Dulu sulit baginya membiarkan dirinya sendirian. Sebab, dari itu gadis yang disapa Ila oleh orang terdekatnya enggan melepas jemari Senja barang sedikit pun. Namun, satu insiden membuatnya mengerti bahwa tak bisa selamanya merengkuh laki-laki berlabel sahabat kecilnya.
Sejak saat itu, ia berusaha tak bergantung. Kemudian, belajar perlahan. Lagi pula ada Bram, Restu, Abian, dan Sakya. Ia tak pernah sendiri. Namun, kadang-kadang ia ingin Senja selalu berada di sampingnnya. Terkesan egois memang. Katakanlah kalau ia hanya ingin Senja peduli dengannya tanpa melihat yang lain.
Vanilla sadar bahwa semua keegoisannya akan membuatnya kehilangan Senja lebih banyak. Pasal demi pasal pun bermunculan. Orang-orang mulai mengomentarinya yang terlalu membelenggu Senja dalam roda kehidupannya. Satu per satu mulai memandangnnya aneh.
Jikalau boleh ia ingin menguasi Senja lebih banyak dari biasanya. Awalnya, ia begitu. Berpikir Senja tak masalah merawat atau menemaninnya ke mana pun, akan tetapi waktu berarak, ada hidup lainnya yang Senja miliki. Kebebasan tanpa dirinya itu pasti ada.
Gadis berbalut hoodie itu tengah tak sadarkan diri di sebuah perpus di kota tempat tinggalnya—perpustakaan Peter. Ia datang sendiri ke sana. Bram tengah sibuk dengan aktivitas bandnya, sedangkan Restu mengajar les. Sementara Sakya bekerja di sebuah kafe. Abian sibuk dengan bersama teman-temannya.
Sebenarnya, Restu menanyainya. Ia akan keluar atau tidak. Vanilla ingin hidup bebas. Tak terikat dengan pengawasan papanya. Selain itu, tak ingin terus-menerus merepotkan Senja, apalagi sahabat lainnya. Vanilla hanya mencoba bertahan dari rasa sakit yang menggrogotinya.
Dadanya dihimpit jutaan ton. Namun, tetap berusaha menahannya. Padahal, sesak-sesak itu merangkak lebih ganas dari biasanya. Beberapa waktu di sana, gadis itu belum sadar juga. Tiba-tiba seseorang tak sengaja menjatuhkan bukunya. Beberapa detik kemudian, orang itu terbelalak.
“Ada orang sakit!” teriaknya.
Lantas orang-orang di sana berbondong-bondong mendekati. Kemudian, tak membuang waktu lama, di antara mereka menghubungi ambulance. Vanilla di bawa ke rumah sakit.
“Bodoh!”
Senja merutuki aksi Vanilla yang tak mengabarinya. Selanjutnya, pemuda itu tak henti-hentinya membenci dirinya. Ceroboh. Ia kecolongan. Terlalu sibuk. Bahkan, lupa kalau Vanilla hidup berdampingan dengannya.
“Kenapa lo enggak jujur, sih, La?” gumam Senja sambil mengusap punggung tangan Si Gadis di belah pipinya.
“Lo tega banget, enggak hubungi gue. Biar apa? Biar lo kelihatan hebat tanpa gue? Gitu?” Ia menatap dengan pandangan terluka. “Gue enggak pernah ngerasa repot, La. Lo bagian dari gue. Sahabat gue. Orang terdekat. Gue sayang lo,” katanya.
Pintu kamar inap Vanilla terbuka lebar—dibuka dengan kasar. Restu di sana dengan napas terengah-engah lalu disusul Sakya. “Gimana? Ila baik-baik ajakan?” Restu mendekat. Sakya menetralkan detak jantunganya.
“Senja,” ucap Sakya pelan sambil menatap punggung sahabatnya.
“Gue brengsek,” ucapnya. Laki-laki itu menggeleng dengan jemari Vanilla yang bertautan dengan jemarinya.
“Lo enggak salah,” kata Restu seraya mengusap punggung kokoh yang tampak layu itu. Sakya pun bersuara. “Lo enggak salah. Seharusnya, kita lebih peka lagi,” katanya. Restu menoleh dengan pandangn sayu. “Kita salah. Jadi, ini bukan kesalahan lo.”
***
Bram menatap cakrawala dengan tangan sibuk memainkan botol minumnnya. Pikirannya kacau. Awalnya, ingin memilih abai, akan tetapi Leah dan Luthfi begitu frustasi. Kemudian, ia mengingat Vanilla yang berada di rumah sakit. Terlalu fokus sampai ia lupa akan sahabatnya itu. “Ila,” katanya berbisik. Ia menjambak rambutnya yang mulai panjang. “Sial!” makinya. Ia beranjak. Tungkainya meninggalkan area rooftop. Kemudian, mengambil kunci mobilnya di atas nakas lalu pergi.
Jalanan terlihat lenggang. Tidak biasanya. Lembayung sudah bertengger. Warna purple menghias bumi. Gradasi di sana begitu teduh. Anehnya, tak sedikit pun ia merasai tenang. Dadanya sakit luar biasa. Dalam lamunanya, Bram tak henti-hentinya memikirkan peristiwa yang terjadi di rumah sakit. Sinting! Bagaimana bisa seorang siswi berprestasi berakhir seperti itu? Apa? Rehabilitas?
Bram menarik napasnya pelan lalu membuangnnya secara perlahan. Dadakanya seakan ditekan. Sesak luar biasa. Tangannya mencengkram kemudi kuat. “Gimana kalau gue enggak datang tepat waktu?” batinnya. “Dia mati?” Bram merunduk kepalanya sejenak. Lantas menggeleng—menghalau pikiran-pikiran yang buruk mengenai Queen.
“Dia pasti selamat,” gumamnya. Tiba-tiba bunyi klakson membuyarkan lamunannya. Detik selanjutnya, ia menekan pedal dan mobil melaju. Sesampai di sana—rumah sakit, Bram tak langsung mendatangi kamar inap Vanilla. Kembali pada insiden Queen yang nyaris menjatuhkan diri. “Gue enggak boleh gila,” batinnya.
Menutup pintu mobil, Bram berjalan sambil menatap lantai. Matanya kosong. Setiap pergerakkan menuju kamar Si Gadis, pekikkan Leah terdengar nyaring di telingannya. “Sial! Gue ingat itu,” katanya. Leah menangis pilu. Sejenak berhenti, menyandarkan punggungnnya di tembok—Bram di lorong. Ia terdiam dengan kedua kaki ditekuk. “Gue bisa gila kalau begini,” gumamnya. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Love In The Dark √
Dla nastolatkówNaraya Queensha, seorang gadis remaja. Ia harus bertahan hari ini, esok, lusa, dan seterusnya. Berjuang dengan dua tungkai yang sewaktu-waktu akan berhenti. Tatkala ia sudah melabuhkan cinta pada seseorang. Namun, dengan lihainya semesta mengguncang...