Eight (Kotak Cincin)

396 66 0
                                    

"Iya sama-sama. Waalaikumsalam."

Hinata menggigit bibir bawahnya saat sambungan terputus. Matanya terlihat berbinar, kedua belah pipinya tampak memerah. Ia masih menatap layar ponsel yang menampilkan chat diruang obrolan.

Lima menit lalu Naruto menghubunginya. Lelaki itu bertanya tentang desain undangan untuk orangtua mahasiswa. Naruto merupakan koordinator seksi humas, dan Hinata adalah salah satu anggotanya. Karena mereka besok akan pergi ke Kota Kiri, mereka harus menyelesaikan desainnya hari ini juga. Untuk memenuhi permintaan ketua pelaksana acara wisuda.

Neji menatap Hinata diam-diam. Kedua alisnya menyatu heran. Ia sedikit mengangkat tubuhnya dari tempat tidur, mengintip layar ponsel yang Hinata pegang. Namun pengelihatannya menghalang. Terlalu jauh. Minus dimatanya tidak dapat melihat obrolan 'dari siapa' yang membuat wajah Hinata terlihat begitu senang.

"Siapa sih, seneng bgt." Ungkapnya. Rasa penasaran dalam hati sudah tidak dapat dibendungnya lagi.

"Temen kantor."

Hinata sedikit menjauhkan tubuhnya. Ibu jarinya menekan keluar obrolan chat tersebut.

"Naruto." Ucap Neji asal. Ia tidak tahu siapa Naruto itu. Ia hanya mendengar Hinata menyebutnya beberapa kali dalam sambungan tadi.

"Kamu suka, ya?"

Hinata menoleh seketika. Wajahnya memerah, udara disekitarnya terasa memanas. "Gak."

"Temen kantor aja kok." Lanjutnya lagi.

Sayangnya Neji tidak sebodoh itu. Hinata terlalu gamblang menampilkan ekspresi sukanya. Pun anak kecil juga tahu kalau Hinata menaruh rasa pada lelaki bernama Naruto itu.

Suara pesan masuk berbunyi. Hinata segera membukanya. Neji sempat mengintip. Walau tidak jelas, ia dapat melihat foto profil yang sama dengan yang sebelumnya ia lihat.

Hinata tersenyum kemudian.

"Naruto dosen apa?"

"Medikal bedah." Jawab Hinata cepat. Tatapannya masih fokus pada layar ponsel.

"Lulusan?"

"Universitas Suna."

"Tahun?"

"2010."

"Kamu suka?"

"Iya."

Tidak lama Hinata tersadar akan ucapannya. Matanya hampir terlihat seperti ingin keluar. Ia menatap Neji yang menahan tawa diatas tempat tidur. Tangannya lalu mencubit paha lelaki itu.

"Aduh duh ...." Erang Neji.

Tangannya mengelus paha korban cubitan Hinata. Namun walau begitu ia masih menahan senyum diwajahnya.

Hinata memang mudah sekali terpancing.

"Kalo suka bilang aja, nanti nyesel loh."

Neji berkata dengan sangat ringan. Seakan tidak mengerti bagaimana berada diposisi seorang wanita. Hinata mengendus sebal. Hal tabu baginya mengungkapkan perasaan lebih dulu.

"Kebanyakan lelaki tuh perasaannya kurang peka. Kita, kalo wanita yang gak nunjukkin duluan gak bakal tau."

Sejujurnya, Neji sendiri menyukai tipe wanita seperti itu. Ia menyukai wanita pemberani, dan wanita yang tidak pantang menyerah, namun tetap lembut dalam hatinya.

Hinata masih menatap layar ponselnya. Kalimat yang Neji ucapkan seakan benar dan tepat dengan apa yang dialaminya. Sejauh tiga tahun ini, sejauh itu pula Hinata selalu berusaha menunjukkan yang terbaik didepan Naruto. Namun lelaki itu bahkan tidak pernah melihatnya barang sekejap pun. Entah Hinata yang memang kurang menarik baginya, atau Naruto tidak memiliki kepekaan dalam hatinya.

Baby BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang