Bab 34

0 1 0
                                    

Ia adalah manusia kecil. Hidup di tengah dunia yang besar ini terkadang membuatnya enggan berekspetasi tinggi mengenai harapan. Senja tidak pernah lupa hari itu. Perkara yang membawanya sampai di sini. Dengan jalan cerita berbeda dari biasanya. Jejak-jejak yang dulu pernah ia tanam di dalam kepala, pelan-pelan memudar. Bahkan, nyaris hilang dari ingatan.

Mengusap lembar foto usang, Si Laki-laki lantas meletakkan kembali kertas itu di dalam laci. Senja ingin mengubur banyak-banyak tentang ibunya. Namun, barangkali sebagai anak tak banyak hal yang bisa ia binasakan di dadanya. Sewaktu kecil, Sang Ibu banyak mewarnai hari-harinya. Mendengarkan celotehnya, caranya bermain, mengusap kepalanya ketika tertidur. Bahkan, masih jelas di memorinya kalau perempuan itu selalu melakukan ritualnya—membaca dongeng.

Kembali merebahkan tubuhnya, Senja melipat kedua tangannya di belakang kepala sambil menerawang sejauh mana ia sudah melangkah. Namun, kalau dipikir-pikir, retak dadaya tidak hanya sampai di sana. Senja semenjak remaja mulai mengerti hal-hal yang seharusnya tidak ia dengar tatkala ia mengalami pertumbuhan—fase remaja.

Menelan pil pahit lainnya, Senja mengusap wajahnya dengan kasar. Ia bergerak gelisah. “Mama,” gumamnya. Tubuhnya berhadapan dengan nakas yang letaknya di dekat pintu kamar. Mengerjap pelan, menghalau kantuk yang perlahan datang merangkak, menyelimutinya dengan malam yang semakin gelap.

Ia pikir, malam ini akan berakhir dengan bergadang di depan meja belajarnya. Bergerak cepat ke arah meja tersebut, Senja menarik kursi lantas mendudukkan dirinya. Di sana ia melihat figura dengan bingkai kayu tertata rapi. Raut wajah ibunya mengundang jemarinya meraih. Kadang kala ingin melenyapkan semua kenangan semu itu, akan tetapi melihat Uma mendapatkan kasih sayang, ia juga ingin itu dari perempuan yang melahirkan mereka. Ingat dulu kalau ia hanya bocah dungu, mudah diperdaya, mengatakan semua kisah-kisah itu semanis madu dengan suara lantang. Kekehan Brisa masih terasa nyata di kepalanya.

“Kenapa kita harus mendapatkannya?” Senja menatap dalam sambil meneteskan air matanya. Dengan kasar, ia menghapus jejak liquid tersebut. sekali lagi, malam ini dadanya kembali sesak dengan cerita-cerita lalu di dalam kepalanya. Senja meletakkan dengan kasar figuran tersebut, beranjak mendekati sudut kamar, ia menangis dengan remang sebagai tema malam ini.

Memukul dadanya brutal, Senja menahan desakan dari dalam sana, amarah. Ingin menghancurkan semua di depan matanya. Ingin membinasakan tempat ini. Setelah kejadian di masa lalu, ia tak pernah mempercayai cinta. Bahkan, manusia. Rasa-rasa sakit itu sering kali bertandang merusak cara-cara ia bertahan dalam lubang hitam ini. Ia ingin bertahan, meskipun harus menelan bulat-bulat luka-luka itu tanpa penyembuhan. Senja tak ingin dianggap gila. Sebab, itu kewarasannya harus tetap bertahan.

“Tuhan,” gumamnya dengan daksa yang tersiksa.“ Semakin aku melakukannya, semakin kuat rasa sakit ini,” ucapnya sambil meremas bajunya. Dengan tenggorokan tercekat, buliran air merembes di kedua belah pipinya.

“Ini sakit,” katanya dengan napas tak beratur. Langkah kakinya tak akan sampai ke atas ranjang membawa tubuh lemahnya terbaring di sana. tungkainya lemas, tak kuat menopang berat tubuhnya. Bersendar pada dinding, Senja kembali memukul dadanya. Ia pikir, kenapa tidak mau hilang?

Membekap mulut, Senja mengeluarkan sisi rapuhnya. Tatkala kehancuran kian mendekat, ia sudah mendeklarasi kekalahan sejak awal perperangan ini. Dunia memberikannya racun terbaik, membuatnya mati di awal perjalanan dengan tubuh kian tumbuh. Pada langkah-langkah awal yang girang, ia disambut dengan sejumlah madu, akan tetapi manakala ingin menyampaikan pada sosok bidadarinya, Senja berhenti. Memahami sekitar, Senja linglung dengan sederet pertanyaan di kepala.

Pandangannya memburam, Senja pelan-pelan terkulai lemas di atas lantai dengan tubuh mulai panas. Lelaki itu tak sadarkan diri. Dulu sekali, ia ingat sang ibu membacakannya cerita yang menarik. Sebuah kisah orang barat. Senja tak tahu perihal niat ibundanya. Kala itu, dirinya hanya ingin mendengar suara lembut itu menyapa telinganya.

“Sayang, Mama ada cerita baru. Kamu ingin dengar?” Lengkungan tersemat di sana membuat dadanya terasa teduh. Mengangguk sebagai persetujuan, ia girang menyambut cerita dari labium merah muda ibunya. Dalam pangkuan ibundanya, Senja mendengar awal kisahnya.  

“Di sebuah desa hiduplah keluarga bahagia. Mereka mempunyai dua orang anak yang manis. Namanya, Hans dan Gretel. Namun, suatu ketika sang ibu meninggal dunia. Kedua anak-anak itu bersedih. Lalu ayahnya, membawa ibu baru agar si kecil tidak merasa kesepian lagi, akan tetapi ibu baru itu sangat jahat. Mereka disuruh berkerja dan hanya boleh makan sekali...,” ujarnya tatkala bola mata itu menangkap presensi buah hatinya tengah tertidur damai dengan kepala menyender di dadanya. Brisa mengulas senyum. Menepuk pelan-pelan pangeran kecilnya, perempuan itu berdiri. Niatnya mengantarkan pada ranjang mungil di dalam kamar. Namun, alih-alih di dalam kamar, tungkainya berhenti tepat di depan ruang kerja suaminya.

Senja mendengar samar-samar, tangannya melingkari leher ibunya dengan tangan besar itu mengusap lembut tubuh kecilnya. Di sana Brisa menahan isak tangis. Bibir merah muda itu digigit kuat sebagai lampias amarah di dadanya. Percakapan itu telah mengiris dadanya. Ia tahu Artur tidak akan pernah mengkhianatinya, akan tetapi orangtua pria itu tak akan berhenti membawa pulang putranya lalu tinggal bersama perempuan lainnya.

Senja terbangun, perempuan itu dengan kasar mengusap belah pipinya. Menepuk pelan badan si kecil, Brisa melangkah pergi dari sana dengan Senja yang mendongak pun dengan segaris senyum tipis, ia mulai mengisahkan kebohongan. “Senja kenapa bangun, sayang?” tanyanya lembut.

“Mama bulu matanya basah. Mama menangis?” tanya sambil merangkum belah pipi wajah ibunya. Secepatnya Brisa menggeleng. “Tadi ada debu. Kamu mau tidur lagi? atau mau makan cemilan dulu?”

Senja membuka matanya pelan. Satu warna terang—putih tulang mendominasi netranya. Dengan gerakkan lamban, ia menyingkirkan selimut tebal yang membalut tubuhnya. “Rumah sakit,” batinnya dengan tungkai menyentuh lantai. []

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang