Tiga bulan lagi, ujian kelulusan akan tiba. Seluruh anak kelas tiga semakin digencarkan dalam pemantapan soal mata pelajaran yang akan diujikan. Terkadang dalam satu minggu, hanya satu atau dua hari saja mereka bisa pulang bertemu dengan matahari. Sisanya, mereka disambut oleh langit malam.
Seperti saat ini. Sakura baru saja keluar dari dalam kelasnya dimana langit sudah menghitam. Pemantapan matematika yang diajar oleh Ibu Kurenai membuat kepala Sakura seakan pecah. Memang, mereka hanya diberikan soal sepuluh. Tetapi dari sepuluh itu bisa berkembang menjadi dua puluh bahkan lebih. Sakura ingin menyerah, tetapi bila terus seperti ini, bagaimana nanti ia bisa mengerjakan soal ujian yang menentukan nasib kelulusannya? Tidak apa-apa. Bukankah pepatah mengatakan, bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian?
"Sak."
Sakura menoleh pada Tenten.
"Aku bareng Neji ya."
Sakura ber'oh' tanpa suara. Ia sedikit mengangguk dan menyunggingkan senyum.
"Dia baru balik juga?"
Tanya Sakura ketika Tenten menyamakan langkahnya. Ia sedikit bingung. Setahu Sakura kelas Neji tidak ada jadwal untuk pemantapan hari ini seperti kelasnya.
"Iya. Biasa. Futsal." Ucap Tenten kata demi kata.
Untuk sekali lagi, Sakura mengangguk paham. Ia kembali meluruskan pandangan. Koridor lantai satu ini dipenuhi oleh anak kelasnya, juga anak kelas sebelah. Jadwal mereka sama, hanya, kelas sebelah mendapat pemantapan bahasa. Pelajaran yang paling Sakura sukai.
"Eh, duluan ya, Sak."
Tenten menepuk beberapa kali lengan atas Sakura saat penglihatannya menemukan Neji. Wanita itu sedikit berlari kecil menghampiri seorang lelaki yang tengah duduk diatas motor pinggir lapangan.
Sedang Sakura mematah arah. Ia menuju lapangan parkir yang letaknya dibelakang bangunan sekolah. Sudah sedikit lenggang, karena memang hanya dua kelas saja yang masih bertahan dilingkungan ini.
Satu persatu kendaraan meninggalkan parkiran. Padahal sudah lima langkah lagi Sakura sampai dihadapan motornya, namun terhenti saat pandangannya menangkap sosok lelaki. Sakura sangat terkejut. Ia terlalu bingung untuk melakukan apa. Kecangguangan diantara mereka semakin membesar akibat kejadian saat itu.
Pandangannya menurun. Tanpa mengucap apapun lagi Sakura segera menyingkir dari hadapan Sasuke. Ia memilih langkah kekiri untuk beranjak dari sana.
"Ra."
Sakura berhenti lagi. Ia sedikit menelan saliva dengan susah payah. Satu bulan sudah semenjak kejadian di perpustakaan itu. Sudah satu bulan pula mereka tidak saling berpapas satu sama lain.
Sasuke kembali menghampirinya. Sedang Sakura dengan senantiasa mengalihkan tatapannya.
"Bisa kita bicara?"
Sakura mendongak. Ia menatap manik hitam disana. Ada sebongkah rasa yang menyelinap dalam dadanya, tapi ia tidak bisa mengetahui rasa apa itu. Semua terasa sangat membingungkan untuknya.
"Soal di perpus--"
"Gue udah lupain itu." Potong Sakura cepat. Matanya berkeliling, memastikan bahwa tidak ada orang disekitar yang berpotensi mengetahui pembicaraan mereka.
"Gue baru sadar, Ra. Gak seharusnya gue kayak gini."
Sakura kembali menaruh atensi pada manik Sasuke. Sedikit menunggu kata apa lagi yang akan dilontarkan olehnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Breath
FanfictionSuatu hari bencana tsunami melanda Kota Kirigakure. Sakura memutuskan untuk membantu dengan mengikutsertakan diri menjadi relawan. Namun dalam perjalanan mengabdikan diri pada negara, luka lama yang belum benar-benar sembuh kembali terbuka. Hatinya...