Bab 8

13 1 0
                                    

Senja duduk di sebelah Vanilla. Gadis itu sedang menikmati sarapan paginya. Di sana paman dan bibinya tengah berada sambil menguyah sandwich. Kedua orangtua itu sudah terbiasa menyaksikannya diirinya hadir di tengah-tengah keluarga inti. Pemuda berumur sembilas tahun itu memang sering kali menghabiskan banyak waktu bersama Vanilla. Mengingat keduanya adalah teman kecil dan merangkap menjadi sahabat kecil hingga mereka tumbuh bersama seperti sekarang, contohnya.

“Dihabisi La,” kata Senja. Gadis itu menggeleng.

“Udah kenyang. Lagian gue bosan makan di rumah terus,” katanya sambil mengerucutkan bibirnya sehingga tampak lucu. Akhirnya, percakapan itu ditimpali oleh Sang Papa. “Kalau kamu enggak di rumah, kamu mau tinggal di mana? Kolong jembatan, begitu?” tanya papanya yang terdengar seperti petir di pagi hari.

“Mau keluar, Pa,” rengeknya. Tiba-tiba perempuan yang berada di seberang sana menggeleng. “Senja, awasi Ila ya, Bibi enggak mau kejadian tempo hari terulang,” katanya.

“Mama,” katanya dengan nada merajuk. “Ila bukan anak kecil lagi,” lanjutnya.

“Di mata kami, kamu itu masih kecil, sayang,” kata Sang Papa sembari mengusap pundak Sang Putri.

“Tapikan—” ucapannya terpotong.

“Dengarkan,” kata Senja yang membuat gadis itu semakin merajuk. Ia berdiri. Kemudian, menghentakkan kakinya. Kedua orangtuanya baru saja beranjak dari posisi masing-masing.

“Ayo, buruan. Kamu harus sekolah,” kata Sang Papa. Gadis itu masih cemberut.

“Ila bukan anak kecil, Pa,” katanya lagi. “Iya, Papa tahu,” katanya. Gadis itu mendengus tatkala pria paruh bayah itu meninggalkan kesan manis—kecupan di kepalanya. Senja tersenyum kecil.

“Mama dan Papa, berangkat dulu. Jangan nakal. Dengarin kata teman-teman Ila,” ujarnya.

“Hati-hati,” katanya. Gadis itu melihat kedua orangtuanya keluar dari ruang makan dan menyisakan dirinya berserta Senja.

“Ayo, berangkat. Nanti gue diomelin lagi,” katanya yang terdengar lucu di rungu Senja.

***

Sakya melintasi lorong dengan kedua tangan penuh buku-buku dari perpusatakaan. Ia berjalan menuju kelas. Kemudian, berpapasan dengan Queen di sana. Ia memperhatikan kalau gadis itu tampak kacau dengan sudut bibir bagian bawah terluka. Ada bercak darah di sana. Belum lagi seragam yang dipakai terlihat kusut. Apakah ia bertengkar? Pikirnya.

“Abian?” gumamnya. Sakya meletakkan tumpukkan buku itu di atas meja guru.

“Kamu di sini?” tanyanya setelah berdiri di depan kekasihnya.

“Kia aku izin, ya,” katanya.

“Ke mana?” tanyanya khawatir.

“Gamma,” katanya terputus.

“Apa? Kalian ada masalah apa?” Sakya tak bisa menyembunyikan raut cemas di sana. Gadis itu memegang kedua lengan kekasihnya. Abian kalut.

“Gamma, dia main kasar dengan perempuan,” katanya dengan sorot mata sendu.

“Siapa?”

“Queen,” ucapnya. Tubuh kokoh itu tampak tak berdaya. Lesu.

“Sinting! Aku lihat Queen tadi. Emang kacau banget. Kok bisa?”

“Aku juga enggak tahu. Aku tiba di sana suasana udah tegang banget. Aku panik dan berusaha lerai mereka, tapi—”

“Tapi kenapa?” Sakya cemas.

“Gamma pukul Queen. Di tampar.”

Sakya terdiam.

“Aku syok,” katanya jujur.

“Gila,” ucap Sakya tanpa sadar.

“Luthfi tahu?”

Abian menggeleng.

“Kejadiannya di labor,” katanya.

***

Vanilla yang mendengar desas-desus itu segera mencari tahu sumber informasi yang relevan. Sebab, satu sekolah bak di sambar petir dengan insiden Queen dan Gamma. Awalnya, ia pikir hanya candaan orang-orang, akan tetapi realitanya memang benar. Akun lambe turah sekolah beroperasi.

Video Aksi Ketua Tim Basket Menampar Wanita.

Melihat nontifikasi itu, jelas ia terkejut.

“Gamma gila,” katanya.

“Sumpah! Ini parah banget!”

“Ketua Tim Basket kita, parah banget!”

“Wow!”

Begitulah komentar-komentar yang tertinggal di post lambe turah sekolah.

Di lorong kelas XI-I begitu ramai. Banyak siswa-siswi berbondong-bondong melihat Queen yang menjadi korban kekerasan oleh Gamma. Senja yang melintasi itu ikut tertarik. Ia pikir, mungkin ada sesuatu di kelas itu. Mengingat seluruh anggota kelas adalah murid-murid berprestasi. Selama ini, kelas Queensha terlalu menyedot banyak perhatian publik.

Senja mendengar kalimat yang berbunyi seperti ini, “Dia baik-baik ajakan?”

“Gue enggak tahu.”

“Kasian banget, sih.”

“Gue ikut prihatin banget.”

“Gamma udah terlalu kasar.”

“Inti masalah mereka itu, karena mendali.”

“Gila! Berita hangat dan mengenjutkan banget!”

“Kok bisa, ya, gara-gara mendali masalahnya sampai ke sini.”

Beragam komentar mengenai insiden hari ini, jelas menyita semua atensi orang-orang. Senja tak tahu apa yang terjadi. Ia berada di ruang teater bersama Bram. Tangannya menepuk salah satu pundak gadis di sana. “Ada apa? Heboh banget,” katanya. “Lo enggak tahu?”

Senja menggeleng dengan tangan bersedekap.

“Lihat ponsel lo,” katanya. Senja pun meraih ponselnya dari saku celananya. Ia terkejut. Bola matanya hampir keluar dari tempatnya.

Menggenggam erat ponsenya—marah dengan rahang mengeras. Ia bergegas mendatangi Gamma. []

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang