Gautama duduk termenung di ruang tengah dengan lampu cahaya yang minim. Di luar rona-rona cerah dari bagaskara masih malu-malu untuk muncul. Memeluk kedua lututnya dengan mata memerah. Sudah seminggu keadaannya seperti ini pasca foto dan video rekaman cctv mengetuk pintu apartemennya.
Saat terbangun di dalam kamar itu, ia memang tidak mendapati siapapun selain keadaan ruangan yang cukup berantakan. Selimut terjuntai ke lantai, kemejanya di atas kasur, pintu kamar mandi terbuka dan lantai basah serta aroma parfum perempuan.
Janggal itu yang Tama rasakan selama di sana. Tempat itu seperti dihuni oleh dua orang, akan tetapi maniknya tak sedikit pun menangkap gambar orang lain di sana. Tidak menemukan satu pun, Tama pun pergi. Sebelum itu, ia bertanya dengan bartender—mungkin orang itu tahu siapa yang membawanya ke kamar.
“Gue enggak ingat, tapi emang ada orang,” jelasnya. Tak bisa bertanya lebih banyak lagi, Tama meninggalkan tempat itu. Sebenarnya, ia memeriksa cctv di sana. Namun, tidak ada satu pun. Sebab, perasaannya merasa aneh. Berpikir berpositif, Tama mengabaikan perasaannya. Setelah dua hari, Tama mendapatkan paket. Selama ini pemuda itu kerap kali kedatangan hadiah dari penggemarnya. Tak disangka isi paket itu membuat bola matanya hampir keluar. Panik, Tama menghubungi menejernya. Ia pun menceritakan kronologi.
Setelah 420 menit, Tama mendengar berita di televisi. Raut wajahnya tak terbaca, perasaannya campur aduk. Ketakutannya menjadi kenyataan. Melihat satu per satu artikel di internet, Tama menghembut napas berat. Lelah. Mencari berita pertama—pelaku yang pertama kali menerbitkan kabarnya. Proses cukup memakan waktu banyak, Tama harus ekstra sabar untuk mengungkapkan siapa dalang dibalik kasusnya.
Cukup lama berita itu dibahas. Namun, tak sampai menghabiskan waktu dua hari. Sedikit lega, tetapi tetap saja batinnya tersiksa. Sesingkat itu saja sudah membanjiri akun sosial medianya. Tertekan—Tama mulai berpikir negatif. Tak berselang lama nontifikasi ponselnya berbunyi nyaring, mengisi ruangan yang hanya diisi olehnya.
“Gimana? Cukup? Gue rasa udah.” Pesan anonim. Tama mengeryit bingung. Tidak sembarang orang tahu nomor pribadinya. Segera melacak pengguna nomor itu, satu jawaban yang Tama terima, tidak terdaftar. Kemudian, Tama mulai mengumpulkan kepingan-kepingan—ingatannya dari awal masuk club itu hingga keluar di sana.
“Harris,” gumamnya. Beranjak dari sana, tungkainya mendekati kamar. Tiba di sana ia segera meraih hoodie-nya. Tama keluar dari apartemennya. Tubuhnya bergerak, akan tetapi jiwanya tidak berada di tempat. Melangkah meninggalkan unit kamarnya, Tama menubruk tubuh seseorang—lebih tua darinya. Merunduk sebentar sambil menggumamkan kata maaf. Linglung. Shalitta memenuhi kepalanya.
“Kamu punya rencana?” Keduanya menikmati hembusan angin menyapu kulit serta wajah mereka. Menatap lembut sang kekasih, Tama bersuara. “Ada. Hidup bersamamu.” Ia melontarkan sebuah jawaban yang menyejukan hati si gadis. Mengeratkan tautan tangan di leher Tama, Shalitta menarik lengkungan di bibirnya sehingga membuat Tama ingin mencium mesra material lunak itu.
“Jangan pergi jauh. Aku butuh kamu,” ujarnya pelan sesudah memutuskan tautan bibir serta mengusap sisa-sisa benang saliva.
“Tama,” panggilnya lalu dibalas dehaman si laki-laki. “Aku mau punya anak kembar,” ujarnya malu-malu. Kemudian, menyembunyikan wajah merahnya di dada Tama. “Gimana? Mau?” Shalitta mendongak sedikit, akan tetapi ia hanya melihat rahang tegas kekasihnya. Tama mengecup singkat kening wanitanya lalu berujar. “Enggak masalah. Pasti lucu. Selagi kamu ibunya aku suka.”
Berjalan dengan pikiran kacau, batin tersiksa, dan tekanan membuat Tama kehilangan konsentrasi sehingga beberapa kali tubuhnya ditabrak oleh pendastrian. Cukup jauh dari tempat tinggalnya, Tama berhenti di sebuah bangunan besar—salah satu kenangan bersama kekasihnya. Galeri. Tatapannya lurus, bergerak mendekati area banguna, Tama teringat kalau wanitanya pernah melanting kalimat bahwa seluruh hidupnya adalah seni. Lukisan bagian semesta dalam hidup Shalitta. Gadis itu sepenuhnya tenggelam dalam ruang bernuansa pelangi.
Berdiri di depan karya sang kekasih, pelan-pelan jemarinya terulur, menyentuh benda itu dengan perasaan kian sesak. Tama mengusap lukisan itu penuh perasaan. “Aku di sini,” gumamnya. Matanya memerah, harapan di dadanya sudah pudar. Pemuda itu tidak lagi menemukan rumahnya. Sesuatu yang membuatnya betah untuk berkerja, menjalani kehidupannya dengan perasaan damai. Namun, kini hanya tinggal sebuah memori yang perlahan mulai samar-samar.
Tama menyentuh dadanya, di kepala gambaran Shalitta dengan senyuman terpatri indah. “Kamu juga harus bahagia,” ujarnya. Pemuda itu membekap mulutnya, lututnya lemas dengan seluruh tatanan hidup kacau. Orang-orang sering berpikir kalau semua manusia itu mendapatkan porsi bahagia dari awal kelahiran hingga kematian menjemput. Namun, manusia tidak akan pernah mengerti bahwa setiap daksa memiliki kapasitas berbeda. Sejumlah rasa sakit, luka tak terbendung, tubuh rapuh, dan segala isi semesta. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Love In The Dark √
Teen FictionNaraya Queensha, seorang gadis remaja. Ia harus bertahan hari ini, esok, lusa, dan seterusnya. Berjuang dengan dua tungkai yang sewaktu-waktu akan berhenti. Tatkala ia sudah melabuhkan cinta pada seseorang. Namun, dengan lihainya semesta mengguncang...