tugas. Masa bodoh dengan nilainya, yang terpenting saat ini Sakura harus segera sampai dikelas. Melihat tugas milik Tenten.
Saat seperti ini kelas terasa sangat jauh. Padahal hanya dilantai dua. Tetapi ia masih belum sampai juga walau sudah berjalan cepat. Satu lagi anak tangga yang harus dilaluinya. Setelah itu ia mematah ke arah kanan untuk mencapai kelas.
Sayangnya, lagi-lagi sepertinya Sakura harus mengurungkan impiannya itu. Langkahnya memang sudah sampai pada anak tangga terakhir, tetapi ia menemukan seseorang disana. Sakura sangsi ingin menyapa, dan pada akhirnya yang bisa ia lakukan hanya tersenyum simpul.
"Sakura."
Spontan langkah Sakura terhenti. Kepalanya juga seketika menoleh kebelakang. Baru saja ia merasa lega karena berhasil melewati lelaki itu.
"Ya." Ada sebersit rasa gugup dalam dadanya ketika tatapan mereka bertemu.
"Jatoh."
Sodoran tempat minum merah muda sampai dihadapan Sakura.
Mulut Sakura sedikit terbuka. Ia tampak terkejut karena telah berpikiran yang tidak-tidak. Padahal ini adalah akibat dari kecerobohannya.
"Terima kasih."
Sakura mengambil benda dari tangan Sasuke. Sedikit membungkuk. Ia hendak memutar balik tubuhnya. Berniat melanjutkan langkah kedalam kelas. Tetapi sebaris kalimat yang diucap Sasuke berhasil membuatnya terdiam.
"Jangan lari aja. Kalo lo yang jatoh kan jadi bahaya."
Sakura tidak ingin menyimpulkan bahwa itu adalah sebuah kalimat perhatian. Sakura sudah tidak ingin berekspektasi lagi sekarang. Walau jauh didalam lubuk hatinya merasa amat senang. Sakura tetap membatasi perasaan yang perlahan mulai menggebu lagi saat ini.
"Ah, ya, terima kasih."
.
.
.
(20/03/22)
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Breath
FanfictionSuatu hari bencana tsunami melanda Kota Kirigakure. Sakura memutuskan untuk membantu dengan mengikutsertakan diri menjadi relawan. Namun dalam perjalanan mengabdikan diri pada negara, luka lama yang belum benar-benar sembuh kembali terbuka. Hatinya...