Bab 46

0 1 0
                                    

Sekolah menjadi rutinitas biasa bagi sebagian orang, akan tetapi terasa berbeda bagi beberapa orang. Queen mendapatkan tatapan itu. Ia terintimidasi dengan cara orang-orang melihatnya. Sayup-sayup rungunya mendengar. “Murahan banget, ya,” katanya.

Merasa asing dengan situasi, Queen keluar. Segera menghubungi Leah, ia berjalan di lorong gedung kelasnya. Namun, ramai-ramai siswa-siswi berlari ke arah mading utama. Queen penasaran. Firasatnya buruk.

“Leah,” gumam Queen. Tubuh Leah ditrubuk oleh beberapa orang di sana. Namun, sang sahabat abai. Queen membekap mulutnya tak percaya. “Foto itu?” Queen berlari. Ia menarik kasar kertas-kertas itu. “Eh, kok dibuang sih!” ujarnya tak terima. Queen menutup telinganya. “Pergi!” Queen mendorok mereka satu per satu.
“Udah enggak waras ni orang,” ujar salah satu orang di sana lalu terdengar pecahan telor—Queen di lempar. Orang-orang mulai tertawa. Leah tak berkutik. Kemudian, gadis itu didorong sehingga berada di dekat Queen—dilempar juga.

Luthfi bergerak acak—berusaha menembus orang-orang di sana. “Leah!” Laki-laki itu sampai, ia menarik wanitanya dalam dekapannya sehingga telor itu mengenai tubuhnya. Di sana Senja menutupi Queen dengan jaketnya. Tungkainya membawa gadis itu menjauh.

“Kita bantu mereka, ya?” Ila mengangguk. Keluar dari perkarangan sekolah, Senja membawa mobil Abian jauh dari jangkauan orang-orang. Bukan ke rumah si gadis apalagi apartemennya, ia melainkan ke arah vilanya.  

Di ruang itu, Senja membersihkan tubuh Queen. Pelan-pelan seakan gadis itu adalah kaca yang akan pecah bila diperlakukan kasar. Mengusap lembut labium Queen dengan ibu jarinya. Kemudian, menangkup wajah itu—sedari tadi menunduk. Menyatukan kening, Senja bernapas lega karena Queen tidak memberontak. “Jangan takut.”

“Aku enggak punya apa-apa lagi,” bisiknya terdengar serak. Lantai kamar mandi terasa dingin. Keduanya saling mendekap, Senja mencium puncak kepala Queen bertubi-tubi, sedangkan si gadis menyembunyikan wajahnya di ceruk leher laki-laki yang membawanya pergi dari situasi buruk tadi.

Duduk di dekat jendela dengan pemandangan yang pelan-pelan memudar—senja. Queen mendongak, di sana ada kakak tingkatnya tengah tersenyum padanya. Kedua tangan laki-laki itu berada di pundaknya. “Udah makan?” tanyanya lembut. Queen menggeleng. “Gue ambil, ya?” Queen belum menanggapi, Senja masih di sana lalu gadis itu mengangguk. “Jangan banyak, ya, kak,” ujaranya.

Menyuapi Queen sedok demi sendok, laki-laki itu begitu tulus membatu seseorang yang tengah sekarat. Kemudian, gadis itu menggeleng. “Udah kenyang,” tolaknya. Sendok itu kembali Senja letakkan di mangkuk bubur lalu ditaruh di meja bundar—tidak jauh dari sana.

“Gimana? Udah mendingan?” Senja menggenggam kedua tangan Queen. Gadis itu diam. Selanjutnya, Queen menjatuhkan kepalanya di dada Senja. Gadis itu memeluk pinggang Senja—posisi mereka saling berhadapan sehingga si gadis membelakangi remang-remang di luar jendela.

Petang menghilang, jarak itu terkikis kini Senja jelas berdampingan dengan si perempuan, sosok yang menarik perhatiannya. Penyakit-penyakit bersarang di tubuhnya perlahan-lahan menguar, ikut berbaur dengan si gadis. Terkekeh singkat sehingga Queen tak sadar, Senja mengerat dekapan itu lalu pelan-pelan mencuri aroma sabun dari gadis itu. “Kita sama,” batinnya.

