Doa Talbiyah tidak hentinya berkumandang didalam asrama. Puluhan orang berada disini demi melihat sanak saudara atau orangtua mereka berangkat untuk menunaikan ibadah.
Menuju gerbang, Satu bus telah siap untuk berangkat. Mesinnya sudah menyala. Ketika tuas transmisi ditarik dan gas diinjak sang pengemudi, perlahan bus itu bergerak meninggalkan asrama. Meski begitu doa talbiyah terus dipanjatkan hingga bus tersebut hilang dari pandangan.
"Bubun ...."
Isak tangis terus keluar dari mulut Hanabi. Gadis berambut dongker itu lagi dan lagi mengusap air mata yang jatuh kepipinya. Meski orangtua pergi untuk menunaikan ibadah, rasanya hati Hanabi begitu berat melepaskan mereka. Seminggu memang bukan waktu yang lama. Namun bagi Hanabi yang notabene adalah anak bungsu manja, seminggu saja rasanya bagai sebulan.
"Ayo, dek, pulang."
Hanabi ditarik oleh genggaman Hinata untuk mengikutinya. Mereka berjalan menuju mobil diujung sana. Para pengantar yang lain mulai pergi seperti mereka, entah pulang kerumah, atau ikut mengantar sampai bandara.
"Udah? Ayo." Tanya Neji ketika Hinata dan Hanabi sampai. Lelaki itu langsung memasukkan ponselnya kedalam tas didepan dada lalu beranjak untuk masuk kedalam mobil dan duduk dibalik kursi kemudi.
Langit masih terlihat gelap. Tentu saja. Saat ini memang masih pukul tiga dini hari. Jalan pun tampak lenggang dari kendaraan.
Jika saja Neji tidak bekerja dipagi hari, dan Hinata tidak rapat pukul delapan nanti, pasti mereka akan mengantar sampai bandara. Perjalanan ke bandara memakan waktu sekitar satu jam dari asrama, sedangkan dari asrama ke rumah mereka memakan waktu sekitar tiga jam. Itu artinya jika mereka memaksa untuk mengantar sampai bandara, mereka membutuhkan waktu kurang lebih lima jam untuk bolak-balik. Sayangnya pekerjaan Neji tidak bisa ditinggalkan, dan Hinata tidak bisa memaksa karena ia hanya menebeng saja dimobil milik Neji.
Hanabi masih mengisak kecil dikursi belakang, dengan tangan yang memainkan ponsel. Hinata juga merasakan kesedihan dalam hatinya, namun bukan kesedihan karena tidak rela orangtuanya pergi, melainkan kesedihan karena bahagia melihat orangtuanya menunaikan ibadah yang begitu dinantikan semua orang.
Keadaan dalam mobil dipenuhi oleh suara musik. Hinata menatap pemandangan malam, sedangkan Neji fokus dalam mengemudinya. Sampai Hinata mengingat sesuatu dalam benaknya, dan ia membuka percakapan dengan Neji setelahnya.
"Kak, kemarin ke Ayam Akimichi ya?" Tanya Hinata seraya memperbaiki posisi duduknya.
Neji sempat berpikir sebelum dirinya menjawab, "kok tau?" dengan tolehan kepala.
"Aku ngeliat kakak."
"Kenapa gak manggil."
"Gak enak kakak lagi ngobrol sama kak Sakura."
Neji kembali menoleh pada Hinata. Kedua alisnya tertaut heran. "Kamu kenal Sakura?"
Sedang Hinata menjawab dengan tawa kecil dikursinya.
"Rekan kerja ku." Pungkasnya mengejutkan Neji dibalik kemudi.
"Hah? Serius?" Tanya Neji Tidak yakin. "Dosen?"
Hinata mengangguk dan tersenyum.
"Iya, kak.""Kakak baru tau."
"Aku juga baru tau kemarin, kak."
"Temen sekolah kakak dulu itu, si Sakura. Putus hubungan si." Lengan Neji disandarkan kekaca mobil disisinya. "Delapan tahun kalo gak salah."
"Aku ada nomernya nih. Kakak mau?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Breath
FanfictionSuatu hari bencana tsunami melanda Kota Kirigakure. Sakura memutuskan untuk membantu dengan mengikutsertakan diri menjadi relawan. Namun dalam perjalanan mengabdikan diri pada negara, luka lama yang belum benar-benar sembuh kembali terbuka. Hatinya...