Bab 38

0 1 0
                                    

Alangkah indahnya kalau dunia ini adalah dongeng. Akhir bahagia merupakan tujuan semua orang. Namun, bumi ini dengan kenyataan yang terkadang membuat orang-orang menggeleng tidak mengerti. Bagaimana bisa seseorang melakukan tindakan di luar batas? Jelas ia dilabel dengan nama manusia.

Barangkali presensinya telah lenyap seutuhnya. Manusia utuh tentu keinginan semua orang. Namun, banyak di antaranya kehilangan jati diri, keinginan untuk berubah karena semua pergerakkan semu telah menguasi kepalanya. Hatinya sudah berkarat. Tidak ada namanya kehagiaan di sana. Keserakahan dan ketidakpuasan membawa mereka menjumpai ladang kehancuran.

Senja menatap dari kejauhan seorang gadis yang akhir-akhir ini berada di kepalanya. Bukan tentang perasaan. Namun, ketertarikannya terhadap Queen cukup meningkat seiring kedekatan mereka. Senja menyukai pesona Si Gadis. Queen yang diam, tidak banyak bertingkah seperti banyaknya perempuan. Terlebih lagi, gadis itu berprestasi.

Senja diam-diam mencuri pandang, lelaki muda itu terkadang tidak mengerti dirinya sendiri. Mula-mulanya, ia hanya sekedar melihat. Lama-kelamaan, ia mulai tertarik dengan kisah Si Queen. Kemudian, keduanya terikat kerjasama lalu sering bertemu dengan keadaan seolah semesta mendukung. Namun, alih-alih mengenai rasa sukanya terhadap Si Gadis, Senja lebih tertarik dengan Queen yang tampak misterius baginya.

Kafe Hologram begitu ramai. Di sana Luthfi tengah berhadapan dengan laptopnya, sedangkan Queen membacakan materi. Leah duduk santai dengan wajah cemberut. Tiga orang di sana membuatnya berpikir kalau hubungan mereka bukan hanya sebatas teman, melainkan seperti saudara. Jemari Queen mengusap belah pipi Leah. Bahkan, Luthfi mengerjakan tugas Leah—menggantikan. Sebab, gadisnya itu sedang kedatangan tamu.

“Queen,” rengeknya terdengar seperti anak kecil berusia empat tahun. Queen tersenyum, ia memberikan perlakuan hangat. “Maaf, enggak bisa bantu, huhu.” Leah terdengar menyakitkan di rungu Queen. Ia menepuk pelan-pelan punggung sahabatnya itu. “It’s okey, Leah. Kamu istirahat aja.”

Semakin lama Senja mengedarkan pandangan pada gadis itu, ia semakin menjumpai sindrom Othello. Menggeleng kepalanya, menyadarkan diri bahwa semua halusinasi ini hanya bergerak dalam kepalanya saja. Tidak menemui kenyataan—sungguh terjadi. Segera Senja beranjak, ia mendekati kasir. Sebelum meninggalkan tempat, Senja melihat Queen begitu serius.

“Ini sisanya,” ucap Si Kasir. Senja tersenyum tipis sebagai balasan. “Terima kasih,” ucapnya lalu mengulum labiumnya. Pergi dari sana, ia berjalan ke parkiran, mengendari sepeda motornya. Dalam perjalanan, terlintas dipikirannya untuk membeli bunga. Namun, tiba di sana, satu hal membuatnya berantakan. “Mama,” gumamnya. Memandangi punggung mungil itu, Senja diam-diam merekam sosok ibunya tanpa sadar—menyimpan di kepalanya.

“Bunga ini juga menarik, bu. Artinya juga bagus.” Penjual merekomendasikan. “Biasanya, bunga-bunga itu ada di pagi hari.” Si Penjual menjelaskan bunga yang dimaksud Brisa. “Kapan bunga seperti itu ada lagi?” Brisa bertanya.

“Lusa baru datang, bu. Bunga itu banyak diminati orang-orang.”

“Benar. Selain cantik bunga itu sederhana,” ujarnya sembari melihat himpunan bunga-bunga dengan ciri khas masing-masing. “Biasanya, bunga-bunga ini datang dari mana?” Brisa menanyai Si Penjual dengan wajah sedikit terangkat. Sebab, Si Penjual pemuda jangkung.

“Luar negeri.”

“Lusa saya datang lagi. Dua buket bunga baby breath, ya,” terangnya. Penjual mengangguk. Segera Senja bergegas keluar dari sana tatkala ibunya hendak memutar tumit.

Manakala Brisa pergi dari sana, ia kembali masuk. Penjual bertanya dengan nada ramah. “Butuh bunga yang seperti apa, ya?”

Senja diam sejenak lalu bertanya. “Ibu yang tadi ingin bunga apa ya kalau saya boleh tahu?”

“Ouh, ibu tadi ingin bunga baby breath. Bunga itu banyak yang minat. Jadi, stok kami sudah habis, tapi lusa ibu itu akan datang lagi.” Penjelasan Si Penjual memuaskan keinginan Senja. Kemudian, ia memesan. “Satu buket bunga poney.”     

Sebagai permintaan maaf, Senja memberikan bunga untuk sahabat kecilnya. Vanilla memenangkan nominasi untuk menhiasi wajah majalah sekolahnya tahun ini. Hal ini merupakan salah satu keinginan sahabat karibnya itu, mengingat selama ini Vanilla banyak mengisi berbagai jenis perlombaan. Jadi, tak ayal jika Si Gadis pasti akan menerima penghargaan tersebut sebagai award-nya—penutup atas segala kegiatannya. Setelah itu, Vanilla akan memberikan perhatian lebihnya pada aktivitas belajarnya.

Dentingan berbunyi, Senja melihat layar gawainya. Di sana tertera nama Vanilla—lambe turah. Sebuah artikel singkat mengenai sahabatnya itu membuat beberapa orang berkomentar berlebihan. “Kok bisa, sih, wajah sekolah itu Vanilla?”

“Cantik, sih. Pintar juga, tapi jangan serakah, dong!

“Gila, ya. Lebih viral dari Queen,” ujarnya.

Backlist!”

Good looking emang beda, ya.”

Pemotretan Si Primadona!  

“Vanilla,” gumam Senja. []

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang