Harsa mengancing kemeja putihnnya. Ia sedang berdiri di depan cermin lalu dari arah pintu, Meera berjalan mendekati suaminya. Kemudian, jemari lentik itu meraih kerah baju suaminya. Wanita tiga puluhan itu sedang merapikan sekaligus mengancing kemeja prianya satu persatu agar Harsa lekas pergi—tidak terlambat. Dalam adegan itu, prianya memandanginya dalam. Ketika mata mereka bertemu, Harsa mengunci manik wanitanya. “Kamu cantik.” Lalu labiumnya melumat kecil material lembut itu.
Harsa tak pernah lupa aroma wanitanya. Setelah itu, tangannya menarik pinggul istrinya sehingga kedua daksa itu menempel. Tangan wanitanya berada di dadanya—memberi jarak. “Harsa,” gumamnya. “Aku berencana menambah satu anak lagi,” ujarnya. Meera membulatkan matanya. Harsa tersenyum. Istrinya lucu, pikirnya.
“Tidak mau?” tanyanya. Meera bungkam. Tidak tahu harus mengucap apa. Di usia tiga puluhan ini, ada banyak sekali hal yang harus diselesaikan. Lagi pula Deluna dan Queen sudah beranjak dewasa. “Apa mereka mau?” Suaranya terdengar kecil. “Apa?” Harsa tidak dekat. “Wajahmu terlalu dekat,” katanya. Harsa tahu wanitanya tersipu. “Tidak mau lepas,” lanjutnya. “Apa Luna dan Queen mau?” tanyanya. Harsa berpikir. “Jika mereka menolak, aku bisa beralasan. Kita tidur satu kamar. Setiap pulang aku selalu minum. Katakan saja, aku lupa atau bagaimana,” ujarnya. Meera menggeleng. “Tidak. Aku pikir, itu ide gila,” ujarnya. “Kenapa?”
“Aku hanya takut kalau anak-anak tidak menyukainya. Terlebih lagi Deluna seharusnya sudah menikah dan kita mengendong cucu,” ucapnya. Harsha mengamati wajah istrinya lalu menggigit kecil puncak hidung wanitanya. “Harsa!” Wanitanya marah. Pelukan mereka terlepas karena Si Istri mendorong—tidak kuat. Kemudian, laki-laki itu terkekeh. Wajah kesal wanitanya mengisi pandangannya. “Senang menggodamu,” katanya. Ia meraih gawai di ranjang. “Aku pergi.” Harsa merangkum wajah bulat istrinya. “Kamu semakin gembil.”
Lengkungan terpatri jelas di sana—Meera bahagia. “Kamu harus berangkat. Nanti telat,” ucapnya. “Aku udah siapkan bekal untuk siang ini,” ujarnya. Keluar dari kamar, keduanya menuruni undakan tangga bersama. Para pelayan berlalu lalang—pagi hari membersihkan rumah mewah itu.
“Lev,” panggil Harsa. Laki-laki setengah abad itu memberi hormat—membungkuk. “Hari ini, setelah dari kantor, siapakan hotel bintang lima untukku dan istriku.” Harsa berujar lalu Meera terkejut. “Harsa!” Tidak ada pemberitahuan—rencana. “Kapan lagi kita bisa seperti ini, hm?” Suara rendahnnya membuat Meera bergedik ngeri.
“Tapi anak-anak,” ucapnya terpotong. Harsa mengecup bibir wanitanya. Di depan Lev, wanita itu malu. Orang lain pun begitu. Bahkan, putri-putrinya saja Meera malu jika suaminya beraksi seperti itu. “Sejak masalah di restaurant itu, kamu melamun terus. Pekerjaan juga enggak kelar. Kamu juga sakit sewaktu Queen enggak pulang. Aku harus apa biar kamu baik-baik aja?”
Meera bungkam. “Aku mau kamu juga bahagia,” ujar Harsa. Mendengar itu Meera tersentuh. ”Kamu, anak-anak, dan keluarga ini udah buat aku bahagia,” ujarnya. Harsa menggeleng. “Tidak. Aku akan pergi. Selama itu, kamu punya waktu bersiap-siap. Kalau Luna atau Queen bertanya, katakan kalau kita akan berkencan.” Harsa melenggang pergi setelah melepaskan pagutan labiumnya dengan Sang Istri.
***
Malamnya, ada insiden kecil. Harsa terlambat datang. Pakaiannya mendadak lenyap dari pandangannya. “Maaf, sayang. Aku terlambat.” Suara napas tak beraturan terdengar. Meera menolah pun lekas ia beranjak. “Harsa!” Wanita itu panik. “Kamu kenapa? Habis lari?” tanyanya tatkala tiba di depan suaminya. “Baju untuk date kita mendadak hilang,” ujarnya sembari menyugar rambutnya. “Sampai keringat begini?” Meera tak habis pikir. Wanita itu membuka tasnya, ia mencari sapu tangan. Beberapa detik selanjutnya, wanita itu menyapu peluh yang bersemayam di kening suaminya.
Tak jauh dari sana, Luthfi tak sengaja menangkap dua presensi tengah berdiri—tampak romantis. Matanya memicing. Detik selanjutnya, ia mengangangguk dengan mulut sedikit terbuka. “Tante Meera dan Om Harsa,” batinnya. “Sayang,” panggilnya sembari menepuk pelan lengan kekasihnya yang sibuk memotong steak. “Hmm,” deham Leah. “Coba lihat aku,” bisiknya. Queen fokus dengan makanannya. “Apa?”
“Om Harsa dan Tante Meera,” tunjuknya lalu Leah melihat ke arah yang ditunjuk kekasihnya. Matanya terbelalak—tak percaya. Kemudian, pekikkan heboh Leah membuyar konsentrasi Queen yang menikmati makan malamnya. “Orangtua lo lagi date,” ucapnya girang. “Siapa?” tanyanya memastikan. “Bokap dan nyokap lo dating,” timpal Luthfi. “Mama, Papa?” Queen syok. “Itu yang lagi berdiri. Serasi banget,” ujar Leah. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Love In The Dark √
Teen FictionNaraya Queensha, seorang gadis remaja. Ia harus bertahan hari ini, esok, lusa, dan seterusnya. Berjuang dengan dua tungkai yang sewaktu-waktu akan berhenti. Tatkala ia sudah melabuhkan cinta pada seseorang. Namun, dengan lihainya semesta mengguncang...