Langit di sana mungkin dengar kalau keduanya manusia yang telah hilang harapan. Tidak hanya itu, memilih pergi dengan serangkaian luka basah pun dipelihara dengan baik oleh keduanya. Garis-garis di tangan Queen menunjukkan bahwa darah itu mengalir—tidak membuat Queen menghentikan perbuatannya.

Dingin menusuk, Queen tidur di paha Senja. Empat hari, selama itu tidak ada panggilan. Tentu. Senja tidak mengaktifkan ponselnya. Balkon terasa sejuk pun tulang-tulang di tubuh mereka terbiasa. Merunduk sekejap, jemari kokoh itu mengusap dahi Queen lalu mengecupnya lembut. Kemudian, menatap heran, gadis itu tidak terusik. Malam dipenuhi bintang, berbagai macam rasa di sana, gambarannya terlihat samar.

“Kak Senja,” panggilnya pelan. Laki-laki itu menoleh. “Kenapa?” tanyannya. “Kenapa nyelamati Queen?” Diam. Bergerak sedikit, Senja menyandarkan punggungnya di tembok, matanya menatap ke atas. “Karena kita serupa,” ujarnya. “Serupa?” Si gadis duduk lalu meraih belah pipi Queen. Senja berdeham. “Sama-sama punya luka,” lanjutnya.

Hening menyapa, Queen kembali bersuara. “Enggak ada obatnya?” tanyanya retorik. Menarik kurvanya, Senja membalas terlampau lembut. “Mati enggak akan merubah apapun. Obatan juga enggak akan mempan. Jadi, cara terbaik adalah menerimanya lalu diam-diam meminta Tuhan untuk memberi kita satu kali lagi kesempatan.”

“Kesempatan?” beo Queen.

“Enggak semua manusia itu sampah. Adanya beberapa di antara mereka adalah berlian yang hilang tempat.” Senja mengusap rambut Queen, beranjak dan diikuti si gadis. Berjalan lalu membuat gadis itu buru-buru mendekat. “Ayo, kita tidur.” Senja menutup pintu balkon. Kemudian, meraih pergelangan tangan Queen. “Semoga Tuhan dengar permintaan gue,” batinnya sembari lengkungan itu tersemat tipis di wajahnya.

Barangkali kita tercipta untuk belajar, memilah, berusaha, bertahan, dan sama-sama menghargai. Manusia acap kali kehilangan perasaannya tatkala sesuatu berupa harta, kekuasaan, dan uang di depan mata. Melalui itu pelan-pelan hati mereka memudar. Kekosongan lagi yang mengisi. Rakus, serakah, niat menghancurkan itu begitu kuat. Namun, alih-alih bertobat mereka cenderung saling mendorong, ingin memiliki sehingga mengabaikan rasa empati pada orang lain. Menariknya, manusia itu akan bersujud apabila itu mengharuskannya. Terkadang kondisi, kejadian, orang di sekitarnya membuat manusia itu sering memendam kebencian sampai ke akar sehingga jalan untuk kembali tak akan pernah lagi terlihat.

Sangat disayangkan, perbuatan manusia itu sering kali mendatangkan bencana bagi orang lain maupun lingkungannya. Seutas tali akan putus bila disayat terus menerus. Jika ada penawar yang bisa menghilangkan sakit-sakit di tubuh, Queen atau Senja ingin memilikinya. Mungkin terdengar konyol bagi orang awam yang tak mengenal apa itu ilmu. Banyak pengetahuan akan memperluas cara seseorang berpikir. Ibaratkan ruang semakin diisi akan semakin penuh, tentu dengan kualitas barang bagus. Sebaliknya, ruang kosong akan berdebu, pun barang-barang di sana tidak menarik.

Belajar memperbaiki, Senja, Queen, dan semua orang pelan-pelan akan menemui titik terang dari permasalahan mereka. Sebuah solusi yang tak pernah mereka pikirkan. Beberapa kalimat sering terdengar, orang-orang rusak akan menjadi berarti bila mereka mau mencintai dirinya sendiri. Sejujurnya, obat terbaik untuk mereka adalah belajar dengan membuka lembaran baru di buku baru pun meninggalkan yang lama sebagai pengingat bahwa setiap pelajaran itu memiliki makna sehingga akhirnya menemukan bahwa tujuan hidup itu adalah mengenai diri sendiri. []

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang