Bab 7

28 2 0
                                    

Di sudut ruang, gadis itu memandangi arlojinya dengan dada yang terus saja berdebar. Ini lewat lima menit dan Leah belum juga datang. Ada raut cemas yang tergambar di wajahnya.

“Leah enggak lupakan kalau ada janji hari ini?” monolognya. Menggigit bibir bawahnya, gadis itu segera menyambar ponselnya. Ia menghubungi Leah, Wajahnya tampak frustasi tatkala di seberang sana tidak ada sahutan.

“Mereka baik-baik ajakan?” tanyanya panik. Lekas beranjak dan meraih sling bag-nya. Manakala tungkainya berjalan, Luthfi tiba di depannya. Queen menghembus napas lega.

“Leah mana?” tanyanya.

“Di rumah sakit,” katanya. Queen terkejut.

“Kecelakaan?”

“Enggak,” jawab Luthfi sembari menggeleng. “Kakek Leah dirawat,” imbuhnya.

“Gue diminta Leah jemput lo,” ujarnya. “Lo harus pulang,” sambungnya.

Queen bungkam.

Tadi di jam istirahat, Leah membuat janji kalau mereka akan bertemu di kafe biasa—tempat langganan mereka. Sebelum ia tiba di sini—masih di rumah, Leah mengingatkan bahwa pertemuan mereka akan terlaksana. Setiba di sana, Queen belum mendapati keberadaan sahabatnya itu. Biasanya, keduanya akan bertemu dengan posisi Leah tiba duluan di kafe atau ia yang tiba di sana lebih awal. Namun, hari ini Leah terlambat.

“Leah enggak sempat kkabar lo. Jadi, dia telpon gue,” ujarnya.

“Tapi Kakek Leah baik-baik ajakan?”

“Gue enggak tahu. Setahu gue, beliau baru aja selesai operasi transplantasi jantung,” katanya. Queen kaget karena Leah belum bercerita apapun mengenai keluarganya.

***

Gagalnya janji Queen dan Leah di kafe Hologram—posisinya tak juah dari sekolah dan cukup jauh dari rumah Queen dan Leah, tak membuat Queen menghentikan kaki-kakinya. Sepulang Luthfi, ia bergegas memasuki kamar dan mengganti atasannya dengan hoodie. Gadis itu berniat mengunjungi toko buku langganannya.

Suasana di rumah masih tampak sama—kedua orangtuanya belum kembali dari luar kota, akan tetapi Deluna, Sang Kakak sudah satu minggu di sini. Mau tak mau ia harus menerima kehadiran orang lain dengan situasi yang tak bersahabat. Beranjak dari teras rumah, Queen memasuki mobil pribadinya. Setiap anggota keluarga memiliki mobil dan sopir masing-masing. Ide itu tercetus dari Sang Papa, mengingat Queen terus berpergian tatkala Philip tak lagi di sini. Sementara itu, Deluna Sang Kakak memang sudah memiliki kendaraannya sendiri manakala di bangku kuliah sejak semester dua.

Queen menyeret kakinya ke dalam toko buku dengan topi hitam dan masker yang menutup identitasnya. Gadis itu menelusuri rak-rak novel. Di sana ia berancana mengambil beberapa buku baru untuk stok dirinya selama di rumah. Gadis itu tak akan mau berada satu ruang dengan Sang Kakak pun Queen enggan bertemu pandang dengan perempuan yang berstatus kakak kandungnya itu.

Jemarinya terulur, meraih satu buku, tiba-tiba dari arah berlawanan tubuh Queen terhuyung lantaran seseorang tak sengaja menabraknya lantas buku yang baru saja ia pegang terjatuh. Gadis itu berniat mengambil, akan tetapi lebih dulu diraih oleh daksa yang menubruk tubuhnya.

“Terima kasih banyak,” kata Queen. Mata mereka bertemu.

“Kak Gautama,” gumamnya.

Sosok itu pergi. Queen berniat memanggil. Namun, melihat orang itu tampak terburu-buru, gadis itu menelan kembali kata-katanya. Akhirnya, ia hanya dapat melihat punggung kokoh itu semakin kecil dalam pandangannya. Gadis itu menghembus napas kasar. Laki-laki itu adalah salah satu penulis kesayangannya. Ingat tidak di perpus? Buku yang berjudul Dark Romance: Main Road. Itu merupakan tulisan laki-laki yang tak sengaja menabraknya tadi. Semua series buku itu bergitu berkesan. Konon, buku-buku dari tulisan Gautama merupakan seni bertema ironi.

Pukul tujuh malam ia tiba di rumah. Menjatuhkan diri ke kasur, gadis itu merentangkan kedua tangannya seraya menatap langit-langit kamarnya. Aura temaram di sana menambah kesan gelap dan sepi seperti hatinya. Seharusnya, tadi ia menghentikan pria itu dan menyodorkan selembar kertas atau pena agar jejak Sang Penulis tertinggal.

Ponselnya berdering.

“Leah?” batinnya.

“Iya,” jawabnya.

“Lo enggak apa-apakan?” tanya Leah.

“Iya, aku baik,” sahutnya cepat.

Sorry, sore tadi gue enggak bisa datang.”

Its okey, Le,” katanya yang tak mempersalahkan kejadian tadi sore.

Sorry juga baru bisa hubungi lo,” ujarnya di seberang sana. Queen menggeleng.

“Lo enggak perlu merasa bersalah. Luthfi antar gue sampai selamat kok,” katanya tenang.

“Besok gue masuk sekolah. Maaf banget buat lo nunggu lama di kafe Hologram.”

“Enggak masalah. Oiya, tadi aku ketemu Kak Gautama,” katanya. Bibirnya mengerucut lucu. Queen masih kesal.

“Bagus dong!”

“Enggak ada yang bagus,” katanya yang terdengar seperti rengekkan. “Dia buru-buru banget. Jadi, gagal dapat tanda tangannya. Leah, aku kesal,” ujarnya dengan nada jengkel sembari mengingat kesan pertemuan dengan penulis tampan tadi di toko buku.

Leah tertawa.

“Lain kali kita cari. Btw, dia susah banget ditemui,” kata Leah bersamaan dengan Queen mengangguk.

“Lo benar. Padahal, dia belum nikah,” jawabnya cepat.

“Dia emang belum nikah, Queen, tapi gaya hidupnya yang berat banget. Jadi, harus ekstra dalam keadaan apapun,” ujar Leah. []

Love In The Dark √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang