Dalam perjalanan kembali dari pulau Nagi tidak ada yang berbicara satu pun di atas perahu yang kini dikendarai oleh Shikamaru. Semua terdiam, termasuk dengan Zabuza. Perkataannya yang terakhir adalah percakapannya dengan Sasuke selama di sana. Sejak saat itu, Zabuza tidak lagi berbicara apapun. Sasuke menyadarinya, namun ia lebih memilih untuk menghiraukan.
Hal tersebut tidak berbeda pula dengan Naruto dan Sakura. Keduanya juga terdiam. Terhanyut dalam bayang pikiran masing-masing. Kejadian yang mereka lewati berhasil membuat suasana menjadi sedikit canggung. Oh, ralat, sepertinya hanya Sakura yang merasakan itu. Karena sejak tadi, ia masih bingung harus bersikap seperti apa. Hingga tiga puluh menit berlalu, perjalanan itu hanya ditemani dengan suara mesin perahu dan angin yang berhembus.
Sesampainya pada daratan, mereka segera berpisah. Sama seperti biasa, Sakura dan Naruto pamit lebih dulu. Sedang Sasuke dan yang lain kembali memarkirkan perahu pada tempat semula. Tidak banyak perkataan yang Sakura ucap kala berpisah, pertengkaran yang terjadi membuatnya kembali membentengi diri terhadap Sasuke.
Memang, sudah seharusnya seperti itu. Sakura saja yang bodoh karena terhanyut dengan sebuah harapan. Harapan bahwa hubungannya dapat membaik seperti dulu.
"Dek."
Lamunan Sakura terpecah mendengar suara Naruto. Kepalanya menoleh, agak mendongak karena tinggi Naruto rupanya hampir seperti Sasuke. Sakura baru menyadari hal itu.
"Soal tadi, Kakak harap, kamu gak menjauh hanya karena perasaan kakak ke kamu."
Sakura tersenyum, merotasi kembali kepalanya. Jalan yang mereka lalui perlahan terang. Dimana lampu mulai terlihat dipinggir jalan.
"Kakak gak usah khawatir. Aku bukan anak kecil yang akan lari bila disukai. Malah aku bersyukur karena masih ada yang menyukai aku selain ibuku sendiri. Haha ...." tawa hambar disertai diakhir kalimat Sakura.
"Aku yang seharusnya minta maaf karena belum bisa membalas rasa itu."
Perasaan bersalah masih menyelimuti Sakura. Entah mengapa, rasanya tidak juga mau hilang. Mungkin karena Naruto masih bersikap baik kepadanya.
"Sekali lagi aku sangat minta maaf." Kepala Sakura merunduk menatap jalan.
"Kenapa kamu minta maaf? Disini gak ada yang salah, Dek. Cuma waktu aja yang sepertinya kurang tepat."
Tangan Naruto terangkat dan merengkuh bahu Sakura dari samping. Tampak seperti tengah menenangkan. Padahal seharusnya Sakura lah yang melakukan hal itu, bukan malah Naruto.
"Gimana kakak bisa suka sama aku? Apa yang sebenernya kakak liat dari aku?" Ada sedikit jeda antara ucapan Sakura. "Seperti yang kakak tau, aku punya masa lalu yang kelam. Kisah ku pernah kandas. Itu adalah bukti nyata aku belum benar-benar pantas untuk mendapatkan cinta."
Naruto melepas rengkuhannya. Ia tersenyum penuh. Bahkan deretan giginya pun tampak terlihat.
"Cinta itu buta, kalo kamu mau tau. Cinta gak punya mata atau telinga, ia cuma punya hati. Gak peduli bagaimana rupa, gak peduli bagaimana orang berbicara, gak peduli bagaimana masa lalu, cinta akan tetap tumbuh sesuka hatinya."
Naruto menatap Sakura. "Bisa dibilang, cinta itu gila, dan menjadi gila adalah bukti dari cinta."
Entah mengapa kepala Sakura kembali dipenuhi oleh sosok Sasuke. Apakah ini memang cinta? Apakah ia memang masih mencintai Sasuke? Bahkan setelah semua yang sudah terlewati, bayangan Sasuke masih terus berputar dalam kepala Sakura.
Sakura merasa gila. Inikah yang dimaksud Naruto? Sasuke adalah lelaki yang menghancurkan perasaannya, namun dalam waktu bersamaan, Sasuke adalah orang yang paling Sakura sayang. Sakura tidak bisa menampik hal itu saat mereka kembali bertemu disini. Sakura tidak bisa membohongi dirinya, bahwa ia memang masih menyimpan satu ruang dalam hatinya kepada Sasuke. Namun ia tidak ingin terlihat bodoh bila membenarkan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Breath
FanfictionSuatu hari bencana tsunami melanda Kota Kirigakure. Sakura memutuskan untuk membantu dengan mengikutsertakan diri menjadi relawan. Namun dalam perjalanan mengabdikan diri pada negara, luka lama yang belum benar-benar sembuh kembali terbuka. Hatinya...