Bab 12

24 1 0
                                    

Laki-laki itu menghidupkan lampu kamarnya. Kemudian, menjatuhkan dirinya ke tempat tidur. Menarik napas panjang lalu menghembusnya perlahan. Senja merentangkan kedua tangannya dengan tubuhnya yang lelah, laki-laki itu berusaha mengambil kewarasannya dari rasa letih.

“Gue capek banget,” gumamnya.

Semenjak laki-laki itu tinggal dengan keluarga baru papanya, ada sedikit ruang yang kosong pun kelamaan mulai menganggak. Kemudian, ia memijit pangkal hidungnya. Lelah, jelas saja. Kepalanya terasa berat. Ingin beranjak ke kamar mandi. Namun, tak sanggup. Tungkainya lemah.

“Enggak usah mandi, deh gue,” katanya.

Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Seharian ini berada di luar. Bersama teman-temannya dan menemani Vanila ke rumah sakit. Belum lagi mengerjakan tugas sekolah dengan kelompok belajar. Tiba-tiba bunyi ponselnya terdengar. Ia meraih lalu melihat sebuah notifikasi dari sahabat kecilnya. Di sana Vanilla mengirimkan gambar tersenyum sambil dipeluk oleh Bram. Vanila tampak bahagia. Gadis itu mematrikan senyuman dengan indah.

Senja sudah mengantar gadis itu sore tadi. Dilanjut kegiatan kelompok belajar. Malamnya nongkrong bersama anak-anak osis. Kegiatannya padat sekali. Berada di luar bukan berarti ia punya hak menikmati sebuah kebebasan seperti anak pada umumnya. Laki-laki itu menghabiskan banyak waktu untuk belajar, memperbaiki diri, membantu orang lain. Bahkan, menjadi seorang sukarelawan.

Senja sangat suka dengan kegiatan sosial. Jemarinya terus bergerak lincah mencari sebuah nama akun seseorang yang sedang ia pikirkan sekarang. “Queen, cantik juga ya,” katanya. “Dia jarang banget post foto,” kata Senja yang terdengar seperti kecewa. Ia mengubah posisi menjadi telungkup sambil memandangi layar ponselnya. Ada beberapa foto gadis itu di akun instragram. Namun, gambar-gambar itu lebih banyak berisi keberadaan Leah dan Luthfi.

“Ternyata mereka sedekat itu,” katanya keasyikan memandangi potret kebersamaan Queen dengan sahabatnya.

“Sebenarnya, lo itu lemah, tapi pura-pura kuat,” komentar Senja. Kemudian, ia duduk bersila.

“Jujur gue enggak kenal lo, tapi satu sekolah kenal lo banget. Sebelumnya, gue juga enggak penasaran banget, tapi makin ke sini, gue rasa perlu kenal lo. Anaknya lumayan asik, sih menurut gue.”

Pintu kamarnya diketuk. Senja teperanjat—kaget sambil mengelus jantungnya. Ia pun beranjak. Di depan pintu tatkala membuka seorang pria paruh baya berdiri di sana. “Papa.” Senja bingung. Ada apa? Pikirnya. “Bisa bicara sebentar?”

“Bisa Pa,” katanya. Akhirnya, ia keluar dan menutup pintu. Dipandanginya punggung pria itu yang mulai menjauh. Selanjutnya, ia mengikuti. Tibalah di ruang kerja sang papa. “Ada apa, Pa?” tanyanya to do point. Senja tipe orang yang tidak suka buang waktu.

Pria itu berdiri dengan kedua tangan berada di saku celananya. Memandanginya lembut. “Besok Papa dan Mama mau ketemu. Acara makan malam. Mama rindu kamu,” katanya. Senja melotot—ia tak percaya.

“Mama enggak ada kabarin Senja,” katanya. Melihat papanya ia akui bahwa keduanya suka membohonginya. Senja terbiasa dibodohi oleh keluarganya. “Apa Mama Adrea juga ikut?” tanyanya hati-hati. “Tidak,” jawabnya sambil menggeleng.

“Hanya kita bertiga saja. Bahkan, Mama datang sendiri tanpa ada gandengan.”

“Kenapa Senja harus ikut?”

“Mama kangen kamu,” katanya.

“Senja enggak mau. Kalau kalian ingin pergi, Senja enggak masalah. Senja sibuk,” balasnya. Kemudian, tampak dada sang papa membusung—menahan sesak. “Senja,” panggilnya lembut. “Kamu boleh benci Papa, tapi Mama jangan,” katanya.

Senja diam. “Kalian bahagia?” Papanya diam. “Papa bahagia?” tanyanya sekali lagi. “Senja, bahagia,” katanya bohong. Dadanya seperti dihantam. Ia beranjak. Kemudian, manakala tungkainya sampai di depan pintu, papanya bersuara. “Kalau Papa jawab dengan jujur kamu percaya?” Artur memandangi putranya. Senja menoleh. “Terlambat,” jawabnya.

Artur mengepalkan tangannya. Detik selanjutnya, gawainya berbunyi. Tertera nama seseorang yang masih mengisi hatinya sampai sekarang. “Brisa,” gumamnya. “Senja udah tidur?” tanyanya lembut. “Belum. Tadi aku bicara empat mata dengan putra kita,” katanya. “Lalu?”

Artur menarik napas dalam lalu dihembuskan kasar. “Senja enggak mau,” katanya. Brisa diam. “Aku coba lagi kalau dia udah tenang.”

“Enggak usah,” katanya. “Senja, enggak perlu dipaksa. Kalau emang enggak mau yaudah, aku mampir antar hadiah aja,” lanjutnya. Manik Artur berkaca-kaca. “Aku rindu kamu,” batinnya.

“Aku akan usah. Enggak mungkin kamu jauh-jauh dari Jerman hanya untuk antar hadiah, Brisa.”  []

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang