Bab 57 Epilog

7 0 0
                                    

Bicara mengenai masalalu, seseorang tidak pernah lepas dari hidup sebelumnya. Tatkala Artur berdiri di hadapan Tuhan, ada Brisa—wanita kesayangannya di sana tepat di sampingnya. Perkara ini tidak mudah, ia harus berjuang agar lepas dari sebuah obsesi Adrea dan keluarganya. Artur ingin memperbaiki keluarga kecilnya—impiannya bersama Brisa.

“Aku mencintaimu, Brisa.” Pria itu memandang sendu wajah istrinya, tatapan haru dari Brisa memberinya kekuatan untuh bertahan. “Jangan pergi lagi,” balas wanitanya.

“Aku ingin kita bersama lagi.”

“Adrea—” Kalimat itu terputus manakala ibu jari Artur membungkam labium wanitanya. “Aku bukan bagian dari keluarga Gaurav lagi,” ujarnya sambil menyatukan keningnya dengan Brisa. 

“Bagaimana bisa—” Brisa diam kala pria di depannya menggeleng. “Enggak perlu dibicarakan saat kita sedang menikmati suasana ini.” Artur menangkup wajah wanitanya. “Aku ingin kamu dan Senja ada kembali.”

“Mustahil,” ujar Brisa. “Enggak ada yang perlu ditakuti lagi. Aku bukan bagian dari keluarga itu lagi. Pelan-pelan kita berdua bisa membawa Senja kembali. Soal Brisa dan anak-anaknya, aku berusaha memberikan yang terbaik. Adrea harus dirawat.”

“Maksud kamu?”

“Selama ini Adrea sedang sakit dan keluarganya tidak tahu. Perempuan itu terobsesi dan gangguan mental lainnya yang enggak aku ketahui. Aku tahu kisah ini dari salah satu perawat di rumah sakit tempat Adrea sering kunjungi. Maaf terlambat.”

“Kamu enggak datang terlambat, Artur. Asal kamu baik dan sehat, aku baik-baik aja.” Keduanya saling berpelukan, menumpahkan rasa rindu yang terbendung, membiarkan dada itu lega, saling mencium aroma dari tubuh kesayangannya.

“Ingin menikah denganku?” Artur menyelipkan anak rambut Brisa lalu wanita itu mengangguk cepat. “Aku mau,” balasnya. Kemudian, material lunak itu menyesap perlahan sehingga tercipta benang tipis dari perbuatan yang acap kali membuat orang-orang terbuai.

Dalam gereja yang sederhana itu, Artur dan Brisa mengikat janji suci sekali lagi. Tujuan akhir dari perjalanan sepasang itu adalah membawa Senja kembali pulang. Hubungan itu terjadi setelah Queen pergi tiga tahun dari hidup Senja Faresta Gaurav. Selama itu, Senja menata pelan-pelan tatanan hidupnya tanpa gadis dalam kepalanya.

Sebuah kejadian kecil yang membuat Senja luluh tatkala Brisa datang menemuinya. Kotak makan siang lengkap dengan menu kesukaannya, Senja berkaca-kaca. “Mirip dengan masakan Mama,” batinnya. Sosok di depannya bukan Brisa, melainkan bibi yang merawat Senja selama tinggal di Seoul. Ini jam istirahat, ia bekerja di sebuah rumah sakit. 

“Enak?”

Senja mengangguk sambil merunduk, ia menyembunyikan liquidnya agar bibi di depannya itu tidak khawatir. Di balik kaca transparan itu—Brisa menyapu bening di pipinya lalu Artur datang dan merangkul pundak istrinya. “Semuanya akan terbayar,” ucapnya. Sepasang suami-istri itu memandangi putranya yang berada di dalam kafe. 

Itu berlangsung cukup lama, sekitar tiga bulan Brisa meminta bibi itu merahasiakan perbuatannya. Ia tak ingin Senja membencinya, akan tetapi sebenarnya putranya sudah mengetahui itu dan Senja membiarkan itu terjadi. Ia juga merindukan pelukan ibunya, usapan dari tangan yang merawatnya sewaktu kecil.

“Mama,” panggilnya. Senja berdiri di belakang ibunya. Brisa terkejut. Ia ingin segera menoleh, akan tetapi Senja berkata lain. “Tetap di sana.” Brisa semakin takut kehilangan Senja. Pelan-pelan lengan Senja melingkari tubuh ibunya—ia memeluk perempuan itu dari belakang lalu dagunya berada di pundak ibunya. Tangis Brisa pecah.

Di ruang santai Queen tengah menonton televisi, sore menyapa, Senja masih di luar—halaman belakang. Wanita itu menikmati cemilan buatannya sambil mendengar omelan Leah yang berada di dekatnya. “Queen!” rajuknya. Wanita itu tersentak kaget. “Leah, kenapa?” 

“Kok gue enggak bisa rajut, ya?” adunya. Sejak dua hari lalu sahabatnya tinggal di kediamannya. “Ini enggak mau,” rengeknya. “Pelan-pelan, harus sabar.” Queen mengambil kain rajut itu berserta benangnya lalu menepuk pelan punggung tangan sahabatnya. “Nanti disambung lagi, ya? Masih banyak waktu.”

“Mama!” Faresta datang. “Jangan lari-lari. Ya Tuhan, Faresta!” Queen berdiri dari tempatnya sambil berkacak pinggang. “Sayang, ini apa?” tuntutnya meminta penjelasan dari suaminya. Senja menggaruk pipinya yang tak gatal. “Hm, itu, aku—”

“Papa bayi, nakal!” Senja tampak pasrah. Faresta mendekati ibunya lalu Queen merunduk sambil mendengar aduan putra sulungnya. “Mama, enggak mau punya adik bayi!” Matanya memerah. Queen bingung. “Loh, bukannya mau main dengan adik bayi?”

“Adik bayi jahat. Nanti Mama enggak sayang Kakak lagi.” Faresta memeluk kaki ibunya sambil terisak. “Papa bilang begitu?” Queen bertanya. Kemudian, anak kecil itu mengangguk. Perempuan itu menggeleng tidak mengerti. “Kamu ada-ada aja, Kak.” Queen menggendong anaknya.

“Maaf, aku enggak bermaksud begitu,” katanya sambil mengusap tengkuknya. Ia merasa bersalah. “Aku bilang kamu bakalan sering dengan adik bayi. Jadi, Faresta pikir kamu enggak akan sayang lagi.”

“Senja, Senja. Usil banget sih!” dumal Leah. []

 The End

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang