Twenty Four

307 50 4
                                    

"Jangan memendam semuanya sendiri kayak gini, Sas. Lo masih punya Neji, lo juga masih punya gue. Kita semua bakalan selalu ada buat lo."

Dalam sepuluh detik tidak ada pergerakkan apapun dari Sasuke. Pelukan yang diberikan Sakura memang tidak dibalas, namun hanya dengan mengetahui bahwa Sasuke tidak menolak saja Sakura sudah merasa bahagia.

Ya, setidaknya sebelum Sasuke melepaskan kedua kaitan tangan Sakura diatas perutnya.

Sasuke berbalik. Ia menghadap pada Sakura yang jauh lebih pendek dari porsi tubuhnya. Menatap manik hijau disana.

"Lo pernah kehilangan? Lo pernah ngerasain yang namanya ditinggal?"

Hening. Sakura tidak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Sasuke dengan tiba-tiba itu.

"Gak, kan?"

Sakura memang tidak pernah merasakan hal seperti itu. Jika pun ada, kehilangan itu sudah sangat lama saat neneknya tiada, dan ia masih sangat kecil untuk bisa merasakan yang namanya kesedihan.

"Lo gak akan bisa ngerti, Ra. Lo gak akan paham. Kesedihan yang gue rasain gak bakal bisa lo tau. Jadi berhenti untuk ikut campur mulai sekarang."

Sasuke kembali membalikan tubuhnya. Dengan tanpa mengucap kata lagi, Sasuke melanjutkan langkahnya yang tertunda. Tanpa mempedulikan Sakura yang tiba-tiba saja diam tidak bersuara.

Dari sekian banyak suatu hal yang menyakitinya selama ini, Sakura merasa bahwa kalimat yang baru saja didengarnya lah yang paling menyakiti hatinya. Sakura tidak berniat untuk ikut campur, ia hanya ingin membantu Sasuke. Ia hanya ingin menghilangkan kesedihan yang menimpa Sasuke. Hanya itu. Tidak ada maksud apapun dari sikapnya tadi.

Apa Sakura sudah sangat lancang dengan berbicara seperti itu?
.
.
.
Sara melangkah mendekati tenda hijau yang berdiri dekat dengan mushola. Dalam genggamannya terdapat sebuah amplop putih pemberian seseorang. Itu adalah surat. Sebuah amanah dari seseorang yang diberikan kepadanya. Karena pekerjaan di shelter sedang sedikit, jadi ia memutuskan untuk menemui seseorang yang ditujukan oleh surat dalam telapaknya kini.

Sara sedikit ragu. Ia sebenarnya tidak tahu dimana lelaki itu. Namun satu-satunya tenda militer yang ada didekat sini hanyalah tenda yang kini ada dihadapannya. Sara hendak masuk, namun tertunda karena seseorang yang baru saja keluar dari sana.

"Sasuke." Sara berucap spontan. Yang dipanggil hanya mengangkat kepalanya kedepan.

"Sara?"

Sara tersenyum sesaat ketika namanya juga dipanggil. Entah mengapa ia sangat suka akan hal itu.

"Ada apa?"

"Aku mau ngasih ini." Secarik surat yang sedari tadi dipegangnya dijulurkan kehadapan Sasuke.

"Surat dari pak Chojuro."

Sasuke membolak-balikkan amplop putih itu. "Maksudnya?"

"Itu buat kamu. Kemarin beliau bilang mau pergi dari sini." Ucap Sara begitu mata mereka bertemu. "Beliau juga minta maaf gak bisa berpamitan langsung sama kamu."

"Pergi?"

"Ya ...." Sara mengangkat kedua bahunya. "Mungkin beliau ingin kembali membangun hidupnya."

"Pergi kemana?"

Sara kembali mengangkat kedua bahunya. Kali ini disertai gelengan kepala. "Gak tau. Bukan hal yang wajib buat aku tanya, kan?" Ucapnya disertai cengiran.

Sara tidak pernah menyangka akan berbicara santai seperti ini dengan Sasuke. Memanggil nama satu sama lain seperti kesepakatan mereka tempo hari. Juga, melihat Sasuke tersenyum karena ucapannya.

Baby BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang