Bab I

51 5 0
                                    

Awal mulanya kita masih kecil tatkala tumbuh seiring waktu tangan-tangan yang merawat diam-diam melepas dan perlahan tubuh kita membawa tungkai jauh dan kadang kala waktu berjalan kita mulai sulit membedakan perihal pantas atau tidaknya.

Sesuatu yang dianggap biasa oleh kehidupan akan berbeda apabila orang-orang melakukannya secara terbalik. Tak jarang manusia-manusia mengklaim bahwa kebenaran itu adalah lingkaran turun temurun sehingga menjadikan pedoman atas hidup itu sendiri. Padahal, semua yang terjadi tidaklah sama. Kadarnya orang-orang itu tak sama rata.

Jika seseorang merasai luka di hatinya akan ada orang yang menangis, sebaliknya ada pula diam—mengabaikan lantaran terbiasa. Tiap kaki-kaki selalu punya pijakan, tempat untuk berhenti atau rumah manakala ia akan berpulang. Kaki-kaki itu mengantarkan mereka pada pilihannya sendiri. Risiko dan konsekuensi merupakan jawaban dari pertanyaan selama mereka memilih langkah—tujuan. Dari semua itu, ada beberapa di antaranya sadar bahwa kesalahan bagian pendewasaan diri, sebaliknya orang-orang dengan tingkat kepercayaan tinggi akan mengelak serta merendahkan atas tindakan seharusnya ia terima. Intinya itu denial.

“Queen,” panggilnya. Gadis itu menoleh pun tersenyum tipis menanggapi kehadiran sahabatnya.

“Leah udah sampai? Aku pikir belum,” katanya lembut. Kemudian, berjalan pelan mendekati perempuan itu yang berada di ambang pintu.

“Sudah siap-siap?” tanya Queen setiba di depan sahabatnya. Gadis itu mengangguk. Jemarinya mengusap pundak Queen lembut dan tersenyum tulus.

“Kita pulang ya,” katanya lembut. Queen tersenyum. Ia merunduk sekejap menatap lantai. Maniknya berkaca-kaca. Sudah saatnya ia pergi.

“Semua barang lo udah bereskan?”

Queen mengangguk.

“Kalau begitu ayo kita berangkat. Luthfi udah di bawah.”

“Iya,” jawabnya serak sambil meremas lengan sahabatnya itu. Queen belum rela pergi.

“Queen,” panggil Leah sekali lagi. Ia ingin memeriksa sesuatu. Sahabatnya itu menatapnya.

“Pelan-pelan.”

Queen mengangguk. Kemudian, ia memeluk Leah dengan hati yang terluka.

“Aku pasti bisa.”

Leah mendengarnya. Berbisik dengan suara tercekat. Sahabatnya itu tengah berusaha.

“Semuanya pasti baik-baik aja. Gue yakin lo dan kita semua bisa.” Leah mengusap punggung Queen lembut. Berharap pelukkan ini sedikit membantu.

“Sayang,” panggil seseorang. Keduanya bersitatap pada orang itu.

“Kita siap,” ucap Leah.

“Ayo,” ajaknya. Queen dan Leah berjalan beriringan.

***

Mobil itu melesat. Mereka menuju bandara internasional. Di dalam kotak persegi empat tersebut, Queen sibuk memandangi bangunan yang bergerak semu. Pandangannya pedih sekaligus terasa sakit—hatinya.

Leah mengawasi Queen, berharap hari ini ia dan juga Luthfi—kekasihnya bisa menemui hasil yang lebih baik. Jemarinya segera merogoh ponsel di saku cardigannya. Mengirim pesan bahwa mereka bertiga akan meninggalkan Seoul dan kembali ke Indonesia.

Dalam perjalana ke bandara, Leah tak henti-hentinya mengirim doa kepada Tuhan agar hidup sahabatnya itu lekas membaik. Ia juga ingin Queen melupakan kejadian dua tahun lalu. Menjadikan kedatangan mereka di tahun ini sebagai terakhir kalinya.

Gue harap yang terbaik buat lo,” batin Leah.

Luhtfi melirik kaca yang berada di atas dashboard. Netranya merekam jelas dua orang penting dalam hidupnya selain keluarganya. Sejujurnya dalam afeksi tak pernah ia tunjukkan secara gamblang pada Queensha selaku sahabat dari kekasihnya. Ia hanya berdiri di samping gadis itu sebagai pengamat. Kalau sesuatu terjadi ia tak segera beranjak. Sadar karena Queen tak menyukai orang lain ikut campur dalam masalahnya. Menghargai keputusan itu, Luhtfi membiasakan diri menolong gadis itu secara diam-diam. Bersama dengan sang kekasih, Luhtfi ikut merasa sedih.

“Kita tiba,” ucapnya retoris. Queen tersadar dari lamunannya. Leah melepas seatble-nya.

“Kalian ingin membeli sesuatu? Kita berada di pesawat selama 7 jam. Mungkin kalian butuh sesuatu selama di pesawat. Masih ada waktu untuk berbelanja,” ucapnya.

Leah memandangi sahabatnya dan Queen pun menatap Leah.

“Kita lihat-lihat dulu. Enggak apa-apakan kalau gue tinggal?” tanyanya. Luthfi mengangguk. Setelah dua gadis itu melenggang pergi, Luthfi membantu sopir untuk mengangkat barang-barang mereka.

Di swalayan yang tak jauh dari bandara, Queen mengambil satu botol minum yang tampak menarik di matanya, akan tetapi seseorang di belakangnnya juga menginginkan botol minum tersebut. Alhasil, kedua tangan mereka bersentuhan.

Queen menengadah, ia menangkap sosok laki-laki di sana. Berkacamata hitam. Bibirnya tebal. Hidungnya bangir. Tinggi. Wajahnya? Queen tak melihat jelas karena pemuda itu memutar badannya. Ia mengalah. Gadis itu melihat sosok itu keluar dari toko swalayan.

“Apa aja yang lo ambil? Biar sekalian gue bayar,” ujarnya. Queen menoleh ke sumber suara.

“Ini aja,” katanya sambil menunjukkan barang yang ia ambil.

“Gue beli banyak. Nanti lo ambil punya gue aja,” katanya. Leah membayar belanjaannya dan mereka pergi dari sana. []

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang