Suara mesin pesawat hercules memenuhi seluruh kabin. Getaran yang sangat kencang pada badan hercules perlahan menghilang tatkala pesawat itu mulai mengudara. Saat ini, tepat pukul sebelas malam, hercules milik militer angkatan udara itu kembali membawa sejumlah penumpang dengan tujuan sama seperti sebelumnya. Terdapat sekiranya dua puluh kepala yang berada dalam hercules tersebut, dengan sisanya adalah barang-barang logistik yang sudah memenuhi seperempat bagian dari kabin pesawat.
Salah satu lelaki berpakaian loreng bangkit dari duduknya pada kursi jaring merah itu. Kakinya membawanya mendekat pada jendela yang berada dua langkah dari tempatnya. Sorot matanya yang tajam mengarah pada langit. Menatap intens atap bumi yang telah menggelap. Bahkan tarian kunang-kunang dari lampu penghuni bumi dibawah sana tidak mampu mengalihkan atensi pria tersebut.
Sedangkan pada bagian tubuh yang lain, tangannya dengan ringan memainkan korek api zippo berwarna emas. Membuka tutup benda tersebut hingga menimbulkan bunyi yang sayangnya tertelan oleh bisingnya mesin hercules.
Hal yang dilakukannya itu sangat kontras dengan penumpang yang lain. Namun tidak ada satu pun dari penumpang yang menaruh atensi padanya. Seperti sudah hapal dengan kebiasaannya ketika mengudara seperti ini.
.
.
.
Sakura menatap sekeliling. Seakan memastikan tidak ada orang yang dikenal berada dalam sudut pandangnya. Ia mengatur langkahnya dengan santai, karena tidak ingin menimbulkan kecurigaan pada beberapa orang disekitar yang masih terjaga.Sekarang tepat pukul empat. Entah Sakura harus merasa bersyukur karena telah kembali dengan selamat atau merasa sedih karena dengan terpaksa meninggalkan orang-orang disana. Tetapi perasaan resahnya sedikit mereda ketika tubuhnya masuk pada area posko. Melihat para rekannya yang tengah beristirahat pada posisinya masing-masing. Dengan hati-hati ia meletakkan sebuah tas merah yang dibawanya. Tas berisi peralatan medis yang merupakan milik pribadi. Ia menempatkannya dekat dengan barang miliknya yang lain.
Masih dengan langkah pelan, Sakura bergegas keluar. Seharusnya ia bisa memanfaatkan waktu untuk istirahat selama satu jam sebelum datangnya waktu subuh, tetapi kenyataannya rasa kantuk tidak juga menyerang. Maka ia memutuskan untuk menjauh sebelum rekannya terbangun karena pergerakkannya.
Kedua tangan Sakura dirapatkan diatas perut. Angin pagi seperti ini seharusnya menyegarkan, tapi tidak untuknya yang bahkan tidak memejamkan mata barang sekejap pun. Entahlah, Sakura merasakan tubuhnya terasa aneh. Mungkin efek dari ia belum tertidur hingga kini.
Alih-alih kembali masuk kedalam posko karena hawa dingin yang menyapu kulit, Sakura malah duduk disebuah kursi kayu dekat dengan bangunan mushola setelah mencuci wajahnya. Dinginnya air keran mushola membuat matanya menjadi semakin segar.
Sakura menghela napasnya dengan panjang. Kembali mengingat hari-hari yang telah ia lalui selama berada disini. Ia tidak mengerti maksud dari semua kejadian yang dialami, yang rasanya bahkan seperti mimpi. Pertemuannya dengan Sasuke, bahkan kebersamaan mereka tadi, rasanya masih sangat sulit untuk dicerna oleh akal pikirannya. Sakura masih merasa seperti bermimpi. Seseorang yang lima tahun belakangan tidak dilihatnya lagi, tiba-tiba kembali muncul dengan tanpa diduga ditempat yang tidak pernah terpikirkan sekali pun.
Tidak. Sakura tidak senang dengan keadaan saat ini. Ia sungguh sangat tidak senang. Andaikata waktu bisa diputar kembali, Sakura pasti tidak akan memutuskan untuk pergi ke Kota Kiri. Sakura akan tetap di Konoha meski ibunya selalu berusaha menjodohkan dari pada melihat lelaki itu kembali seperti ini. Tapi, sebagaimana kata andai itu sendiri, semua tidak mungkin menjadi nyata. Penyesalan memang selalu datang belakangan.
Disaat rasa penyesalan kembali menyeruak dalam dada Sakura, kursi kayu yang didudukinya bergerak dan mengeluarkan bunyi. Seseorang tiba-tiba duduk disebelahnya. Sakura sedikit terkejut ketika menoleh dan mendapati Naruto dengan senyuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Breath
FanfictionSuatu hari bencana tsunami melanda Kota Kirigakure. Sakura memutuskan untuk membantu dengan mengikutsertakan diri menjadi relawan. Namun dalam perjalanan mengabdikan diri pada negara, luka lama yang belum benar-benar sembuh kembali terbuka. Hatinya...