Bab 25

4 1 0
                                    

Sebuah senyuman mengembang, Queen malu setengah mati. Ingin pergi saja. Kenapa melihat Senja pipinya selalu terasa panas? Padahal, kakak senoirnya itu tak pernah berlebihan. “Sampai di sini cerita kita,” ucapnya. Queen membungkam mulutnya. Tidak tahu harus merespon seperti apa. “Lo kalau salah tingkah tu lucu banget tahu. Makin gemas gue lihatnya.” Lalu Senja terkekeh. Manis banget. Queen mau meleleh. Kemudian, gadis itu menggeleng. Sadar! Harus sadar!

“Gue titip Queen, ya, Leah,” ujarnya. Leah yang sembari menunggu Luthfi—berada di parkir, menatap Senja heran. “Queen?” beonya. Lalu gadis itu menatap Queen yang tersenyum. Leah memicingkan matanya. “Ada sesuatu ni yang enggak gue tahu,” batinnya. “Ya udah, gue pulang dulu. Bilang ke Luthfi, hati-hati nyetir mobilnya.” Senja pamit. Leah langsung menarik lengah sahabatnya itu. Ia merangkum wajah Queen. Matanya menelisik. “Lo punya hubungan apa dengan tu manusia?”

Queen melepaskan kedua tangan Leah lalu berujar. “Enggak ada hubungan apa-apa, Leah. Kak Senja kebetulan aja bantuin aku di perpus tadi,” jawabnya. “Lo bisa minta bantu gue, Queen!” kesalnya. “Kamu sibuk. Aku lihat anak-anak Osis lagi sibuk. Kamu juga punya kelas ekstrakulikuler. Jadinya, aku enggak mau ngerepotin kamu,” jelasnya.

“Tapikan lo bisa kabari gue,” cicitnya dengan tubuh bergoyang ke kanan dan ke kiri pun bibirnya mengerucut. Leah kesal.  Queen hanya punya dirinya. Apa yang terjadi akan berdampak kepadanya. Misalnya, gadis itu sakit, ia akan mengomel tidak jelas. Kemudian, bila gadis itu melewatkan sesuatu tanpa dirinya, rasanya Leah mau menceburkan dirinya ke sungai. Ia akan berpikir bahwa tidak berguna bagi Queen.

“Aku enggak bisa kalau enggak ada kamu Queen,” ucapnya dengan suara rendah. Namun, terdengar pilu di hati Queen. “Lain kali aku kasih kabar. Jangan nangis,” bujuknya. Leah langsung merangkul Queen lalu bunyi klakson mobil mengurai pelukkan mereka—Luthfi datang. “Ayo pulang. Gue ada makan malam bareng Bunda dan lo harus ikut. Nyokap gue tanyain mulu. Mana Queen? Mana?” jengkelnya. 

“Tapi aku pulang dulu, ya, Leah,” ucapnya setiba di dalam mobil. “Kita perginya bareng. Biar gue yang bilang ke orangtua lo,” balas Leah. “Bilang ke Papa kalau aku mau tidur di rumah kamu. Aku malas. Ada Kak Luna,” terangnya. Leah mengangguk.

Mobil sedan itu melaju di jalan raya. Jakarta memang sepadat ini. Manusia hilir mudik. Bangunan pencakar langit ada di mana-mana. Bising-bising mengganggu rungu juga banyak. Tempat-tempat singgah juga ada di sana-sini. Namun, semuanya tak seindah atau menarik dipandangan Queen. Hatinya kembali mendung. “Kak Philip,” batinnya. Netranya memotret langit yang akan menemui senja.

“Kakak suka buku ini,” ujarnya. Queen teringat kisah mereka di dalam kotak bernama kamar. Di atas ranjang dengan prianya pun sedang bercerita. “Meera cantik.” Philip mengusap sampul buku itu. Kemudian, menoleh ke arah Queen yang tersenyum. “Mama emang cantik.” Queen memuji ibunya. “Kenapa kamu bisa terinspirasi buat buku novel ini?” tanyanya. Queen berpikir. “Kenapa, ya? Mungkin karena aku ingin menulisnya.”

“Sayang,” panggilnya seraya menautkan jemarinya dengan wanitanya. “Kamu bahagia?” Philip menatap dalam wanitanya. “Hmm,” dehamnya. “Queen bahagia kalau itu dengan kakak,” ucapnya lalu mengecup singkat labium kekasihnya. “Kamu pintar banget.” Philip membuat Queen malu—tersipu. “Queen masih kecil, ya, kak?” tanyanya. “Jelas!” Lalu keduanya tertawa bersama.

“Papa lagi apa, ya?” gumamnya. Leah memandangi Queen yang berada di kursi belakang. Kemudian, Luthfi mengusap jemari wanitanya. Leah tersenyum tipis. Beruntung prianya—Luthfi selalu bersamanya. Tidak pernah meninggalkannya. “Aku cinta kamu,” ucap Leah hanya dengan menggerakan bibirnya tanpa bersuara lantas disambut dengan senyuman dan kupu-kupu di perutnya—Luthfi.

Leah bertemu Meera di rumah. Ia akan berpamitan dengan perempuan itu. Akhir-akhir ini, wanita paruh baya itu sering berada di kediamannya. Queen pikir, ibunya ada di sini karena dirinya. “Tante, Queen tidur tempat Leah, ya?” tanyanya. Setelah tiba di sana, gadis itu menyapa lalu mengutarakan niatnya lantas  lawan bicaranya menoleh. Kemudian, kembali menatap rangkaian bunga yang tengah ia buat. “Kamu bisa kabari tante tiap empat jam sekali?” tanyanya. Mata Leah membulat. “Apa tante?” tanyanya ragu. “Kamu kabari tante mengenai keadaan Queen selama di sana. Bisa?”

Labium Leah sedikit terbuka. Ia ingin bersuara. Namun, urung. Bagaimana mana bisa? Leah bertanya-tanya. Sejak kapan Tante Meera itu memperdulikan Queen?  Dulu sekali, pertama ia betamu di sini, rumah besar ini hanya ada pelayan, tukang kebun, dan sopir. Leah bertanya langsung kepada Sang Sahabat keberadaan orangtua gadis itu. Kemudian, sahabatnya itu hanya diam seolah pertanyaan itu tidak penting.

“Ini benaran Tante Meerakan?” batinnya. []

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang