Bab 42

1 1 0
                                    

Gadis yang disapa Ila oleh sahabat-sahabatnya tengah menyelimuti lelaki yang kini sudah tampak dewasa dengan segala peragainya. Ila tersenyum tipis lalu mengacak sebentar rambut hitam legam si pemuda dengan hati terenyuh. “Makasih banget lo udah nepatin janji. Seumur hidup, gue enggak akan pernah lupa, Ja,” batinnya.

“Queen.” Samar-samar terdengar, Ila mengerutkan dahinya lantaran tak paham. “Queen,” beonya tatkala duduk di samping Senja yang tertidur di sofa.

“Firasat gue benar kalau keduanya punya hubungan. Kebiasaan banget enggak pernah cerita.” Si gadis menggerutu. Ia menatap lurus—brankar. Mengeluarkan ponsel dari saku baju pasiennya, Ila mengetik pesan untuk dikirim ke Restu. Tidak sampai semenit, pesan itu terbalas. Ila sumringah.

“Kenapa belum tidur? Senja di mana?” tanya Restu beruntun. Ila menarik kurva bibirnya, si gadis segera menjawab. “Aku belum tidur gara-gara nungguin lo,” ujarnya.

“Gue?”

“Hmm.”

“Kangen banget, ya?” godanya. Pipi gadis itu bersemu. Ila menangkup bela pipinya yang terasa panas. “Enggak juga, sih,” balasnya. “Terus?”

“Lo enggak peka,” ujarnya spontan. Nadanya terdengar merengek. Di seberang sana, Restu terkekeh. “Gue rindu,” ujarnya. Ila menggigit bibirnya tanpa sadar.

“Sampai kapan kita diam-diam begini?” tanya Ila. Si gadis mendudukan dirinya di brankar lalu maniknya membidik Senja yang pulas di sana. “Mungkin sampai mereka sadar.” Restu membayangkan reaksi sahabat-sahabatnya.

“Gue pikir, Abian yang paling heboh,” ujarnya lalu disambut kekehan Restu. “Kenapa ke tawa?” tanya Ila bingung. “Lagi mikir, wajah mereka bakalan kayak apa,” balasnya.

“Oiya, tadi gue enggak sengaja dengar Senja nyebut nama Queen.”

“Gue enggak tahu kapan, tapi semenjak Senja kenal adik kelas kita itu, rasanya ada yang beda. Enggak detail sih cuma ya gitu. Ada sesuatu.”

“Emang lo peramal? Kok tahu? Gue yang tumbuh bareng dia aja enggak tahu,” ucapnya. “Gue selalu peduli dengan orang-orang di sekitar gue, terlebih lo, Ila.” Mendadak jantung Vanilla bertalu-talu—itu terdengar seperti akan melompat dari tempatnya.

“Gombal,” balasnya.

“Hitung mundur, ya,” ujar Restu. “Buat apa?” balas Ila tidak mengerti. “Hitung, seberapa kangen lo. Gue mau tahu dari pertama sampai empat. Mana angka yang lo pilih,” jelasnya. Si gadis cemberut. “Ini bukti cinta?” tanyanya tiba-tiba. Restu terkekeh. “Bukan. Gue ingin tahu seberapa kangennya lo sama gue,” ujarnya.

“Gombal mulu,” balas si gadis. “Enggak apa-apa. Cuma lo doang yang gue gombalin,” balasnya. Kembali seperti tomat, wajah Ila memerah. “Restu,” cicitnya.

“Tidur, La,” ujarnya. “Udah malam. Enggak bagus kalau lo masih terjaga. Ntar yang repot satu kampung,” ujarnya. “Abian,” balasnya sambil terkekeh.

“Gue enggak nyangka lo bakalan ngaku,” ujarnya pelan. “Gue enggak kuat. Takut juga kalau ada yang ambil lo dari gue,” terangnya. Si gadis menarik lengkungan di labiumnya. “Gombal mulu,” ujarnya salah tingkah.

“Sampai ketemu.” Panggilan terputus.

***

Cukup lama di rumah sakit jiwa, Queen melarikan diri—tidak memberitahu Leah. Ia memulai aktivitasnya seperti biasa. “Pagi,” sapa Junior. Queen membalas tersenyum. “Lo kemana aja?” tanya salah satu teman kelasnya. “Enggak pergi jauh. Aku liburan.”

“Gila, ya,” balasnya. “Emang beda siswa teladan. Oiya, lo udah dengar kabar?” Queen duduk di bangkunya. Kemudian, mendongak ke arah lawan bicaranya. “Kabar apa?”

“Kalau penulis naskah teater itu ada di kelas kita,” bisiknya tepat di telinga Queen. Tubuhnya mendadak tegang. “Kelas kita?” beonya. Teman sekelasnya mengangguk.

“Lo tahukan, si penulis itu misterius banget. Satu sekolah enggak ada yang tahu. Anak teater juga enggak tahu.”

“Gue baru dengar. Gue kira, penulisnya dari anak teater juga,” ucapnya. Queen harus mengendalikan mimik wajahnya. “Itu dia. Semua orang berpikir begitu. Plot twist banget.” 

“Ibu Lana,” ujar Queen. “Ibu Lana?” Temannya mengikuti arah pandang Queen lalu membekap mulutnya sambil kembali ke kursinya. “Cepat ambil posisi kalian kembali. Kita mulai pelajaran hari ini,” ujarnya tegas.

“Baik bu!” suara itu terdengar serentak.

“Queen?” gumam Lana—ia menatap tak berkedip. “Kita lanjutkan tugas minggu sebelumnya. segera diantar, ya, anak-anak ibu tersayang,” ujarnya. Siswa-siswi tampak mengeluh. “Ibu,” jawab mereka serentak.

“Tidak bisa ditunda-tunda, ya. Satu lagi, ini kelas bukan di pasar. Jadi, tidak ada tawar-menawar, ya,” terangnya.

Selepas jam pelajaran pertama selesai, Queen langsung keluar lalu disusul Lana dengan langkah terburu-buru. “Queen!” Lana mencekal tangan Queen. “Kak Lana,” panggilnya terkejut.

“Kamu kemana aja?” tanyanya panik. Ia khawatir Queen tak pernah kembali. “Jalan-jalan.” Queen meninggalkan Lana—mengabaikan Lana yang terdiam. Tidak ingin menjadi pusat perhatian, Lana mengekor Queen.

“Bukan itu. Maksudnya, selama ini kamu ke mana?” Ia menghadang. Queen memperhatikan sekitar. “Queen liburan. Kak Lana kenapa? Kayak orang takut gitu?” tanya Queen.

“Kamu dihubungi enggak bisa. Leah juga. sekarang Leah ke mana? Kenapa enggak ada di kelas?” Tungkai Lana berhenti tatkala Queen berhenti. “Leah? Queen pikir, Leah ada di suatu tempat. Queen enggak tahu.”

“Kenapa enggak tahu? Kaliankan sahabat,” cecarnya. “Yang Queen tahu, Leah sama tunangannya, Kak.” Lalu Queen pergi.

“Ini aneh,” batin Lana. []  

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang