Bab 37

0 1 0
                                    

Uma tidak sengaja melewati pintu kamar kedua orangtuanya. Samar-samar percakapan Artur dan Adrea terdengar. “Kamu egois,” katanya dengan nada getir yang terdengar di rungu Uma.

Artur berbalik. Ia menatap dengan rahang mengeras dan gigi bergemeletuk. “Aku egois? Perlu kamu tahu, Rea, aku di sini karena Mama dan Papa. Bukan keinginan aku berada di sini. Perlu juga kamu tahu, bukan kamu aja yang terluka, tapi Brisa juga.”

“Tapi aku istri kamu,” potongnya. Seolah tak memberi celah, Adrea terus mencecar Artur. “kata-kata egois sepantasnya untukmu.” Artur melenggang pergi. Uma masih di sana, melihat putra dari wanita yang berada di kamar, Artur melesat jauh.

Uma tak bisa berbuat banyak. Kalau ia dikasih pilihan, ia ingin mengikuti jejak ayahnya saja ke surga daripada menyaksikan kisah pedih lainnya di dalam bangunan megah ini. Laki-laki satu tahun lebih muda dari Senja itu meninggalkan ibunya. “Papa!” teriaknya.  Di halaman itu, ia berteriak dan menghentikan aksi pria paruh baya yang akan memasuki mobil pribadinya. “Papa boleh benci Uma, Mama, dan Aludra, tapi tidak boleh menyakitinya.”

Artur terdiam. “Kamu tahu, Senja tidak pernah berbicara setelah kami memutuskan untuk hidup berdua dengan kalian. Hari ini, kamu meingatkan Papa pada hari di mana perempuan pertama dalam hidup Papa hilang dari pandangan. Kamu beruntung masih ada Adrea, tapi Papa dan Senja hanya punya Brisa.”  

Uma bungkam. Perihal harapan dan mimpi, tidak pernah sekali pun ia gantungkan pada keluarga ini. Sejak tahu kehidupan kedua orangtuanya, ia memilih mengasingkan diri. Mengunci dirinya dari orang-orang yang akan menjatuhnya lebih dalam lagi ke dasar laut lepas.

Melihat mobil hitam metalik itu melenggang pergi, dengan sorot kosong, pun Uma merasai jantungnya seperti menempel pada tulang rusuk, ditekan kuat, dan ia menahan napas, akan tetapi tungkainya masih berdiri tegap dengan rona bagaskara berkilau indah. “Mama hanya mau hidup dengan Papa Artur dan kamu harus ikut Mama, sayang.” Kala itu, ia masih sangat kecil untuk mengetahui dosa-dosa orang dewasa. Uma hanya melihat dua belah pipi ibunya memerah dengan tenggorokan kering bak musim kemarau.

Ada sekelumit pahit yang melintasi ekspresi Uma tatakala semua ini semakin nyata, dekat, bisa dijangkau. Perasaan pasang surut bak air laut di dadanya sontak berkecamukan bak badai di tengah hujan deras. Sesuatu di dalam kepalanya tengah berbisik ria, seakan hari ini awal dari semuanya. “Tinggalkan saja.” Itu terdengar mengerikan. Uma mati-matian menahan gejolak di perutnya.

Langit malam mulai bertandang, senja dengan remang-remang menghiasi jalanan raya pun gerimis datang bak teman sebagai penghibur. Sedih-sedih di dadanya membuat ia menenggelamkan jauh dirinya pada lamunan sehingga ia menemui kembali waktu-waktu yang tak pernah ia tinggalkan di sembarang tempat. “Mama!” Teriakan itu seolah tak pernah terdengar, Senja mendapati dua daksa tengah berdiri linglung. Pikiran kacau, rusak, dan tak utuh lagi.  

Senja menggali lebih dalam lagi, satu yang ia dapat dalam peristiwa itu, ibunya dan pria yang ia juluki super hero tengah bertarung melawan takdir. Garis itu tak pernah tercipta untuk keluarganya. Suara klakson menyadarkannya. Ia tanpa sadar menggigit bibir bawah sekilas, lantas menyandarkan tubuhnya dengan satu tangan berada di kening. Jakarta tatkala petang datang akan selalu ribut dengan aksi-aksi pengemudi. Seolah sudah terbiasa, Senja abai dan kembali pada langit-langit di hari penuh dengan derasnya air mata. “Aku enggak setuju. Kamu mau aku dan Senja tiada?” Suara lemah itu menggema di telinganya. Senja mengerutkan dahinya dengan jantung bertalu-talu.

Ingatan itu menyeruak seolah menghajar kepalanya. “Mama,” gumamnya. Ekspresinya seperti menahan sakit di sekujur tubuh, Damar yang mengemudi, lantas berpaling melihat Senja tengah kesakitan. “Senja,” paniknya. Damar menekan pedal manakala lampu merah telah lenyap. Pemuda itu, segera melajukan mobilnya ke apartemen.

Damar mengenal Senja, adik sepupunya itu telah melewati hari-hari buruk. Gerbang neraka seolah terbentuk untuk mereka yang sedang merakit kebahagiaan, Damar mengerti ini adalah jalannya. Semua itu datang, dirasakan, dan diterima. Walau sejujurnya tak semudah mematahkan kelopak bunga dari tangkainya, Damar mencoba.

Sungguh menyembunyikan luka-luka adalah perihal yang tak semua orang pandai. Damar menemukan Philip pergi, di sana Queen tengah terduduk lemas, tubuh tak mampu beranjak dari tempat. Suara sirene mengudara, nyaring menembus gendang telinga pun dua maniknya tengah melihat dengan pandangan kosong. Kepalanya seperti dihujami jutaan ton batu. Damar menarik napas, lekas meraih pundak gadis itu.

Kemudian hari di masa lalu, Damar juga melihat Senja bersembunyi di balik gang kecil dengan tubuh kecil menggigil. Hujan lebat, Damar dengan payung sebagai pelindung mendekat, lalu bersuara pelan. Namun, Si Kecil tak mendengar—hujan deras. “Senja.” []

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang